Belajar Toleransi dari Raja Pajajaran Prabu Siliwangi, Izinkan Rakyat Memeluk Islam Meski Kerajaan Bercorak Hindu
Kebijakan ini jadi salah satu tanda kemurahan hati Prabu Siliwangi, sehingga rakyat boleh meninggalkan agama yang sebelumnya menjadi mayoritas di tanah Sunda.
Pada masa kekuasaan Kerajaan Pajajaran, hampir seluruh wilayah Jawa bagian barat memiliki corak Hindu. Dalam catatan kuna prasasti Batu Tulis disebutkan bahwa ibu kota Pakuan yang saat ini masuk wilayah Bogor, menjadi pusat kerajaan dengan ajaran leluhur yang kuat.
Sebelumnya, candi-candi Hindu juga banyak dibangun seperti kompleks Batu Jaya di Karawang, sampai Candi Cangkuang peninggalan Galuh di Garut. Tempat-tempat itu terus dirawat oleh kerajaan Sunda terbesar itu.
-
Apa bukti toleransi antar agama di masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan? Saat memimpin Kerajaan Mataram, Raja Rakai Pikatan mempunyai permaisuri bernama Sri Pramodawardhani. Sang Raja beragama Hindu/Siwa, sementara Pramodawardhani adalah seorang pemeluk agama Budha. Pada masa itu, kerukunan antar umat beragama sudah tampak.
-
Siapa yang memimpin Pajajaran di masa kejayaan? Kerajaan Pakuan Pajajaran berdiri di Jawa Barat dan berpusat di Bogor. Mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang memerintah tahun 1482-1521. Orang Sunda memanggilnya Prabu Siliwangi.
-
Kapan Islam masuk ke Pagaruyung? Pengaruh agama Islam mulai berkembang di Pagaruyung kira-kira pada abad ke-16 melalui seorang musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka.
-
Siapa raja yang memerintah Pajajaran tahun 1521? Surawisesa mengantikan ayahnya, Sri Baduga Maharaja menjadi Raja di Pakuan Pajajaran tahun 1521.
-
Bagaimana Islam masuk ke Perlak? Mengutip dari beberapa sumber, awal terjadinya proses penyebaran Islam di Kesultanan Perlak ini tak jauh dari para pedagang dari Arab dan Persia yang sudah beragama muslim.
-
Bagaimana Islam masuk ke Indonesia? Proses perkembangan Islam di Indonesia sendiri tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer, melainkan secara damai dan melalui berbagai jalur seperti perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.
Pada masa Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, tempat peribadatan terus diperbagus. Raja tersebut juga memiliki peraturan yang memasukkan ajaran Hindu agar dipatuhi masyarakat. Namun ada hal menarik di era kepemimpinannya, karena rakyat dibebaskan untuk memeluk ajaran apapun.
Kebijakan ini jadi salah satu tanda kemurahan hati Prabu Siliwangi, sehingga rakyat boleh meninggalkan agama yang sebelumnya menjadi mayoritas di tanah Sunda. Kira-kira apa alasan Prabu Siliwangi membolehkan rakyat memeluk ajaran Islam meski Pajajaran bercorak Hindu kuat? Berikut informasinya.
Masuknya Ajaran Islam di Tanah Pajajaran
Sebenarnya, ajaran Islam sudah mulai dikenal masyarakat Sunda pada sekitar abad ke-14. Ketika itu, banyak pedagang rempah asal negeri Timur Tengah yang menjelajah ke negara-negara di dunia untuk menawarkan dan bertukar hasil alam.
Karena interaksi yang masif, maka terjadilah percampuran budaya dengan rakyat yang mereka singgahi. Lambat laun, pembesar kerajaan Hindu Buddha di nusantara turut terpengaruh, tak terkecuali Pajajaran.
Menurut Ferry Taufiq El-Jaquene dalam bukunya berjudul “Hitam Putih Pajajaran: Dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan, mengatakan Islam masuk ke tanah Sunda setelah dikenalkan oleh kerabat kerajaan Galuh yakni Bratalegawa.
“Dalam naskah Carita Parahyangan, disebutkan bahwa sedikit demi sedikit orang Sunda mulai mengenal ajaran Baru. Ini juga dikenalkan oleh Bratalegawa yang merupakan kerabat dari raja Kerajaan Galuh (selanjutnya Pajajaran), Sanghyang Bunisora Suradipati,” Tulis Taufiq.
Keluarga Kerajaan Turut Dikenalkan
Karena cukup memiliki pengaruh, Bratalegawa pun turut mengenalkan ajaran baru yang dibawa pedagang asal Gujarat itu. Bahkan, dirinya sudah menikah dengan salah satu putri pedagang Muslim hingga selanjutnya melahirkan keturunan beragama Islam.
Meski memiliki pandangan berbeda, namun anggota kerajaan masih mau menerima Bratalegawa dan mencoba memahami apa yang dibawa. Meski begitu, rakyat belum bisa melepaskan ajaran leluhur dan agama Hindu yang sudah dianut.
Penyebarannya kemudian berlanjut, termasuk di era Kerajaan Pajajaran yang berkembang setelah keruntuhan Galuh. Raja pertama yang memimpin yakni Prabu Siliwangi turut menerima kehadirannya.
“Ketika itu, Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Prabu Siliwangi tak mempermasalahkan itu. Ketiga anaknya yakni Cakrabuana, Larasantang dan Kian Santang diperbolehkan menganut agama sang ibu (Islam),” katanya
Tak Menganggap Islam sebagai Musuh
Sisi menarik dari pernikahan beda agama antara raja besar Sunda Hindu dengan putri penghulu Islam tersebut, membuahkan toleransi yang kuat di wilayah kekuasaan Prabu Siliwangi.
Ketika anak-anaknya sudah besar dan mendirikan kekuasaan di Cirebon dengan nuansa Islam kental, Prabu Siliwangi bahkan menobatkan keturunannya sebagai pemimpin di wilayah Caruban (kini Cirebon).
Taufiq menyebut bahwa Prabu Siliwangi sangat terbuka dan tidak menganggap kerajaan bercorak Islam sebagai musuh. Bahkan, dirinya ingin bekerja sama dengan Cirebon yang ketika itu dekat dengan Demak.
“Pajajaran dengan sadar ingin menjalankan hubungan yang harmonis dengan Cirebon, meski corak keduanya berbeda dan itu tidak menjadi masalah. Pada akhirnya, Cirebon dan Pajajaran berunding untuk menentukan arah kerajaan ke depan. Keduanya bersepakat dan mampu memajukan masing-masing negerinya,” kata Taufiq.
Terapkan Aturan Kerajaan yang Longgar
Sebenarnya, aturan dari Kerajaan Pajajaran sudah jelas termasuk meminta rakyat mematuhi ajaran yang dianut kerajaan serta kebijakan-kebijakan leluhur. Namun, Prabu Siliwangi sadar dan tidak ingin mengekang rakyat.
Warga Pajajaran kemudian dibebaskan menentukan ajaran baru yakni Islam. Aturan kerajaan dalam undang-undang berupa Sanghyang Siksakandang Karesian yang berisi aturan pokok kemudian lentur untuk diterapkan.
Dalam naskah dipaparkan bahwa kedudukan raja berada di bawah para Dewa dan Hyang, artinya jabatan ini harus mendapat restu keduanya. Cara agar restu didapat adalah dengan mematuhi ajaran mereka.
Namun di sisi lain, raja juga harus menyadari bahwa kesejahteraan dan kenyamanan rakyat menjadi penentu amanah ini berhasil diterapkan atau tidak. Sehingga, ketika terjadi kekacauan, pemberontakan, dan kehancuran sosial karena kepemimpinan raja yang kolot maka Dewa menjadi murka.
“Di tengah ajaran baru ini, Prabu Siliwangi mampu menciptakan kibab Sangyang Siksakandang Karesian sebagai hal yang dipatuhi masyarakat,” terangnya.
Boleh Memeluk Islam namun Tak Hilangkan Budaya Leluhur
Semakin kuatnya pengaruh Cirebon dan Demak dengan ajaran Islamnya, Prabu Siliwangi kemudian mengubah taktik dengan mengenalkan kitab ini sebagai pedoman tingkah laku. Seluruh ajaran merupakan upaya untuk merawat tradisi leluhur, agar tidak benar-benar tergantikan.
Di saat yang bersamaan, Ia juga semakin terbuka dengan ajaran baru yakni Islam dan membolehkan rakyatnya menganut secara penuh. Namun, Prabu Siliwangi meminta agar rakyat tidak meninggalkan pedoman aturan leluhur di kehidupannya kelak.
“Kalaupun menganut ajaran Islam, ada intisari yang harus dijalankan yakni beragama Islam tanpa meninggalkan laku lampah (ajaran hidup) sebelumnya,” tambah Taufiq.