Ingin Tahu Kampung Halaman Leluhur, Ini Kisah Orang-orang Jawa yang Tinggal di Suriname
Mereka ingin berkunjung ke tanah leluhur, namun terkendala biaya yang amat sangat mahal.
Mereka ingin berkunjung ke tanah leluhur, namun terkendala biaya yang amat sangat mahal.
Ingin Tahu Kampung Halaman Leluhur, Ini Kisah Orang-orang Jawa yang Tinggal di Suriname
Pria itu bernama Legimin Wangsakrama. Ia tinggal di pinggiran timur ibukota Paramaribo.
Setelah pensiun, pria yang akrab disapa Bimbo itu lebih banyak menghabiskan waktu sebagai pemandu wisata di lokasi yang dulunya adalah pabrik pengolahan tebu.
-
Dimana orang Jawa tinggal di Suriname? Disana mereka menjadi tenaga kerja atau budak yang ditempatkan di beberapa perkebunan.
-
Bagaimana bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari di Suriname? Ratusan orang Jawa yang diangkut ke Benua Amerika bagian selatan pada tahun 1880-an kini mengisi 15 persen komposisi penduduk Suriname.
-
Mengapa bahasa Jawa masih digunakan di Suriname? Orang Jawa di Suriname mempertahankan ritual Jawa, bahkan yang di Indonesia tradisi Jawa itu mulai ditinggalkan.
-
Kenapa orang Bojonegoro pergi ke Suriname? Mereka berharap bisa mendapatkan penghasilan besar di sana dan suatu saat bisa kembali ke Bojonegoro.
-
Siapa yang pergi ke Suriname dari Bojonegoro? Pada awal tahun 1900, sekitar 300 lebih warga Bojonegoro mencoba peruntungan merantau ke Suriname, salah satu negara jajahan Belanda di Amerika Latin.
-
Bagaimana orang Bojonegoro pergi ke Suriname? Mereka diangkut ke Belanda dengan kapal pada tahun 1907.
Dahulu di perkebunan itu banyak orang Jawa dipekerjakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bimbo adalah salah satu warga Suriname keturunan Jawa.
Bahasa Jawa lancar terucap dari mulutnya. Walaupun tak pernah berkunjung ke negeri leluhur, ada terbesit keinginannya untuk bisa berkunjung ke Jawa walau hanya sekali seumur hidup.
“Ya ada rasa kangen. Tapi gimana nggak bisa ke sana. Tiketnya mahal. Nggak punya uang,” kata Bimbo dikutip dari dari kanal YouTube Moh Susilo.
Selanjutnya ada Semoedi Soekiman. Ia mengatakan kedua orang tuanya berasal dari Jawa. Mereka dibawa oleh Belanda sebagai pekerja kontrak. Setelah itu kedua orang tuanya bekerja di perkebunan tebu.
“Tentu saya ingin berkunjung ke sana (Pulau Jawa) bersama istri,” kata Semoedi.
Semoedi pernah bertanya pada kedua orang tuanya dari Jawa mana mereka berasal. Pada awalnya mereka berdua selalu menutup-nutupi. Namun pada akhirnya sang ayah memberi tahu.
Foto: YouTube Moh Susilo
“Ayah saya bilang, dulu ayahnya (kakek dari Semoedi) adalah seorang haji. Mbah buyut saya adalah orang Islam yang terkenal. Bapaknya rajin ke masjid, dia bekerja sebagai seorang kusir. Kalau tidak salah dia asal Banyumas, itu kalau bapak tidak berbohong,”
Kata Semoedi menceritakan tentang asal usul leluhurnya yang berasal dari Jawa.
Semoedi melanjutkan, kakek dari garis ibu berasal dari Surakarta. Ia merupakan seorang pembuat batu bata.
Selain dari orang tuanya, dulu ia sering berkunjung ke rumah para sesepuh Jawa di Suriname bagaimana dulu mereka bisa sampai di sana. Dari sesepuh itu pula Semoedi banyak belajar tentang budaya Jawa.
Terputusnya komunikasi membuat keinginan untuk berkunjung ke tanah Jawa menjadi hanya sebatas mimpi. Hal ini dialami keluarga Mbah Sanikem.
Selama ini, Mbah Sanikem rutin mengikuti perkembangan Jawa dan Indonesia dari layar televisi saja. Mereka mengeluhkan tiket perjalanan yang mahal. Belum lagi uang jajan yang harus dibawa.
“Tiket dari sini ke Amsterdam itu mahal, mungkin 1.200 euro. Kalau dari Amsterdam ke Indonesia mungkin cuma 800-1.000 euro,” kata salah seorang anggota keluarga Mbah Sanikem.