Jejak Kamp Interniran Jepang di Semarang, Perkampungan Penduduk yang Disulap Jadi Tempat Tinggal Tahanan Belanda
Pada masa penjajahan Jepang, warga sipil Eropa yang tinggal di Hindia Belanda harus menjalani kehidupan yang sengsara.
Pada masa penjajahan Jepang, warga sipil Eropa yang tinggal di Hindia Belanda harus menjalani kehidupan yang sengsara. Tentara Jepang menahan mereka di suatu kawasan khusus yang dikenal sebagai kamp interniran.
Sejarawan Kota Semarang, Anneke Juliantina, mengatakan bahwa penempatan warga sipil Eropa pada kamp interniran itu merupakan bagian dari propaganda Jepang. Mereka ingin memisahkan orang-orang Eropa dengan orang-orang pribumi.
-
Apa saja bangunan tua yang ada di Kampung Melayu Semarang? Bangunan-bangunan tuanya, seperti Masjid Menara, gedung tua tak bernama, dan Menara Syahbandar, menyimpan cerita menarik dari masa lampau.
-
Kenapa bangunan Susteran Gedangan difungsikan jadi kamp interniran? Pada masa pendudukan Jepang, Susteran Gedangan, dan juga banyak susteran lain di kawasan Semarang, menjadi kamp interniran. Jepang memang menyasar tempat-tempat yang sudah jadi untuk dijadikan kamp.
-
Bagaimana ornament bangunan tua Semarang? Ada pula konsul dan angin-angin berbahan besi tebal, serta keramik kotak kecil-kecil yang warnanya sudah tak lagi sama antara satu sama lain karena saking uzurnya.
-
Apa yang ditemukan di Kota Lama Semarang? Dari ekskavasi itu, tim peneliti tidak hanya menemukan struktur bata yang diduga merupakan bagian dari benteng Kota Lama. Namun juga ditemukan artefak berupa fragmen keramik, botol, kaca, tembikar, serta ekofak berupa gigi, tulang, tanduk hewan, dan fragmen Batubara yang jumlahnya mencapai 9.191 fragmen.
-
Apa yang tersisa dari bangunan tua Semarang? Yang tersisa saat ini hanyalah paviliun pelengkap bangunan utama.
-
Siapa yang membangun gedung tua di Semarang? Mengutip YouTube Tri Anaera Vloger, bangunan itu dibangun pada tahun 1911 oleh perusahaan penimbun kayu jati Belanda, de Javasche Bosch Exploitatie Maatschappij.
Lantas di mana saja jejak kamp interniran di Kota Semarang? Berikut selengkapnya:
Kamp Interniran di Kota Semarang
Di Kota Semarang terdapat setidaknya lima kamp interniran utama, yaitu kamp Gedangan, Halmaheira, Bangkong, Karangpanas, dan Lampersari. Kamp Interniran Lampersari menjadi yang terbesar di Semarang. Uniknya, Jepang mendirikan kamp ini dengan memanfaatkan sebuah perkampungan.
“Dari pada harus membangun lagi, pastinya lebih praktis kalau memanfaatkan rumah-rumah yang sudah ada. Jadi sudah menjadi kompleks yang sedemikian tertata, tinggal dibuat pagar berduri dan menara-menara pengawas,” kata Yogi Fajri, pegiat sejarah Semarang, dikutip dari kanal YouTube Mozes Christian.
Jalani Hari yang Melelahkan
Selama 3,5 tahun, Kamp Lampersari menjadi rumah bagi 8.000 orang yang mayoritas merupakan wanita dan anak-anak. Jumlah penghuni yang terus bertambah membuat kondisi kamp semakin tidak layak seiring berjalannya perang.
Salah satu penghuni Kamp Lampersari itu adalah John Stutterheim. Dalam buku hariannya ia menulis catatan sebagai berikut:
“Sesampainya di rumah yang menjadi tempat tinggal kami, kami diarahkan menuju ke kamar kecil yang berisi delapan orang. Beberapa wanita setengah hati menyambut kami dikarenakan semakin banyak orang yang berkerumun di kamar tersebut. Mereka menawari kami makan siang yang terdiri dari bubur tapioka tanpa campuran apapun. Mulai saat ini kami sarapan dengan tapioka polos yang biasanya digunakan untuk mengencangkan kerah baju.”
Hal serupa juga dirasakan oleh penyintas lainnya, Harry Van der Woude, yang saat itu berusia lima tahun. Ia mengisahkan betapa sulitnya kehidupan yang harus ia jalani di kamp Lampersari.
Sebagai anak kecil, ia merasa begitu lelah menjalani kehidupan di kamp. Pagi hari ia harus bekerja di kebun. Setelah selesai bekerja, tenaganya hilang total.
Penyiksaan dari Serdadu Jepang
Aktivitas melelahkan yang tidak dibarengi dengan asupan makanan yang layak membuat sebagian besar dari mereka terserang penyakit. Hal ini diperparah dengan perlakuan para penjaga kamp yang terkadang keterlaluan.
Sering kali mereka yang tertangkap basah menerima barang-barang dari luar langsung disiksa. Mereka dibawa ke sebuah bukit dan disuruh duduk dengan kaki bagian belakang mengapit sebilah bambu.
Keadaan yang teramat sulit yang dialami para penghuni kamp membuat beberapa orang mengembuskan napas terakhir mereka di Lampersari. Menurut data Yayasan Makam Kehormatan Belanda, sebanyak 324 orang mengembuskan napas terakhir di Lampersari.
Seusai perang, kisah mengenai para interniran di Lampersari seakan hilang. Setelah perang mereka pulang ke negara mereka masing-masing. Selain itu, bekas bangunan yang dulu digunakan untuk kamp kini digunakan untuk kebutuhan masyarakat umum.
“Sekarang rumahnya sudah berganti dengan rumah-rumah yang lebih modern, atau bangunannya sekarang sudah berubah menjadi bangunan tembok,” kata Yogi.
Jejak Kamp Lampersari Sekarang
Jejak Kamp Lampersari masih bisa ditemui pada beberapa bangunan kuno yang berada di perkampungan Lampersari. Beberapa di antaranya adalah bangunan SMP Negeri 37 Semarang, bangunan Percetakan Kodam, dan bangunan yang berada di dalam SMP Negeri 39 Semarang yang dulu digunakan untuk rumah sakit kamp.
Di luar itu, masih banyak lagi bangunan-bangunan tua di Perkampungan Lampersari yang diduga menjadi bangunan cagar budaya. Namun sebelum ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, bangunan-bangunan tua itu harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu.
“Kajian-kajian itu meliputi sejarah kepemilikannya, sejarah fungsinya, dulu untuk apa dan sekarang untuk apa,” kata Pejabat Fungsional Sejarah dan Cagar Budaya Disbudpar Kota Semarang, Haryadi Dwi Prasetyo.