Kisah Perjuangan Perajin Batik Tulis dengan Pewarna Alami di Pekalongan, Pertahankan Cita Rasa Seni yang Tinggi
Solikhin tetap bertahan dengan idealismenya di tengah gempuran batik industri berbahan sintetis

Solikhin tetap bertahan dengan idealismenya di tengah gempuran batik industri berbahan sintetis

Kisah Perjuangan Perajin Batik Tulis dengan Pewarna Alami di Pekalongan, Pertahankan Cita Rasa Seni yang Tinggi
Batik merupakan warisan budaya dunia dari Indonesia. Seiring perkembangan teknologi, batik kini bisa dibuat dengan berbagai cara dengan lebih efektif dan efisien. Dengan begitu, produksi kain batik bisa lebih banyak dan keuntungan bisa berlipat.

Tapi di tengah gempuran teknologi dan kemunculan berbagai jenis batik, masih ada perajin yang ingin terus mempertahankan identitas asli dari batik itu sendiri. Salah satunya adalah Solikhin, perajin batik asal Pekalongan.

Sudah sejak tahun 2004 silam Solikhin menjatuhkan pilihan menekuni batik tulis dengan pewarna alami setelah berguru pada seorang perajin batik di Yogyakarta. Ia tidak tergiur beralih ke batik berbahan sintetis dengan pewarna buatan. Baginya, batik tulis dengan pewarna alami adalah batik asli yang punya nilai seni tinggi.

Solikhin sudah jatuh cinta pada batik sejak masih duduk di bangku SMA. Apalagi ayahnya seorang perajin batik. Saat kuliah di Jogja, ia mulai jatuh cinta pada batik tulis berbahan alami. Setelah lulus ia mulai menggeluti batik tulis di kampung halamannya di Desa Gumawang, Kecamatan Wiradesa, Pekalongan.


Pembuatan batik tulis dengan pewarna alami sama dengan pembuatan batik lainnya. Pertama-tama motif dibuat, lalu menempelkan bahan malam pada gambar, selanjutnya motif diberi warna, setelah itu kain batik dikeringkan.
Sejak awal, Solikhin selalu setia menggunakan bahan pewarna alami dari kulit kayu tingi, bahan pasta indigo, dan buah jolawe.
“Agar lisensinya kuat yang pertama pakai indigo, yaitu fermentasi dari daun tom. Hasil fermentasinya akan menghasilkan warna biru. Yang kedua saya pakai kulit kayu tingi, sejenis bakau yang tumbuhnya di pinggir pantai, ini menghasilkan warna merah. Terus buah jolawe,” kata Solikhin dikutip dari Liputan6.com.
Perjuangan Solikhin dalam memproduksi batik tulis tidaklah mudah. Apalagi ia digempur batik industri berbahan sintetis dengan motif dan jumlah yang sangat banyak. Namun dia tidak pernah menyerah. Dia berupaya memasarkan batik dari rumah ke rumah. Baginya batik tulis dengan pewarna alami memiliki nilai seni tinggi.
“Waktu itu tahun 2004 akhir mulai menjual door to door dan produksi juga belum banyak. Setelah 10 tahun kita terima jasa pewarnaan, kurang lebih 10 tahun. Waktu itu saya disarankan teman untuk mengajukan bantuan ke Pertamina,” kata Solikhin.
Perjuanan Solikhin tidak sia-sia. Ia mendapat bantuan modal dari PT Pertamina tahun 2019 lalu. Kini batik produksinya banyak dicari.
Harga batik tulis produksinya berkisar di angka Rp1 juta hingga Rp25 juta per potong. Tergantung motif dan ukuran. Bagi Solikhin, membatik bukan sekadar mengumpulkan rupiah, namun juga mewariskan kekayaan leluhur.