Mengenal Batik Tulis Ulur Wiji Asal Mojokerto, Dari Desa hingga Tembus Pasar Internasional
Batik Ulur Wiji telah diminati pasar internasional, seperti Kanada, Jepang, Australia, Malaysia, dan Hongkong.
Batik tulis Ulur Wiji ini diproduksi oleh ibu-ibu di Dusun Pandan Toyo, Desa Pandan Krajan, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto.
Mengenal Batik Tulis Ulur Wiji Asal Mojokerto, Dari Desa hingga Tembus Pasar Internasional
Indonesia memiliki banyak sekali jenis dan corak batik secara nasional. Salah satunya adalah batik khas Mojokerto yang diklaim sebagai pusatnya Kerajaan Majapahit kala itu.
Ya, batik tulis khas Mojokerto ini memiliki corak maupun motif yang berbeda dari batik dari daerah lainnya. Tak banyak yang menekuni batik tulis ini. Salah satunya adalah Nasta Rofika.
Perempuan berusia 33 tahun ini membuat batik tulis yang diberi nama batik Ulur Wiji. Batik tulis Ulur Wiji ini diproduksi oleh ibu-ibu di Dusun Pandan Toyo, Desa Pandan Krajan, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto.
Berkat keuletan dan ketekunan Nasta, batik Ulur Wiji telah diminati pasar internasional, seperti Kanada, Jepang, Australia, Malaysia, dan Hongkong.
Nasta mengatakan, motif batik Ulur Wiji tidak ada corak kedaerahan, seperti batik Madura dan Pekalongan yang memiliki ciri khas dan pakem tersendiri dalam pembuatannya.
Ia menghadirkan batik Ulur Wiji dengan trend fashion modern saat ini. Sehingga generasi muda lebih antusias mengenakannya.
“Kita mengajak anak muda mencintai budaya melalui fashion modern. Kami ingin anak muda lebih mencintai batik tulis, bukan batik printing atau sablon. Niat kita untuk nguri-nguri (melestarikan) budaya,” katanya.
Motif batik Ulur Wiji ini mengambil corak tanaman dan kegiatan masyarakat desa. Di antaranya, motif angon, tandur, dan galaksi. Terbaru, Nasta memproduksi batik dengan tema cerita rakyat bawang merah bawang putih. Warna yang digunakan pada batik ulur wiji cenderung terang, seperti merah, kuning, hijau, biru, putih, dan oranye.
Batik Ulur Wiji dibuat dengan teknik yang cukup tradisional. Bahkan diproduksi menggunakan pewarnaan alami.
Bahan alam yang digunakan ada dari kayu jolawe untuk menghasilkan warna kuning, katu tegeran untuk warna kuning cerah (ngejreng), kayu mahoni untuk warna merah dan campuran hitam dan bahan lainnya.
Meski bahan-bahan pewarna tersebut tak asing lagi. Alumnus Teknik Lingkungan ini mengaku riset lebih dulu untuk menghasilkan warna yang serasi.
“Proses (pewarnaan) umumnya celup, namun kalau pewarna alam lebih rumit. Berbeda dengan pewarna sintesis tinggal sekali celup, sudah jadi. Kalau alami, misalkan mau membuat warna biru gelap bisa sampai 50 kali celupan, maka tidak heran kalau mahal, kita riset juga,” ungkapnya.
Sebelum melalui proses pewarnaan kain dicuci lebih dulu atau disebut teknik pre-mordanting. Proses pre-modating ini untuk menetralkan zat kapur yang nempel pada kain.
Setelah itu kain digambar motif, lalu dibatik, kemudian kain akan diwarnai menggunakan pewarna alam.
“Dalam sehari bisa mengahasilkan 12 kain. Kalau ngebut bisa sampai 20 kain. Kalau sebulan sekitar 100 - 150 kain,” ujar Nesta.
Bahan kain yang digunakan batik Ulur Wiji ada beberapa jenis. Antara lain, tansel, rayon, linen, katun, sutra. Ibu tiga anak ini mengungkapkan, jenis kain yang paling diminati tansel dan linen, karena ramah lingkungan.
Khusus batik berbahan kain sutra, ia sendiri produksi jika ada pesanan khusus. Sebab, harga kain sutra sendiri terbilang cukup mahal. Rp 150 - 250 ribu per meter. Harga jual batik Ulur Wiji berbahan kain sutra bisa mencapai Rp 1,2 juta.
“Ketentuan harga berdasarkan bahan dasar dan motif. Paling diminati kain tansel sama linen. Sedangkan motif yang galaxi paling laris,” terangnya.
Tidak hanya produk kain batik, Ulur Wiji juga memproduksi baju batik berbagai model. Seperti kebaya, tunik, blouse, kaftan, dress, kemeja, dan hijab.
Nasta merintis usaha batik Ulur Wiji sejak tahun 2019. Ia memberdayakan perempuan-perempuan Desa Pandan Krajan. Hal itu, selaras dengan visi dan falsafah nama Ulur Wiji, yakni menabur benih kebaikan.
“Sesuai dengan visi kami, kami ingin memberikan kesempatan bagi perempuan-perempuan di desa ini mencari penghidupan, ekonomi, menyalurkan bakat. Mereka disini bisa berkarya,” terangnya.
Diawal-awal, Nasta sendiri yang mengajari cara membatik dan menjahit kepada perempuan-perempuan di desanya. Karena dulu dirinya sempat sekolah fashion di Surabaya, mengikuti seminar textil, dan belajar batik di Semarang. Kini, sedikitnya ada 12 orang yang setiap hari bekerja disana.
“Kita latih mulai dari nol dengan gaji yang layak. Meski belum UMR tapi layak untuk ukuran warga sini. Paling tidak bisa memenuhuni standart kelayayakan hidup disini kita penuhi. Kita juga fasilitasi mereka dengan BPJS," katanya.
Sebagai pendatang baru kala itu, ia kesulitan memperkenalkan produk. Berbagai cara dilakukan mulai dari masuk ke instansi pemerintah, ikut pameran dan memanfaatkan jaringan yang ada. Media sosial pun dimanfaatkan Riza untuk memperkenalkan batik Medan hingga ke pelosok negeri. Melalui akun Instagram @ulurwiji mengunggah kain batik Medan dengan berbagai motif.
Setelah batik ulur mulai dikenal, perlahan orderan pun tiba. Dia tetap mengutamakan kualitas agar pembeli tidak kecewa.
Meski terbilang anyar mewarnai pasar batik Indonesia, batik Ulur Wiji tercatat sebagai finalis terbaik dalam ajang Apresiasi Kreasi Indonesia (AKI) 2023 yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Tak hanya itu, Ulur Wiji juga tercatat sebagai juara 1 Kategori Berdaya dari program Talenta Wirausaha yang digelar oleh PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI).
Sejauh ini, batik Ulur Wiji tak hanya merambah pasar nasional. Namun juga telah melalang buana ke mancanegara. Seperti Kanada, Paris, Jepang, Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Australia.
Menurut Nasta, pasar luar negeri lebih suka membeli batik Ulur Wiji dengan warna-warna cerah. Berbeda halnya dengan orang jawa yang cenderung menyukai warna batik gelap. Perbulan, omzetnya pun tidak kurang dari Rp 50-60 juta.