Sejarah Kirab Tedhak Loji, Unjuk Kewibawaan Raja Tanah Jawa Terhadap Rezim Kolonial
Kirab ini selalu berlangsung megah yang mengisyaratkan tingginya wibawa raja tanah Jawa.
Kirab ini selalu berlangsung megah yang mengisyaratkan tingginya wibawa raja tanah Jawa
Sejarah Kirab Tedhak Loji, Unjuk Kewibawaan Raja Tanah Jawa Terhadap Rezim Kolonial
Upacara Tedhak Loji merupakan prosesi hadirnya Sunan atau Sri Sultan pada acara yang diadakan di Loji atau rumah gubernur.
Biasanya keberangkatan Sultan menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran. Selain itu, acara kirab juga diikuti oleh para bangsawan dan prajurit beserta abdi dalem keraton.
-
Siapa yang memimpin kerajaan Majapahit? “Dewi Suhita is the 6th King of the Majapahit Kingdom, who has the title Ratu Ayu Kencono Wungu, He led the Majapahit kingdom from 1429 AD - 1447 AD, The beauty and beauty of DEWI SUHITA made everyone admire and fall in love with him“ - Millen
-
Bagaimana Jahja Datoek Kajo melawan kolonialisme? Ia tetap konsisten menggunakan Bahasa Melayu dalam pertemuan Volksraad, bahkan saat dirinya berpidato.
-
Apa itu Rajah? Rajah merujuk pada praktik pengobatan lisan dengan mengucapkan doa-doa. Pasiennya bukan menderita penyakit biasa, melainkan penyakit yang bersifat magis atau menggunakan kekuataan gaib.
-
Siapa pemimpin Keraton Surabaya? Kadipaten Kasepuhan dipimpin Bupati Raden Tumenggung Panji Condronegoro.
-
Kenapa Jawa disebut sebagai pusat kerajaan bersejarah? Pulau Jawa adalah pusat dari beberapa kerajaan bersejarah yang berperan penting dalam membentuk budaya dan sejarah Indonesia.
-
Siapa raja pertama Kerajaan Kanjuruhan? Melalui prasasti ini, diketahui bahwa raja pertama kerajaan ini adalah Dewasimha, yang kemudian digantikan oleh Sang Liswa.
Prosesi ini juga menjadi unjuk kebolehan para raja dan bangsawan Jawa di mata para penjajah.
Dilansir dari kanal YouTube Bauwarna, upacara tersebut diperkirakan sudah ada sejak tahun 1800-an, yaitu pada masa Pakubuwono IV di Surakarta, dan masa Hamengkubuwono III di Yogyakarta.
Menjelang abad ke-20, yaitu pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IX, pelaksanaan Tedhak Loji digambarkan sangat megah.
Para prajurit keraton berjalan membawa panji-panji kebesaran. Sementara Sri Sunan bersama residen Belanda duduk di dalam Kereta Kuda Kencana yang ditarik 8 ekor kuda Australia. Sedangkan putra mahkota dan residen duduk di kereta kuda lain yang ditarik 6 ekor kuda, diikuti oleh barisan para pangeran yang juga menunggang kuda.
Ratusan abdi dalem mengiringi dengan berjalan kaki. Sebagian dari mereka membawa benda-benda pusaka dan regalia.
Para prajurit keraton dan tentara pengawal sunan berbaris di depan kereta Sunan. Saat kereta sunan melewati Benteng Vastenberg, barisan korps musik segera memainkan lagu Wilhelmus, disertai dentuman meriam sebagai tanda penghormatan.
Saat kereta sunan sudah memasuki halaman Loji Residen, maka para pangeran bergegas turun dari kuda untuk melakukan sembah, kemudian duduk di tanah sampai Sunan turun dari keretanya.
Sementara itu tempat duduk di dalam Loji Residen sudah diatur dengan sangat bagus. Mulai dari tempat turunnya Sunan dari kereta kencana hingga dibentangkannya permadani merah khusus untuk lantai yang akan dilalui sunan dan residen.
Setelah Sunan dan Residen lewat, para petugas langsung sigap menggulung permadani itu kembali agar orang lain tidak berkesempatan untuk menginjaknya.
Dalam gelaran Tedhak Loji, Sri Sunan selalu membawa seperangkat gamelan beserta para penari srimpi untuk dipertunjukkan di dalam pesta. Sri Sunan, tanpa disertai istri, mengikuti acara itu hingga pukul 3 pagi.
Ketika Sri Sunan kembali ke keraton, diadakanlah upacara penghormatan yang sama seperti yang berlangsung saat kedatangannya di Loji Residen.