Raja Surakarta PB XIII Pimpin Kirab 1.000 Tumpeng Sambut Lailatul Qadar
1.000 tumpeng dibawa ke Sriwedari untuk diserahkan Pemkot Solo. Usai didoakan para ulama keraton, tumpeng dibagikan ke masyarakat.
Acara tersebut diikuti kerabat dan ratusan peserta merupakan prajurit keraton, sentana, abdi dalem serta para petinggi.
Raja Surakarta PB XIII Pimpin Kirab 1.000 Tumpeng Sambut Lailatul Qadar
Tradisi turun temurun berupa 'Malem Selikuran' menyambut Lailatul Qadar di bulan Ramadhan kembali dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Minggu (30/3/2024) malam seusai Salat Taraweh. Malem Selikuran yang berarti malam ke-21 Ramadan diisi dengan kirab ting (lampu minyak) dan 1.000 tumpeng.
Raja Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono XIII memimpin langsung acara tersebut diikuti kerabat dan ratusan peserta yang merupakan prajurit keraton, sentana, abdi dalem serta para petinggi keraton. Seluruh peserta kirab dengan uba rampe yang dibawa keluar dari Kori Kamandungan (pintu utama) sekitar pukul 20.15 WIB.
Setelah keluar dari Kori Kamandungan, arak arakan menuju Siti Hinggal Bangsal Sewayana hingga Pagelaran Sasana Sumewa.
Kemudian menuju Alun alun Utara sampai perempatan Gladag, belok ke Jalan Slamet Riyadi kebarat menuju Taman Sriwedari.
Dalam arak-arakan kirab itu ada tumpeng sewu (1.000 tumpeng nasi), lampu ting (lampu minta) lampion, gamelan dan lainnya. Setiba di Taman Sriwedari, tumpeng tersebut kemudian didoakan oleh para ulama keraton.
"Jadi malam hari ini merupakan hajad dalem (kemauan raja) malam selikuran. Dengan pengertian disini memperingati tumuruning (turunnya) Lailatul Qadar. Awit saking kepareng dalem Sampeyan Sahandap Ingkang Sinuhun Paku Buwono XIII, Keraton Surakarta melestarikan tata cara tradisi ini, dimana Malem Selikuran yang isinya, lampion, ting, tapi juga tumpeng sewu, yang itu memaknai turunnya Lailatul Qadar yang seindah seribu bulan," ujar Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Dipokusumo.
Lanjut Dipokusumo, saat itu malam selikuran dilakukan dengan mengarak tumpeng yang diiringi lampu ting atau pelita dari Keraton menuju Masjid Agung Surakarta. Lampu ting menjadi simbol dari obor yang dibawa para sahabat ketika menjemput Rasulullah SAW usai menerima wahyu di Jabal Nur.
Dalam malam selikuran, nasi tumpeng yang dibawa abdi dalem berjumlah seribu. Jumlah tersebut melambangkan pahala setara seribu bulan. Berisi nasi gurih yang dibentuk tumpeng kecil dan dilengkapi dengan kedelai hitam, rambak, mentimun, dan cabai hijau lalu dimasukkan ke dalam wadah dari besi dan kuningan.
Dia menjelaskan 1.000 tumpeng dibawa ke Sriwedari untuk diserahkan Pemkot Solo. Usai didoakan para ulama keraton, tumpeng dibagikan ke masyarakat.
"Seribu tumpeng ini sebagai simbol dari malam seribu bulan. Dalam tradisi Islam malam itu merupakan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Kalau ting dan lampion itu karena dulu di sekitar keraton belum ada listrik. Penduduk kita minta membuat lampion, sebagian boleh diikutkan kiran," terangnya.
Malam selikuran merupakan tradisi unik yang digelar dalam rangka menyambut datangnya lailatul qadar di Keraton Surakarta. Bagi umat Islam, lailatur qadar adalah momen yang dinantikan saat berpuasa karena disebut lebih mulia dari seribu bulan, yang jatuh pada malam-malam ganjil di 20 hari terakhir bulan Ramadan.
Tradisi Malam Selikuran digelar pada 20 Ramadan atau malam 21 Ramadan setiap tahunnya. Awalnya, ritual ini dikembangkan oleh Sultan Agung. Namun dalam perjalanannya sempat mengalami pasang surut. Di masa pemerintahan Pakubuwana IX, tradisi ini dihidupkan kembali dan mengalami puncaknya di masa Pakubuwana X.
"Jadi tradisi ini dimulai sejak Ingkang Sinuhun PB X. Karena waktu itu setiap acara malam Lailatul Qadar hanya dari keraton sampai masjid. Namun kemudian muncul seperti pasar malam. Karena karena pasar malam sudah ada di Sekaten, maka kegiatan ini dilanjutkan ke Sriwedari," ungkapnya.
Lanjut Dipokusumo, saat itu malam selikuran dilakukan dengan mengarak tumpeng yang diiringi lampu ting atau pelita dari Keraton menuju Masjid Agung Surakarta. Lampu ting menjadi simbol dari obor yang dibawa para sahabat ketika menjemput Rasulullah SAW usai menerima wahyu di Jabal Nur.
Dalam malam selikuran, nasi tumpeng yang dibawa abdi dalem berjumlah seribu. Jumlah tersebut melambangkan pahala setara seribu bulan. Berisi nasi gurih yang dibentuk tumpeng kecil dan dilengkapi dengan kedelai hitam, rambak, mentimun, dan cabai hijau lalu dimasukkan ke dalam wadah dari besi dan kuningan.