Melihat Prosesi Labuhan Keraton Yogyakarta di Gunung Lawu, Tapak Tilas Perjalanan Terakhir Prabu Brawijaya V
Perjalanan menuju puncak Gunung Lawu membutuhkan waktu 9-10 jam.

Perjalanan menuju puncak Gunung Lawu membutuhkan waktu 9-10 jam.

Melihat Prosesi Labuhan Keraton Yogyakarta di Gunung Lawu, Tapak Tilas Perjalanan Terakhir Prabu Brawijaya V
Pada Senin (12/2), digelar Hajad Dalem Labuhan Lawu di Petilasan Hargo Dalem, Gunung Lawu. Rombongan pembawa ubo rampe dari Keraton Yogyakarta tiba di Petilasan Hargo Dalem pukul 09.00 WIB.
(Foto: Instagram @kratonjogja)

Sebelumnya mereka melakukan pendakian selama kurang lebih 8-9 jam melalui jalur Mongkongan.
Mengutip Instagram @kratonjogja, prosesi Labuhan Lawu tahun ini telah kembali seperti sebelum pandemi. Saat pandemi, prosesi labuhan digelar di Cemara Kandang.
Ubarampe yang dilabuh pada prosesi kali ini merupakan ubarampe Kasepuhan dan Kanoman. Sehari sebelumnya, tepatnya Minggu (11/2), ubarampe yang dilabuh terlebih dahulu diserahterimakan oleh Utusan Dalem KRT Rintaiswara didampingi KRT Widyacandra Ismayaningrat secara langsung kepada Abdi Dalem Juru Kunci Gunung Lawu di kediaman sang juru kunci.

Seluruh ubarampe kemudian didoakan dalam Upacara Sugengan setelah magrib di kediaman Juru Kunci Gunung Lawu untuk kemudian dilabuh keesokan harinya.
Sebagai penutup prosesi tersebut, pada Selasa (13/2) dilakukan prosesi lodoran ubarampe.
Lodoran ini merupakan prosesi penggantian ubarampe yang dilabuh tahun lalu dengan ubarampe yang dilabuh tahun ini.
Prosesi Labuhan Lawu juga yang kemudian menandai selesainya seluruh rangkaian peringatan Tingalan Jumenengan Dalem.
Mengutip YouTube Kraton Jogja, Hajad Dalem Labuhan Lawu ini merupakan bentuk ketaatan Kraton Yogyakarta terhadap para pendahulu.
Selain itu, tradisi tersebut juga ada kaitannya dengan kisah pelarian Prabu Brawijaya V yang melarikan diri dari Istana Majapahit menuju Gunung Lawu.
Dalam kisah itu, diceritakan pada akhirnya Prabu Brawijaya V menjalani sisa hidupnya sebagai seorang petapa di puncak Gunung Lawu.
“Akhir dari pertapaan itu beliau wafat. Tapi tidak meninggalkan jasad. Dalam bahasa Jawa artinya moksa. Jadi moksa artinya meninggal tanpa meninggalkan raga,” terang KRT Rintaiswara, Abdi Dalem Kraton yang menjabat sebagai Penghageng II Kawedanan Widya Budaya.