Kisah Eyang Djugo, Penasihat Pangeran Diponegoro yang Dimakamkan di Gunung Kawi

Merdeka.com - Gunung Kawi adalah salah satu tempat yang dikeramatkan di Indonesia. Sebagai tempat ziarah, di Gunung Kawi dimakamkan tokoh-tokoh berpengaruh pada masanya. Salah satu tokoh itu adalah seorang bangsawan Keraton Yogyakarta bernama R.M Soerjokoesoemo atau yang lebih dikenal dengan nama Eyang Djugo.
Ia dikenal sebagai guru yang konon berhasil menyembuhkan wabah kolera di Jawa Timur.Tak hanya itu, Eyang Jugo juga dikatakan pernah menjadi penasihat spiritual dan pengawal Pangeran Diponegoro.
Namun setelah kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro ke Manado pada tahun 1830, Eyang Jugo dikabarkan melepas atribut kebangsawanannya dan pergi mengembara.Lalu seperti apa kisah pengembaraan Eyang Djugo? Berikut selengkapnya:
Pengembaraan Eyang Djugo
©Jejakpejalankaki.com
Dari Yogyakarta, Eyang Djugo mengembara menuju Sleman hingga tiba di Blitar. Sesampai di Blitar, ia berpindah lagi ke daerah Kesamben, tepatnya di tepian Sungai Brantas. Selama menetap di sana, masyarakat segan mendekatinya karena pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang berwibawa.
Di desa itu, ia bertemu seorang warga bernama Tosiman yang menanyai asal-usulnya. Agar tidak dicurigai, Eyang Djugo mengatakan kalau dia sedang sajugo (bahasa Jawa untuk “sendirian”).
Tosiman salah sangka dengan ucapan ini dan mengira kalau itu adalah nama lawan bicaranya. Mulai dari sanalah ia kemudian dikenal dengan nama Djugo.
Mengobati Penyakit Kolera
©©shutterstock.com/Creations
Selama tinggal di Kesamben, Eyang Djugo mendakwahkan Islam, mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, serta keterampilan lainnya.
Pada tahun 1960-an, wabah kolera merebak di kawasan tempat tinggal Eyang Djugo. Saat itu, ia meminta warga yang terkena penyakit untuk membawakan air. Air tersebut kemudian didoakan dan warga yang terkena penyakit akan sembuh setelah meminumnya.
Setelah berhasil menyembuhkan penyakit, Eyang Djugo diminta oleh regent Blitar saat itu, Kanjeng Pangeran Warsokoesoemo, untuk menyembuhkan penyakit itu di daerah Blitar yang lain. Atas keberhasilannya ia mendapat tanah seluas 7 hektare. Eyang Djugo kemudian membangun sebuah padepokan di atas tanah hadiah itu.
Eyang Djugo Wafat
©2020 Merdeka.com/liputan6.com
Sebelum meninggal, Eyang Djugo berwasiat agar jenazahnya dimakamkan di lereng Gunung Kawi. Sebelum wafat, dikatakan kalau dia melaksanakan tapa tanpa minum dan makan selama 36 hari. Di hari ke-37, dia masuk ke liang lahat dan menghembuskan nafas terakhir.
Hingga kini, masyarakat setempat rutin mengadakan tahlilan pada malam Jumat Legi di mana pada hari itu Eyang Djugo dimakamkan. Tak hanya masyarakat Jawa, masyarakat Tionghoa juga dikenal memuja Eyang Djugo. Mereka mendirikan kelenteng di dekat pasarean Eyang Djugo.
Semasa hidupnya, Eyang Djugo memiliki hubungan erat dengan masyarakat Tionghoa. Tan Kie Liam, adalah salah satu murid yang sembuh dari penyakit berkat jasa Eyang Djugo. (mdk/shr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya