Kisah Eyang Djugo, Penasihat Pangeran Diponegoro yang Dimakamkan di Gunung Kawi
Merdeka.com - Gunung Kawi adalah salah satu tempat yang dikeramatkan di Indonesia. Sebagai tempat ziarah, di Gunung Kawi dimakamkan tokoh-tokoh berpengaruh pada masanya. Salah satu tokoh itu adalah seorang bangsawan Keraton Yogyakarta bernama R.M Soerjokoesoemo atau yang lebih dikenal dengan nama Eyang Djugo.
Ia dikenal sebagai guru yang konon berhasil menyembuhkan wabah kolera di Jawa Timur.Tak hanya itu, Eyang Jugo juga dikatakan pernah menjadi penasihat spiritual dan pengawal Pangeran Diponegoro.
Namun setelah kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro ke Manado pada tahun 1830, Eyang Jugo dikabarkan melepas atribut kebangsawanannya dan pergi mengembara.Lalu seperti apa kisah pengembaraan Eyang Djugo? Berikut selengkapnya:
-
Dimana Eyang Kudo dimakamkan? Kendati berada di tengah padatnya Kota Surabaya, kompleks makam Eyang Kudo masih terawat.
-
Kenapa dr. Soetomo dimakamkan di Surabaya? Ia ingin dimakamkan di Surabaya agar senantiasa dekat dengan masyarakat kota itu.
-
Dimana Kiai Joseno dimakamkan? Jenazahnya dimakamkan di Jalan Empu Supo.Kemudian dipindahkan ke makam Moro Dalem karena lokasi makam sebelumnya terdampak pembangunan tangkis sungai Bengawan Madiun.
-
Dimana Eyang Kudo Kardono dimakamkan? Sebagai sesepuh kampung Tegalsari, jenazah Eyang Kudo Kardono dimakamkan di sini.
-
Siapa yang dimakamkan di makam tersebut? Dilansir AOL, puncak dari penggalian sejauh ini adalah sebuah makam yang ditemukan pada tahun 2018 yang diyakini para ahli sebagai milik seorang pangeran Picene.
-
Apa kontribusi dr. Soetomo di bidang kesehatan? Ia punya kontribusi besar menangani wabah lepra di Kota Surabaya dengan memberikan pengobatan gratis di kliniknya.
Pengembaraan Eyang Djugo
©Jejakpejalankaki.com
Dari Yogyakarta, Eyang Djugo mengembara menuju Sleman hingga tiba di Blitar. Sesampai di Blitar, ia berpindah lagi ke daerah Kesamben, tepatnya di tepian Sungai Brantas. Selama menetap di sana, masyarakat segan mendekatinya karena pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang berwibawa.
Di desa itu, ia bertemu seorang warga bernama Tosiman yang menanyai asal-usulnya. Agar tidak dicurigai, Eyang Djugo mengatakan kalau dia sedang sajugo (bahasa Jawa untuk “sendirian”).
Tosiman salah sangka dengan ucapan ini dan mengira kalau itu adalah nama lawan bicaranya. Mulai dari sanalah ia kemudian dikenal dengan nama Djugo.
Mengobati Penyakit Kolera
©©shutterstock.com/Creations
Selama tinggal di Kesamben, Eyang Djugo mendakwahkan Islam, mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, serta keterampilan lainnya.
Pada tahun 1960-an, wabah kolera merebak di kawasan tempat tinggal Eyang Djugo. Saat itu, ia meminta warga yang terkena penyakit untuk membawakan air. Air tersebut kemudian didoakan dan warga yang terkena penyakit akan sembuh setelah meminumnya.
Setelah berhasil menyembuhkan penyakit, Eyang Djugo diminta oleh regent Blitar saat itu, Kanjeng Pangeran Warsokoesoemo, untuk menyembuhkan penyakit itu di daerah Blitar yang lain. Atas keberhasilannya ia mendapat tanah seluas 7 hektare. Eyang Djugo kemudian membangun sebuah padepokan di atas tanah hadiah itu.
Eyang Djugo Wafat
©2020 Merdeka.com/liputan6.com
Sebelum meninggal, Eyang Djugo berwasiat agar jenazahnya dimakamkan di lereng Gunung Kawi. Sebelum wafat, dikatakan kalau dia melaksanakan tapa tanpa minum dan makan selama 36 hari. Di hari ke-37, dia masuk ke liang lahat dan menghembuskan nafas terakhir.
Hingga kini, masyarakat setempat rutin mengadakan tahlilan pada malam Jumat Legi di mana pada hari itu Eyang Djugo dimakamkan. Tak hanya masyarakat Jawa, masyarakat Tionghoa juga dikenal memuja Eyang Djugo. Mereka mendirikan kelenteng di dekat pasarean Eyang Djugo.
Semasa hidupnya, Eyang Djugo memiliki hubungan erat dengan masyarakat Tionghoa. Tan Kie Liam, adalah salah satu murid yang sembuh dari penyakit berkat jasa Eyang Djugo. (mdk/shr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Makamnya banyak dikunjungi orang yang ingin cari jodoh, kekayaan, hingga jabatan
Baca SelengkapnyaTempat itu kini menjadi semak belukar yang tanahnya dimiliki oleh Keraton Yogyakarta
Baca SelengkapnyaDatuk Mujib, seorang guru spiritual Presiden Soekarno yang merupakan keturunan Raja Bone Sulawesi Selatan.
Baca SelengkapnyaHingga kini, makamnya selalu bersih dan rapi karena banyak diziarahi warga lokal
Baca SelengkapnyaGunung ini merupakan puncak tertinggi kawasan pegunungan Kendeng.
Baca SelengkapnyaDia dikenal sebagai Dokter Air Putih saat di Belanda.
Baca SelengkapnyaIa merupakan tokoh penting dalam sejarah Kota Surabaya.
Baca SelengkapnyaKi Ageng Wonoboyo merupakan sosok yang disegani pada masanya.
Baca SelengkapnyaIa adalah tokoh lokal dan nasional yang terkenal kharismatik
Baca SelengkapnyaIa adalah gurunya para warok terkenal di Ponorogo.
Baca SelengkapnyaMenurut penuturan juru kunci makam, jenazah Djojodigdo bisa hidup kembali jika menyentuh tanah
Baca SelengkapnyaLeluhur Kabupaten Bojonegoro merupakan keturunan Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Pajang.
Baca Selengkapnya