Tata Cara Mengganti Shalat Saat Haid, Muslimah Wajib Tahu
Ketentuan dan cara mengganti atau mengqodho shalat saat haid telah ditetapkan dalam Islam.
Ketentuan dan cara mengganti atau mengqodho shalat saat haid telah ditetapkan dalam Islam.
Tata Cara Mengganti Shalat Saat Haid, Muslimah Wajib Tahu
Bagi kaum muslimah yang sudah akil baligh, haid adalah siklus alami yang terjadi setiap bulannya. Sewaktu haid, Islam melarang para wanita ini untuk beribadah shalat dan memegang kitab suci Alquran. Haid menggugurkan kewajiban shalat pada wanita, namun para wanita yang haid juga wajib mengqodho atau mengganti shalat usai berhentinya haid.Misal, seorang wanita ketika masuk waktu zuhur yakni sekitar pukul 12.00 WIB hendak mengerjakan shalatnya pada 13.00 WIB. Namun, ketika pukul 12.30 WIB ternyata wanita tersebut haid.
Maka, apakah sholat zuhur yang hendak dia tunaikan ketika itu harus diqodho nantinya? Bagaimana ketentuan dan tata cara mengganti shalat saat haid ini?
Untuk memperjelas dan menambah pemaham Anda terkait hal ini, berikut ulasan selengkapnya tentang cara mengganti shalat saat haid yang telah merdeka.com rangkum dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.
Cara Mengganti Shalat Saat Haid
Penting diketahui, terdapat dua kondisi di mana seorang wanita yang sedang haid tetap diwajibkan mengganti shalat yang ditinggalkannya dan bagaimana tata cara mengganti shalat saat haid yang benar dilaksanakan.Kondisi pertama adalah ketika waktu shalat telah tiba, wanita tersebut sengaja menunda untuk mengerjakannya hingga akhir waktu yang berujung pada datangnya haid sebelum dia sempat mengerjakan shalat tersebut. Dalam kasus ini, pada saat dia bersih dari haidnya maka dia wajib mengganti shalat yang ditinggalkannya itu. Alasannya adalah karena shalat yang dia tinggalkan tersebut sejatinya telah wajib dikerjakan.
Meski demikian, karena sengaja menunda hingga datangnya haid, dia tak hanya meninggalkan shalat itu bukan karena haid semata tetapi juga karena sikapnya yang menunda-nunda mengutip laman portalamanah.
Contohnya, saat telah masuk waktu dzuhur seorang wanita sengaja menunda mengerjakan shalatnya hingga hampir masuk waktu ashar. Dan ketika dia hendak mengerjakan shalat dzuhur di akhir waktu, dirinya mendapati telah keluar darah haid. Maka, pada saat selesai masa haid nanti dia wajib mengqodho atau mengganti shalat dhuhur yang ditinggalkannya ini.
Kondisi kedua adalah ketika seorang wanita telah selesai haid jauh sebelum berakhirnya satu waktu shalat. Namum dia baru bersuci setelah masuk ke waktu shalat berikutnya. Maka setelah dia bersuci itu, dia wajib mengganti shalat yang ia tinggalkan sebelumnya.
Sebab, seharusnya setelah tahu dirinya telah selesai haid dengan bersih, wajib untuk segera mandi besar dan langsung mendirikan shalat. Karena sengaja mengulur-ulur waktu hingga masuk waktu shalat berikutnya, kewajibannya mendirikan shalat yang ditinggalkan sebelumnya tetap tidak bisa digugurkan dan harus tetap dijalani.
Sebagai ilustrasi, seorang wanita sudah bersih dari haid jauh sebelum masuk waktu ashar. Namun, dia sengaja menunda melakukan mandi wajib hingga masuk waktu ashar. Pada kondisi seperti ini, wanita tersebut wajib mengqodho shalat ashar yang ditinggalkan itu.
Hadist Tentang Qodho atau Mengganti Shalat Saat Haid
Hadits yang membantu menjawab tentang cara mengqodho shalat saat haid adalah hadits dari Abu Hurairah berikut ini, dilansir dari laman rumaysho:
-
Bagaimana cara membaca niat ganti puasa Ramadhan karena haid? Berikut bacaan niat ganti puasa Ramadhan karena haid yang perlu Anda ketahui: Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.
-
Apa bacaan niat ganti puasa Ramadhan karena haid? Berikut bacaan niat ganti puasa Ramadhan karena haid yang perlu Anda ketahui: Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.
-
Kapan harus membaca niat ganti puasa Ramadhan karena haid? Menurut aturannya, membaca niat ganti puasa Ramadhan perlu dilakukan di malam hari sebelum tiba waktu subuh.
-
Bagaimana cara membatalkan puasa karena haid? Proses ini melibatkan penghentian niat berpuasa dan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan dan minum.
-
Kenapa harus membaca niat ganti puasa Ramadhan karena haid? Membaca niat ganti puasa Ramadhan karena haid menjadi salah satu syarat yang harus dilakukan. Mengingat niat menjadi salah satu syarat sah yang harus dipenuhi ketika hendak mengerjakan suatu ibadah.
-
Apa yang harus dilakukan wanita saat haid datang? Ketika haid datang di tengah puasa, perempuan diwajibkan untuk segera membatalkan puasanya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Subuh. Dan barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608).
Dari hadist ini, waktu shalat didapati dengan mendapatkan satu rakaat. Artinya, selama mendapati peluang mengerjakan satu rakaat di waktu Zhuhur, maka tetap harus mengerjakan shalat Zhuhur.
Terdapat satu lagi kisah qodho shalat saat haid dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Seandainya seorang wanita mendapati sekadar satu rakaat dari shalat, kemudian ia suci dari haidh, apakah ia wajib mengerjakan shalat?” Jawab, “Ia wajib mengerjakan sholat jika ia mendapati sekadar satu rakaat dari sholat.” (Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram, 2:70).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga meneruskan dengan, “Jika seorang wanita mengalami haidh ketika sudah masuk waktu sholat dan ada peluang mengerjakan satu rakaat, apakah sholatnya tetap dikerjakan ketika telah suci?” Jawab, “Sholat tersebut tetap dikerjakan ketika telah suci.”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan pendapat lain dalam hal ini, yaitu sholat tadi tidak perlu diqadha’ dan beliau lebih cenderung pada pendapat ini. Namun, menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, yang lebih hati-hati adalah tetap diqadha’ (lihat Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram, 2:71).
Bahasan lainnya dari Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim dalam Shahih Fiqh As-Sunnah (1:210) dan Fiqh As-Sunnah li An-Nisa’ (hlm. 72), adalah lebih baik untuk diqadha’ sebagai bentuk kehati-hatian.