Bukan sekadar gaya kepemimpinan SBY
Merdeka.com - Ketika pemerintahan SBY-Kalla kerap lelet dalam mengambil keputusan karena harus menghadapi sepak terjang partai-partai koalisi, banyak orang memakluminya: Partai Demokrat (PD) hanya partai kecil, sehingga tak sanggup menopang kekuasaan SBY. Jadi, kemenangan pilpres putaran kedua yang mencapai 61% suara, tidak berarti apa-apa.
Namun ketika PD menjadi partai pemenang Pemilu 2009, yang bersama PKS, PPP, PAN dan PKB mengusung pasangan SBY-Boediono, dan berhasil menang pilpres dalam satu putaran, tetap saja pemerintahan SBY-Boediono lelet. Jadi, kontribusi PD khususnya, dan partai-partai pendukung, tidak berkolerasi degan efektivitas pemerintahan.
Makanya, banyak orang meyakini, bahwa ketidakefektifan pemerintahan SBY-Boediono, sesungguhnya bukan karena faktor politik (peta politik hasil pemilu), melainkan lebih karena faktor pribadi, yaitu kepemimpinan SBY yang lemah, karena selalu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan.
-
Apa itu kepemimpinan? Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dan membimbing orang lain dalam mencapai tujuan tertentu.
-
Mengapa pemimpin yang pilih kasih menyebabkan perpecahan? Pemimpin yang pilih kasih hanya akan menciptakan perpecahan.
-
Mengapa Sekretaris Kabinet harus membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan? Sebagai penghubung antara Presiden dengan kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, Sekretaris Kabinet bertanggung jawab memastikan bahwa kebijakan pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
-
Kenapa kepemimpinan itu penting? Dengan kepemimpinan yang efektif, sebuah organisasi dapat mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dan mencapai tujuan bisnis yang telah ditetapkan.
-
Apa karakteristik penting pemimpin? 'Milikilah keinginan untuk membuat keputusan. Itu adalah kualitas terpenting dari seorang pemimpin yang baik.' - Tung Desem Waringin
-
Kenapa SBY bisa membantu Prabowo? Pengalaman SBY bisa menjadi kekuatan bagi Prabowo. Tetapi, Gerindra memahami SBY tidak bisa selalu turun gunung karena juga memiliki kesibukan. 'Tentu pengalaman-pengalaman beliau akan menjadi kekuatan bagi kami juga tapi kita mengerti beliau mungkin juga punya kesibukan juga, kita tunggu pada saat yang pasti nanti akan kita umumkan bersama.'
Benarkah demikian? Sekilas memang demikian. Apalagi jika dilihat dari sepak terjang partai-partai koalisi yang sering tidak mendukung putusan pemerintah, yang mana hal itu sesungguhnya menunjukkan kegagalan SBY dalam mengendalikan partai-partai koalisi. Bahkan Setgab yang dibentuk untuk tujuan itu pun tidak ada artinya.
Namun jika dilihat dari struktur ketatanegaraan sebagaimana diatur oleh UUD 1945 (pascaperubahan), maka sesungguhnya bisa dimengerti, jika SBY tidak mudah dalam mengambil kebijakan. Pertama, kekuasaan DPR semakin besar jika dibandingkan dengan sebelumnya, sehingga dalam pengambilan kebijakan presiden harus berbagi dengan DPR.
Kedua, meskipun sama-sama dipilih oleh rakyat dalam sistem presidensial, dalam beberapa hal, sesungguhnya kekuasaan DPR lebih besar daripada presiden. Jika di negara lain presiden mempunyai hak veto, di republik ini tidak. Bahkan semua RUU yang sudah dibahas dan disahkan DPR, tanpa diteken presiden pun bisa berlaku.
Itulah sebabnya dukungan DPR kepada presiden, mutlak diperlukan. Pada titik ini, presiden tidak bisa berbuat banyak apabila partainya tidak mampu menguasai DPR, setidaknya sampai 40%, akan lebih baik jika menguasai 50% lebih. Jika tidak, maka presiden akan selalu kerepotan dalam pengambilan kebijakan, seperti menaikkan BBM atau menyelesaikan skandal Bank Century. Mari berhitung!
Pada masa kepresidenan yang pertama, pasangan SBY-Kalla diusung oleh PD (10%), PBB (2%) dan PKP (0,3%). Memasuki pilpres putaran kedua SBY-Kalla mendapat sokongan dari PKS (8%), PPP (10%), PAN (10%) dan PKB (9%). Itu artinya, ketika berkuasa SBY-Kalla punya modal dukungan DPR 49,3%. Jelas, modal yang tidak cukup.
Oleh karena itu menjadi keharusan buat SBY-Kalla untuk menambah dukungan. Dari siapa? Yang paling mungkin adalah dari PG, sebab Kalla juga pimpinan PG, meskipun kendali PG saat itu ada di tangan Akbar Tanjung yang mengambil garis oposisi. Itulah sebabnya, dua orang Golkar ditarik Kalla dalam kabinet, selanjutnya SBY mendorong Kalla untuk merebut kursi ketua umum PG.
Rencana itu berhasil sehingga dukungan DPR buat SBY-Kalla bertambah menjadi 71%. Namun kemudian PG ibarat duri dalam daging, sebab partai ini merasa harus menjadi bumper pemerintah, sementara jumlah kursi kabinetnya hanya dua. PG pun kerap bertingkah, sampai kemudian kursi kabinet ditambah menjadi empat.
Tetapi dua tahun menjelang berakhir masa kekuasaan, hubungan SBY dengan Kalla memburuk. SBY tidak mau berpasangan kembali dengan Kalla, dan Kalla pun juga ingin maju sendiri menjadi presiden. Pola hubungan buruk ini tentu mempengaruhi dukungan PG di DPR kepada pemerintahan SBY-Kalla.
Menang dalam Pemilu 2009 sehingga menguasai 26% kursi, PD diperkirakan akan lebih percaya diri. Apalagi bersama PKS (10%), PAN (8%), PPP (8) dan PKB (5%), total dukungan SBY-Boediono menjadi 57%. Menang dalam satu putaran pilres juga legitimasi tersendiri.
Meskipun demikian, SBY-Boediono tidak mau ambil risiko. Dukungan 57% kursi itu sangat rentan, karena satu partai saja bertingkah, koalisi jadi berantakan. Belum lagi selalu ada kemungkinan sikap anggota partai yang tidak mengikuti garis fraksi. Makanya SBY-Boedino pun menarik kembali PG (yang memiliki 19% kursi DPR) kedalam koalisi sehingga total dukungan menjadi 76%.
Masalahnya, dukungan besar itu tidak menjadi apa-apa jika partai-partai koalisi tidak solid, sebagaimana tercermin dalam penyelesaian skandal Bank Century dan kenaikan BBM. SBY-Boediono pun tidak mudah untuk mensolidkannya. Katakanlah, PKS dikeluarkan, maka dukungan tinggal 66%. Masih di atas 50 lebih memang, tetapi dukungan sebesar itu tetap riskan, karena partai lain, PG misalnya, bisa lebih berulah karena posisi tawarnya jadi naik.
Tahun lalu SBY menawari PDIP dan Partai Gerindra untuk masuk koalisi, sebagai pengganti PKS yang hendak didepaknya. Tetapi upaya itu gagal. Selama pengganti PKS belum ada, maka selama itu juga SBY sulit untuk mendepak PKS. Itu artinya ulah partai-partai koalisi akan tetap terjadi. Dan akan semakin menjadi-jadi menjelang Pemilu 2014 nanti.
Gaya kepemimpinan memang satu hal, namun sistem politik yang ada memang tidak memungkinkan pembentukan pemerintahan solid. Ada ahli yang bilang, sistem multipartai dengan pemilu proporsional memang tidak matching dengan sistem presidensial. Benarkah? (mdk/ren)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
SBY marah melihat ada kadernya yang asyik ngobrol saat dia sedang memberikan arahan.
Baca SelengkapnyaDi tengah ketidakpastian ini, kebijakan di Indonesia harus lebih cepat.
Baca SelengkapnyaPresiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono beri kritik keras ke politisi dan jenderal. Begini isinya.
Baca SelengkapnyaSBY meminta kader Demokrat itu tidak bicara dan mendengarkan arahan penting darinya.
Baca SelengkapnyaPrabowo menginginkan agar masalah ini dibenahi. Karena prosedur birokrasi kerap dilanggar.
Baca SelengkapnyaMenurut dia, banyak pemimpin yang muncul sekarang tidak melalui proses alami. Muncul tiba-tiba hasil rekayasa politik.
Baca SelengkapnyaUsut punya usut, rupanya bukan hanya Jokowi, Presiden RI yang dijuluki 'Pak Lurah'.
Baca Selengkapnya"Sepertinya para penyelenggara Pemilu lebih menitikberatkan pada pemilihan presiden," kata SBY.
Baca SelengkapnyaPresiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan rakyat Indonesia agar tak salah pilih capres-cawapres di Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaMenurut Mahfud, Indonesia sudah terlalu banyak menteri di dalam suatu pemerintahan.
Baca SelengkapnyaIndonesia diharapkan dapat lebih maksimal dalam berkontribusi terhadap upaya global mengatasi pemanasan bumi.
Baca Selengkapnya