Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Ketika suntik mati jadi pilihan

Ketika suntik mati jadi pilihan Humaida. ©2016 Handout/Januar

Merdeka.com - Humaida (46) terbaring lumpuh tak berdaya dalam perawatan medis RSUD Panglima Sebaya Tanah Grogot, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Sejak 5 tahun 7 bulan lalu, Humaida hanya menatap kosong ruang perawatan sambil sesekali mengedipkan mata.

Melihat kondisi ini, suami, anak, serta keluarganya pasrah. Permohonan suntik mati kepada Mahkamah Agung (MA), menjadi solusi bagi keluarga agar Humaida bisa lepas dari derita yang dialaminya.

"Kondisi sekarang lumpuh tidak berdaya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya," kata Januar Asari, anak tertua Humaida kepada wartawan beberapa hari lalu.

Orang lain juga bertanya?

Tragedi yang menimpa Humaida berawal pada 2011 lalu. Saat itu Humaida baru saja melahirkan anak kelimanya dengan penanganan dua dokter anastesi dan kandungan dibantu perawat di sebuah klinik di bawah pengelolaan Pengurus Daerah Muhammadiyah Kabupaten Paser. Dua jam pascaoperasi, ibunya melakukan sterilisasi. Sejak saat itu kesehatan Humaida perlahan menurun.

"Saat itu kondisi ibu sadar walau dengan kondisi fisik yang mulai menurun. Selama perawatan pascaoperasi, dokter mengatakan sekitar 30 menit denyut nadi ibunya dinyatakan tidak ada," ujar Januar.

Menurut Januar, ibunya sudah empat kali melahirkan dan semuanya berjalan normal, "Tapi bukan di klinik Muhammadiyah," kata dia.

Hingga kini belum ada satupun pihak yang bertanggungjawab atas kondisi ibunya. Sang ayah pun, menurut Januar tak berani memperkarakan kasus ini. Apalagi kondisi Humaida yang tak stabil, membuat keluarga harus terus mendampinginya selama dirawat.

"Kalau ditinggal khawatir ngedrop. Sekarang stabil tapi ibu saya jadi lumpuh bertahun-tahun," ujarnya.

bupati kukar rita widyasari jenguk humaida

Bupati Kukar Rita Widyasari jenguk Humaida ©2016 Merdeka.com

Karena kondisi yang terus menurun, pihak klinik pun akhirnya merujuk Humaida ke RSUD Panglima Sebaya. Sebulan kemudian, Humaida dirujuk kembali ke RSUD dr. Kanujoso di Balikpapan. Namun selama dirawat di sana, tak ada penjelasan rinci penyebab kondisi ibunya yang terus terus menurun. Januar hanya tahu ibunya tak sadarkan diri karena cedera otak.

"Di Kanujoso cuma 4 bulan, kemudian balik lagi ke Sebaya menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Pihak medis Kanujoso bilang tidak ada medis di Kalimantan yang bisa mengobati, disarankan dibawa ke Jakarta," kata Januar yang baru saja lulus dari Universitas Mulawarman Samarinda.

Ia pun berinisiatif menemui PD Muhammadiyah Paser dan Pengurus Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta untuk mengadu mengenai kondisi ibunya. Bahkan baru pekan lalu, Januar bertemu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalimantan Timur.

"Tadinya Ayah saya tak suka ribut-ribut. Tapi apa boleh buat, kami terpaksa berbicara di hadapan publik karena hingga ini tak ada pihak yang mau bertanggung jawab. Bagaimana bisa karena KB steril kemudian ada cedera di otak ibu saya?" kata Januar heran.

Selama perawatan, keluarganya telah menghabiskan harta benda miliknya untuk menyembuhkan Humaida. Permintaan bantuan biaya perawatan ke PP Muhammadiyah pun nihil karena cedera otak yang diderita Humaida cukup parah.

Atas kondisinya itulah, kelurga memutuskan menyudahi penderitaan Humaida dengan eutanasia atau suntik mati. Untuk melakukan eutanasia, pihak keluarga perlu persetujuan Mahkamah Agung.

Kasus permintaan suntik mati bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Pada 22 Oktober 2004, seorang suami bernama Hassan Kusuma meminta agar istrinya Agian Isna Nauli disuntik mati. Hal ini didasarkan rasa kasihan terhadap sang istri yang dicintainya tergolek koma selama 2 bulan. Ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan juga menjadi alasan berikutnya.

Hassan Kusuma lalu mengajukan permohonan untuk melakukan eutanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan itu akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan kemanusiaan.

humaida dibawa ke samarinda

Humaida dibawa ke Samarinda ©2016 merdeka.com/istimewa

Selain Humaida dan Agian Isna Nauli, kasus serupa juga pernah menimpa keluarga Siti Zulaeha. Rudi Hartono, suami Siti Julaeha pernah mengajukan permohonan eutanasia terhadap istrinya medio Februari 2005 lalu. Menurut Rudi, keputusan meminta eutanasia tersebut merupakan jalan terbaik. Rudi dan keluarga besar istrinya menggandeng Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBHK) dalam pengajuan permohonan euthanasia.

"Ini sudah merupakan keputusan keluarga. Dari pada istri saya tersiksa terus," ujar Rudi kala itu.

Keputusan itu diyakini setelah mendengar seorang dokter RSCM yang menyatakan istrinya telah mengalami keadaan vegetative state. "Menurut dokter, kemungkinan sembuh bagi istri saya sudah tipis," kata Rudi.

Rudi menyatakan, saat ini kondisi Siti Julaeha yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak sebulan lalu tidak juga membaik. "Badannya sudah habis, tinggal tulang berbalut kulit. Ia tidak pernah sadar, saya tidak tega melihatnya," ujarnya.

Siti Julaeha dinikahi Rudi pada 4 September 2004. Siti Julaeha mulai tak sadar usai menjalani operasi kandungan di rumah sakit di Jakarta Timur, pada 6 November 2004 lalu. Sejak itu, Siti terus menjalani perawatan di Rumah Sakit tersebut dalam keadaan tidak sadar sebelum akhirnya dipindahkan ke RSCM dengan bantuan Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Awalindo pada akhir Januari 2005. Siti Julaeha pun akhirnya meninggal dunia di rumah sakit pada tahun 2008.

"Saat suaminya datang ke kita tentu kita terima laporannya dan kita buatkan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetapi kemudian ditolak. Hakim punya pertimbangan sendiri soal pengajuan suntik mati," ujar Direktur Eksekutif LBH Kesehatan Awalindo, Aulia Taswin kepada merdeka.com.

ilustrasi eutanasia

Ilustrasi Eutanasia ©istimewa

Menurut Aulia Taswin, perangkat hukum di Indonesia memang belum memungkinkan adanya suntik mati. Pertimbangan agama, kemanusiaan dan lainnya menjadi dasar utama eutanasia belum dikabulkan.

"Itu pertimbangan hakim tentunya, tetapi tentu kita dari LBH Kesehatan Awalindo setiap ada warga yang minta dibuatkan permohonan kita buatkan. Soal dikabulkan atau tidak, biar hakim yang menentukan," ujarnya.

Lalu bagaimana pandangan hukum dan agama di Indonesia menyikapi kasus permintaan suntik mati ini? (mdk/hhw)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Parlemen Inggris Izinkan Penderita Penyakit Parah untuk Eutanasia, Bunuh Diri Secara Medis
Parlemen Inggris Izinkan Penderita Penyakit Parah untuk Eutanasia, Bunuh Diri Secara Medis

RUU ini bertujuan untuk memberikan hak kepada individu dewasa yang menderita penyakit parah untuk memilih mengakhiri hidup mereka dengan bantuan medis.

Baca Selengkapnya
PP Kesehatan yang Baru: Wanita Boleh Aborsi, Asalkan Syarat dan Kondisi Ini Dipenuhi
PP Kesehatan yang Baru: Wanita Boleh Aborsi, Asalkan Syarat dan Kondisi Ini Dipenuhi

Pemerintah mengizinkan praktik aborsi dengan syarat dan kondisi tertentu dalam PP Kesehatan.

Baca Selengkapnya
Begini Pencerahan dari Iptu Benny Soal Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum
Begini Pencerahan dari Iptu Benny Soal Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum

Polemik pernikahan beda agama tengah menjadi isu hangat belakangan ini di Indonesia. Menanggapi hal itu, Iptu Benny memberikan mencerahan soal pernikahan beda a

Baca Selengkapnya
Kemenag Buka Suara Soal Viral Pernikahan Dini di Media Sosial
Kemenag Buka Suara Soal Viral Pernikahan Dini di Media Sosial

Kemenag menegaskan KUA tidak melayani pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Baca Selengkapnya