Parlemen Inggris Izinkan Penderita Penyakit Parah untuk Eutanasia, Bunuh Diri Secara Medis
RUU ini bertujuan untuk memberikan hak kepada individu dewasa yang menderita penyakit parah untuk memilih mengakhiri hidup mereka dengan bantuan medis.
Parlemen Inggris telah menyetujui RUU baru yang melegalkan "assisted dying," yang memberikan hak kepada individu untuk menentukan cara mereka mengakhiri hidup, pada Jumat (29/11/2024). Isu ini telah memicu diskusi luas di seluruh negara mengenai kematian yang bermartabat bagi pasien yang sedang menjalani perawatan akhir hayat, sebagaimana dilaporkan oleh VOA Indonesia pada Senin (2/12).
Dalam tahap persetujuan awal, sebanyak 330 anggota parlemen memberikan suara mendukung, sedangkan 275 menolak RUU "Orang Dewasa yang Sakit Keras (Akhir Hayat)." RUU ini dirancang untuk memberikan hak kepada orang dewasa yang menderita penyakit parah dan memiliki kapasitas mental yang baik di Inggris dan Wales, yang menurut penilaian dokter hanya memiliki waktu hidup enam bulan atau kurang, untuk memilih mengakhiri hidup mereka dengan bantuan medis. RUU ini akan terus dibahas dalam beberapa bulan mendatang dan masih dapat mengalami perubahan atau bahkan ditolak saat diajukan ke DPR atau Majelis Rendah (House of Commons) serta Majelis Tinggi (House of Lords).
"Prosesnya akan sangat menyeluruh," ungkap Kim Leadbeater, anggota parlemen dari Partai Buruh yang mengajukan RUU tersebut, kepada BBC. Ia juga menambahkan bahwa proses ini dapat memakan waktu hingga enam bulan lagi. "Masih banyak waktu untuk menyelesaikannya dengan benar," ujarnya setelah lebih dari empat jam berlangsungnya debat yang sering kali emosional di ruang sidang.
Para pendukung RUU ini berargumen bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang yang menderita sakit parah dan memberikan lebih banyak kendali atas hidup mereka. Di sisi lain, penentang RUU ini mengkhawatirkan bahwa individu yang sakit dan rentan mungkin merasa tertekan untuk mengakhiri hidup mereka karena takut menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat, alih-alih mengutamakan kesejahteraan mereka sendiri. Beberapa juga menyuarakan kekhawatiran bahwa tidak akan ada cukup waktu untuk mempertimbangkan RUU ini sebelum pemungutan suara.
"Akan ada kesempatan lebih lanjut untuk memperbaikinya jika kita bisa, dan jika tidak, maka saya harap kita dapat menolaknya," kata Danny Kruger, anggota parlemen dari Partai Konservatif yang merupakan penentang utama undang-undang tersebut, kepada Sky News. Ia menambahkan keyakinannya bahwa "mustahil untuk menulis RUU yang aman."
Usulan ini telah memicu perdebatan di seluruh Inggris, melibatkan mantan perdana menteri, pemimpin agama, dokter, hakim, penyandang cacat, serta para menteri dalam kabinet Perdana Menteri Keir Starmer dari Partai Buruh yang mempertimbangkan isu ini. Starmer memberikan dukungan terhadap RUU tersebut, meskipun terdapat penolakan dari beberapa anggota senior dalam pemerintahannya. Menurut jajak pendapat, mayoritas warga Inggris menyatakan dukungan terhadap eutanasia ini. Jika disetujui, RUU tersebut akan mengubah hukum yang berlaku di Inggris dan Wales, sementara Skotlandia juga tengah mempertimbangkan perubahan undang-undangnya untuk mengizinkan praktik ini. Namun, Irlandia Utara tidak mengajukan RUU serupa.
Para pendukung eutanasia berkumpul di luar parlemen pada hari Jumat untuk menyaksikan proses pemungutan suara melalui ponsel mereka. Beberapa terlihat sedang berdoa, dan saat hasil pemungutan suara diumumkan, suasana menjadi meriah dengan pelukan dan sorakan. Beberapa dari mereka berteriak, "Ya!" sementara yang lain mengungkapkan rasa syukur dengan ucapan, "Kita berhasil" dan "Terima kasih." Leadbeater memuji jalannya perdebatan yang berlangsung dengan semangat namun tetap teratur, bahkan dari pihak yang menentang RUU tersebut. "Ini sangat emosional, dan juga emosional bagi banyak orang," ujarnya. "Saya senang bahwa kami berhasil mewakili suara-suara itu di sini hari ini, dan kami dapat membawa ini ke tahap berikutnya."