DPR Sahkan RUU Kesehatan Menjadi Undang-Undang
Ketua DPR RI Puan Maharani mengetuk palu pengesahan RUU Kesehatan setelah mendengarkan pendapat dua fraksi yang menolak yaitu Demokrat dan PKS.
DPR Sahkan RUU Kesehatan Menjadi Undang-Undang
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan resmi disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan ini berdasarkan keputusan tingkat II di Rapat Paripurna DPR RI Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).
Ketua DPR RI Puan Maharani mengetuk palu pengesahan RUU Kesehatan setelah mendengarkan pendapat dua fraksi yang menolak yaitu Demokrat dan PKS.
"Kami menanyakan fraksi lainnya apakah RUU Kesehatan dapat disahkan menjadi undang-undang?" ujar Puan.
"Jadi Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai NasDem, Fraksi PKB, Fraksi PAN dan Fraksi PPP, jadi setuju ya?" tanya ketua DPP PDIP lagi sembari mengetuk palu pengesahan.
"Setuju," jawab anggota DPR yang hadir.
Sebelum dilakukan pengesahan, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena membacakan laporan Komisi IX terhadap pembahasan RUU Kesehatan.
Dilaporkan pada pengambilan keputusan tingkat I RUU Kesehatan, tujuh dari sembilan fraksi di DPR RI menyetujui pengesahan RUU Kesehatan. Yaitu, PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP. Sedangkan, dari tujuh fraksi yang setuju, NasDem memberikan persetujuan dengan catatan. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak RUU Kesehatan diambil keputusan untuk disahkan menjadi undang-undang.
Salah satu alasan penolakan Demokrat adalah masalah anggaran. Partai Demokrat mengusulkan peningkatan anggaran kesehatan di luar gaji dan penerima bantuan iuran (PBI). Namun, usulan tersebut tidak disetujui.
"Pemerintah justru memilih mandatory spending kesehatan dihapuskan. Hal tersebut menunjukkan kurangnya komitmen politik negara menyiapkan kesehatan yang layak merata di seluruh negeri dan berkeadilan," ujar anggota DPR Fraksi Demokrat Dede Yusuf dalam rapat paripurna.
Sementara PKS berpandangan proses penyusunan RUU Kesehatan dilakukan terburu-buru.
"Hal ini menjadi preseden buruk," ujar Anggota DPR Fraksi PKS Netty Prasetiyani.
PKS juga senada dengan Demokrat terkait penghapusan alokasi wajib anggaran kesehatan atau mandatory spending kesehatan dalam RUU Kesehatan. Aturan sebelumnya diatur alokasi dana kesehatan pemerintah pusat dan daerah sebesar 5 persen. "Mandatory spending penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan anggaran yang cukup. Dengan adanya mandatory spending maka jaminan anggaran kesehatan dapat teralokasi dengan adil untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat," jelas Netty.