Salju di Puncak Jaya tak lagi abadi
Merdeka.com - Lapisan es di Puncak Cartenz tak lagi abadi. Kenyataan itu bukan isapan jempol karena banyak penelitian dan kesaksian penduduk di sana menegaskan bila perlahan namun pasti salju di pucuk pegunungan tertinggi Jayawijaya, Papua, itu terus menyusut dari tahun ke tahun.
"Saljunya sudah tidak terlihat, sekarang sudah habis. Kehijauan mewah sudah tidak ada," begitulah kata Mama Yosepha Alomang tokoh perempuan Suku Amungme, Papua, menggambarkan kondisi gletser di Puncak Cartenz saat ini kepada merdeka.com, Selasa (03/03)
"Saya anak yang tinggal di bawah gunung itu, salju sudah tidak terlihat," ujarnya menandaskan agar orang percaya.
-
Dimana salju terlihat menutupi di Jakarta? Dalam foto-foto tersebut nampak Monas dipenuhi salju. Bahkan puncak Monas yang terbuat dari emas tertutup warna putih dari salju. Sementara itu, Bundaran Hotel Indonesia juga nampak dipenuhi salju. Stasiun KRL juga begitu sejuk dilihat karena dipenuhi salju.
-
Kapan puncak musim hujan tahun ini? BMKG memprediksi bahwa puncak musim hujan akan berlangsung dari November 2024 hingga Februari 2025 dengan kategori normal.
-
Kapan puncak kemarau di Yogyakarta? Berdasarkan perkiraan BMKG Yogyakarta, musim kemarau di DIY bisa berlangsung hingga Bulan September.
-
Apa yang terjadi di Puncak? Viral di media sosial kemacetan horor terjadi kembali di kawasan wisata Puncak Bogor, Jawa Barat, saat libur panjang akhir pekan.
-
Dimana hujan terberat? Rekor curah hujan tertinggi tercatat di Cherrapunji, India, yang menerima lebih dari 11.871 mm hujan per tahun.
Mama Yosepha, begitu dia disapa, bicara dengan logat Papua mengenang keindahan di atas ketinggian Puncak Jaya atau lebih kesohor dengan sebutan Cartenz Pyramid. Suku Amungme merupakan salah satu suku di Papua yang mendiami lembah-lembah di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya.
Menurut Mama, mereka tinggal di antara gunung-gunung tinggi, misalnya di Lembah Tsinga, Lembah Hoeya dan Lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti Lembah Bella, Alama, Aroanop dan Wa. Mereka hidup di sebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju abadi.
Pegunungan Tengah merupakan punggung Papua, terdiri dari Pegunungan Jayawijaya–dekat perbatasan dengan Papua Nugini–dipisahkan oleh Lembah Baliem dari Pegunungan Sudirman dan Pegunungan Weyland di sebelah barat Danau Paniai. Dalam bahasa Amungme, salju abadi disebut nemangkawi (anak panah putih).
"Lain dulu lain dengan sekarang. Dulu salju begitu indah seperti anak panah," katanya lirih mengenang masa bocahnya.
Bagi Suku Amungme alam adalah sumber kehidupan. Suku ini tak pernah mencari nafkah kecuali di tanah milik leluhur mereka. Tanah digambarkan sebagai sosok seorang ibu. Dia memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia hingga akhirnya mati.
Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun dan berburu. Sedangkan pemakaman, gua, gunung dan air terjun dianggap sebagai tempat keramat. "Itu tempat arwah-arwah moyang kami," ujar tokoh Suku Amungme, Thomas Wanmang melalui seluler kemarin. Dia melanjutkan, "dulu udaranya dingin, kini semakin panas."
Memang getir mendengar kenyataan es di Puncak Cartenz--diambil dari nama penemunya John Cartenzoon pada tahun 1623--bakal hilang. Penyusutan luas permukaan es ini diperkirakan terjadi sejak 1850 hingga 1980, dari 20 kilometer persegi menyusut menjadi 16,4 kilometer persegi.
Padahal hasil ekspedisi ilmiah yang dilakukan tim peneliti CGE (Cartenz Glacier Expedition) dari Australia pada 1970-an pernah mencatat luas gletser di ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl) Cartenz waktu itu 6,95 kilometer persegi.
Sementara itu, hasil citra satelit IKONOS pada 2006 juga menunjukkan bukti lain. Penyusutan luas permukaan es mencapai 90 persen atau hanya tersisa sekitar 2,3 kilometer persegi pada tahun 2000 dan 2,1 kilometer persegi pada 2002. Dari penelitian-penelitian terkini banyak ahli memperkirakan umur salju abadi di Puncak Cartenz tidak akan lama lagi.
Ahli Iklim dan Laut Indonesia Dwi Susanto, mengatakan jika umur gletser di puncak Pegunungan Jayawijaya hanya bakal bertahan sekitar 20-30 tahun lagi. Pencairan itu, katanya, disebabkan oleh perubahan cuaca yang begitu ekstrem dalam kurun waktu lumayan cepat.
"Perkiraan salju di Puncak Pegunungan Jayawijaya bakal hilang dua atau tiga dekade lagi," kata Dwi Susanto dari Department of Atmospheric and Oceanic Science University of Maryland, College Park, Amerika Serikat.
Dwi merupakan peneliti yang tergabung dalam "Ice Core Studies of Climate and Environmental Histories from Papua’s Remaining Ice Fields". Penelitian ini melibatkan Ilmuan Indonesia dan Amerika Serikat dalam kurun waktu 2010-2013, bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta PT Freeport. Saat meneliti, Dwi masih tercatat bekerja di Lamont-Doherty Earth Observatory Columbia University, Amerika Serikat.
Dalam penelitian 2010, dia menambahkan, sisa gletser di Pegunungan Jayawijaya, tepatnya di Puncak Soekarno dan Soemantri Brojonegoro teridentifikasi paling banyak memiliki kandungan salju. Sedangkan Puncak Cartenz sendiri cuma menyisakan tumpukan salju beberapa kilo meter. "Kita tidak mengambil inti es di Puncak Cartenz, tapi di Puncak Soekarno dan Puncak Soemantri," ujarnya.
Adapun menurut pengamatan salah satu pendaki Tim 7 Summits Expedition, Iwan Irawan, pada 2010 ketika dia mendaki Puncak Cartenz bagian timur, salju abadi memang sudah tak terlihat lagi. Iwan melanjutkan, pada pendakian Cartenz sebelumnya, pada 2008, dia sudah memprediksi glester yang hilang sekitar 200 meter.
"Sudah enggak ada es, kalaupun ada itupun lagi ekstrem hanya salju saja, yang ditemukan batuannya," kata Iwan kemarin.
Dia pun memberi patok di lidah gletser sebagai tanda untuk mengukur mencairnya salju abadi di Pegunungan Jaya Wijaya itu. "Insya Allah bulan depan saya ke sana sekaligus mau melihat patoknya. Mudah-mudahan tidak hilang," ujarnya.
(mdk/mtf)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Fenomena ini berdampak besar terhadap aspek kehidupan di wilayah tersebut.
Baca SelengkapnyaTahun 2024 menjadi tahun ketiga terjadinya salju yang muncul terlambat di Gunung Fuji, setelah kejadian serupa pada tahun 1955 dan 2016.
Baca SelengkapnyaSebelumnya, lebih dari 700 hari Kota New York , Amerika Serikat, tak pernah diguyur hujan salju.
Baca SelengkapnyaLapisan salju Gunung Fuji sebelumnya mulai terbentuk pada 2 Oktober. Tahun ini, salju tak kunjung menyapa gunung tertinggi di Jepang hingga akhir Oktober.
Baca SelengkapnyaMenurut laporan citra satelit, luas area salju mengalami penurunan, dan saat ini tercatat sekitar 18 hektare.
Baca SelengkapnyaSalju turun di Indonesia nampaknya mustahil terjadi. Namun hal tersebut dipatahkan oleh video yang diunggah oleh seorang pegawai Freeport di Timika, Papua.
Baca SelengkapnyaKetebalan es tersebut sudah menyusut signifikan dibandingkan hasil pengukuran BMKG sebelumnya yaitu 32 meter pada tahun 2010
Baca SelengkapnyaFenomena alam yang langka telah terjadi di Kota Johannesburg. Hujan salju yang langka ini telah menyelimuti daerah dataran tinggi di Afrika Selatan.
Baca SelengkapnyaFenomena Hari Tanpa Bayangan menyapa warga Jakarta, pada Selasa (8/10/2024). Peristiwa alam yang disebut Kulminasi Utama ini terjadi sekitar pukul 11.54 WIB.
Baca SelengkapnyaDiperkirakan berkurang sekitar empat meter berdasarkan pemantauan terakhir pada Desember 2023
Baca Selengkapnya