Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Sepuluh tahun politik tanpa ideologi

Sepuluh tahun politik tanpa ideologi SBY saksikan pengadaan satelit PT BRI. ©rumgapres/abror rizki

Merdeka.com - Setidaknya ada tiga pengertian politik: pertama, politik adalah pelembagaan nilai-nilai; kedua, politik adalah pembuatan kebijakan, dan; ketiga, politik adalah perebutan kekuasaan. Secara konsep ketiganya bisa dipisahkan, tapi dalam praktek saling berkelindan. Tapi selama sepuluh tahun ini, kita betul-betul kehilangan makna pertama. 

Politik dalam pengertian pelembagaan nilai-nilai, berarti terdapat nilai-nilai yang hendak dilembagakan, subyek yang hendak melembagakan, dan obyek yang menjadi sasaran pelembagaan. Kalau nilai-nilai itu terkristalisasi dalam bentuk ideologi, maka pelembagaan ideologi memiliki beragam bentuk.

Pelembagaan ideologi negara tentu melibatkan lembaga-lembaga negara untuk meyakinkan pejabat, aparat dan warga negara, bahwa ideologi negara itu harus dicerna, diinternalisasi, dan dipratikkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Nilai-nilai yang diyakini bangsa ini terkristalisasi dalam Pancasila. Kita patut berterima kasih kepada Soekarno dan generasinya yang telah berdebat panjang dan berhasil merumuskannya secara singkat kepada kita. Namun pelembagaan Pancasila sebagai dasar bernegara dan bermasyarakat, belum menemukan format yang pas.

Pada zaman Orde Baru, pemerintah memiliki kekuasaan tunggal untuk menafsirkan Pancasila dan memaksakan penafsiran itu kepada rakyatnya. Penataran P4 hanya digunakan melegetimasi tindakan pemerintah, sementara mereka yang bersebrangan dengan pemerintah disebut anti-Pancasila.

Pada awal reformasi, pemerintah kehilangan legitimasi. Penafsiran tunggal Pancasila terhempas bersama tumbangnya Orde Baru. Namun ketegangan, konflik, dan perpecahan masyarakat, mengingatkan banyak orang akan perlunya pelembagaan kembali Pancasila. Orang-orang yang dulu sinis dengan Pancasila pun menyadari pentingnya ideologi itu bagi kelangsungan dan masa depan bangsa.

Pimpinan MPR mengambil peran itu melalui program Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Pelembagaan Pancasila menjadi rumit karena tambahan tiga “nilai” lain. Maksud baik, tapi salah paham tak terhindarkan. Apalagi, sosialisasi Pancasila sebetulnya adalah tugas eksekutif, bukan legislatif, apalagi majelis tinggi negara.

Langkah MPR menyosialisakan Empat Pilar sebetulnya bisa dipahami, karena pemerintah tampak tidak peduli; bisa karena takut dituduh menyalahgunakan ideologi untuk kepentingan kekuasaan; bisa juga karena tidak paham atas apa yang harus dilakukan. Selain itu pemerintah tampak sangat sibuk mengurusi pertikain politik dan teknis pemerintahan sehari-hari.

Padahal, jika mau dihitung, selama sepuluh tahun ini, sebenarnya pemerintah lebih banyak berkata-kata daripada bertindak. Namun, hamburan kata-kata yang banyak direkam media itu tanpa makna bagi kehidupan bangsa. Kata-kata itu tidak mengandung nilai-nilai bangsa dan negara, melainkan untuk memuji dan membela diri.

Setelah lima tahun terkoyak-koyak arus reformasi, masa tenang sepuluh tahun ini jadi tak bermakna bagi kehidupan politik bangsa dan negara. Konstitusi telah diubah, tapi perubahan itu hanya menjadi pijakan untuk bermain politik dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Nilai-nila, ideologi, dan semangat yang mendasari perebahan sudah dilupakan.

Konstitusi memang memiliki keterbatasan dalam mengatur perilaku para elit politik.  Namun itu sudah menjadi sifat konsistusi, sebab sebagai rumusan kata, kalimat, dan pasal, konstitusi tentu tidak bisa menerjemahkan semua nilai yang dikandung Pancasila secara verbal. Di sinilah pesan perancang naskah asli UUD 1945 patut dicamkan kembali:

“Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik.

Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan dinamis. Berhubung dengan itu, hanya aturan-aturan pokok saja harus ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada undang-undang.”

Kembali ke tiga pengertian politik yang disebut di awal tulisan ini. Nah, tindak-tanduk elit politik kita selama beberapa pekan ini masuk kategori mana? Akankah mereka naik kelas, menjadi pembuat kebijakan yang baik, dan lebih-lebih San Ideolog Pancasila? Silakan nilai sendiri. (mdk/war)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Bahlil Ingatkan Tak Ada Partai Politik yang 10 Tahun Lebih Berkuasa
Bahlil Ingatkan Tak Ada Partai Politik yang 10 Tahun Lebih Berkuasa

Dari pergantian pemimpin itu, partai pengusung yang berkuasa juga berganti.

Baca Selengkapnya
VIDEO: Ganjar Balas Bahlil Sindir PDIP soal Siklus Partai Berkuasa 10 Tahun
VIDEO: Ganjar Balas Bahlil Sindir PDIP soal Siklus Partai Berkuasa 10 Tahun

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sempat mengulas siklus pemegang kekuasaan tidak ada partai politik yang bisa berkuasa lebih dari 10 tahun.

Baca Selengkapnya
Ganjar Jawab Bahlil soal Tak Ada Parpol Berkuasa Lebih dari 10 Tahun: Kami Bersama Rakyat
Ganjar Jawab Bahlil soal Tak Ada Parpol Berkuasa Lebih dari 10 Tahun: Kami Bersama Rakyat

Ganjar mengatakan, pihaknya selalu berjuang bersama rakyat.

Baca Selengkapnya
Jusuf Kalla: Tidak Ada Partai Mau Jadi Oposisi, di Luar Pemerintah adalah Kecelakaan
Jusuf Kalla: Tidak Ada Partai Mau Jadi Oposisi, di Luar Pemerintah adalah Kecelakaan

JK mengatakan, partai politik didirikan sebagai kendaraan politik untuk mendapatkan kekuasaan dan kewenangan.

Baca Selengkapnya
Airlangga dan Beringin yang Tak Pernah Berhenti Gonjang Ganjing
Airlangga dan Beringin yang Tak Pernah Berhenti Gonjang Ganjing

Partai Beringin tua kembali panas. Kini, giliran Airlangga Hartarto memutuskan untuk mundur dari kursi ketua umum Partai Golkar.

Baca Selengkapnya
Sejarah Pemilu 1971 dan Hasilnya, Perlu Diketahui
Sejarah Pemilu 1971 dan Hasilnya, Perlu Diketahui

Pemilu 1971 adalah pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya