Tak Lagi Percaya Obat Sirop
Merdeka.com - Eko Prasetya bergegas ke klinik dokter umum di dekat rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan. Sudah dua hari, Mika, anaknya yang berusia 15 bulan demam. Eko dan istrinya tak berani memberi obat sirop penurun panas.
Pulang berobat, Mika diberi obat berbentuk puyer dari dokter. Namun karena rasanya yang pahit walau sudah ditambah madu, Mika muntah. Demam tak kunjung turun. Eko pun berinisiatif membeli tablet parasetamol rasa jeruk. Obat itu kemudian dia gerus hingga berbentuk bubuk. Tiga kali diberikan, suhu tubuh Mika berangsur turun. Tapi kemudian demam kembali.
"Biasanya dikasih obat sirop Tempra atau Sanmol, langsung turun panasnya. Ini sudah tiga hari naik turun demamnya," kata Eko dalam perbincangan dengan merdeka.com, Selasa (8/11) lalu.
-
Obat apa yang bisa bahaya buat anak? Sejumlah obat-obatan bisa jadi sangat berbahaya bahkan mungkin mematikan ketika dikonsumsi oleh anak atau bayi.
-
Kenapa susu mengganggu obat? Mengonsumsi susu, yogurt, atau keju bersamaan dengan antibiotik dapat mengurangi efektivitas obat tersebut karena kemampuannya mengurangi penyerapan obat.
-
Kenapa anak bahaya minum obat dewasa? Anak-anak memiliki sistem pencernaan, metabolisme, dan fungsi hati yang belum sepenuhnya berkembang, sehingga mereka mungkin tidak dapat memetabolisme obat dengan efisiensi yang sama seperti orang dewasa.
-
Mengapa alergi obat terjadi? Alergi obat terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara tidak wajar merespons obat yang dikonsumsi.
-
Gimana cara obat opioid bahaya buat anak? Pemberian opioid pada anak atau balita yang tidak terkontrol dapat menyebabkan depresi pernapasan yang parah atau bahkan berakibat fatal.
-
Kenapa anak mudah keracunan? Anak-anak memiliki sistem pencernaan dan kekebalan yang masih dalam tahap berkembang, sehingga mereka lebih rentan terhadap keracunan makanan.
Ramainya pemberitaan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak (GGAPA) yang hingga akhir Oktober membuat 159 balita meninggal, membuat Eko dan istrinya tak mau ambil risiko. Meski Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah merilis daftar obat sirop yang aman.
"Pusing gue, tanya sana sini dan browsing cari obat yang aman. Sempat beli obat sirop Praxion buatan Pharos di apotek sesuai daftar di BPOM, tapi istri melarang dikasih ke Mika," ujarnya.
Hari keempat Mika demam, Eko memutuskan membawa anaknya ke IGD salah satu rumah sakit di Pamulang. Anaknya diberi obat melalui anus dan harus dirawat inap selama tiga hari. Kondisi Mika kini pulih setelah mendapat perawatan dan obat-obatan melalui infus.
Eko mengaku bingung selama anaknya sakit karena harus memastikan obat yang aman untuk Mika. Dia mempertanyakan kinerja BPOM, mengapa sampai ada obat-obatan mengandung bahan berbahaya yang lolos edar.
"BPOM kan tugasnya mengawasi. Kenapa bisa terjadi seperti ini, pengawasan produksinya bagaimana?" tanya Eko.
Sikap yang sama juga dilakukan Kamil, warga Bogor yang punya anak berusia 3 tahun. Selalu membeli obat dengan resep dokter, dia kini melakukan cek kandungan obat dan mencari tahu melalui situs BPOM dan internet.
"Meskipun sudah diresepkan dokter, tetap harus waspada dan cari tahu sendiri," ujarnya kepada merdeka.com.
Dari kasus-kasus yang dia baca di media online, banyak anak-anak yang terkena penyakit gangguan ginjal akut justru mendapatkan obat yang diresepkan dokter. Pemerintah yang punya perangkat untuk mengawasi peredaran obat sejak tahap produksi, harusnya bisa mencegah kejadian ini.
"Ini kan masalah nyawa dan kita pun belum tahu apakah anak-anak yang kena gangguan ginjal kemudian sembuh ginjalnya, bisa kembali normal, atau justru mengalami kerusakan," ujarnya.
Kamil meminta pemerintah dan BPOM lebih ketat dalam mengawasi produksi dan peredaran obat. "Kesehatan masyarakat harus mendapat jaminan dan perlindungan dari pemerintah," tegasnya.
Sementara Irva Nurdiati, ibu yang memiliki dua anak balita sempat was-was setelah memberikan obat sirop parasetamol kepada anaknya yang sakit demam selama enam hari pada pertengahan Oktober lalu.
"Langsung khawatir sama obat yang sudah aku kasih itu, karena kan anak-anak paling mudah minum obat sirop," tuturnya kepada merdeka.com.
Irva kini lebih berhati-hati dalam memilih obat. Dia berkonsultasi dengan kerabatnya yang berprofesi sebagai apoteker. Irva juga mencari tahu sendiri zat-zat dalam obat apakah aman atau tidak. Apalagi, anaknya hanya bisa minum obat dalam bentuk sirop.
"Semoga hal kayak gini enggak terjadi lagi. Pemerintah bisa lebih cepat tanggap jika ada kasus seperti ini," ujarnya.
Bukan dari Virus atau Bakteri
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sedang melakukan isolasi mandiri karena terpapar virus Covid-19. Dia ingat, saat itu awal September 2022, mendapat pesan singkat dari sejumlah dokter anak RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Para dokter anak mengajak Budi mengikuti video conference untuk mendengarkan penjelasan perkembangan kasus gagal ginjal akut yang jumlah pasiennya melonjak pada akhir Agustus 2022.
"Jadi saya mendengarkan saja waktu itu, tanggal 11 September dan kita melihat bahwa potensinya berbahaya. Jadi 20 September kita berkoordinasi dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) untuk melihat kasus ini seperti apa," kata Budi saat rapat dengan Komisi IX DPR, Rabu 2 November 2022.
Setelah mendengar data kasus GGAPA yang mengkhawatirkan, Budi meminta agar dokter-dokter anak mengumpulkan sampel dari pasien-pasien untuk diteliti.
Awalnya, penyakit ini dicurigai berasal dari virus karena situasi pandemi Covid-19 masih berlangsung. Analisis patologi pun dilakukan dengan mencari tahu penyebab penyakit ini apakah virus, bakteri, parasit, atau patogen.
"Jadi teman-teman di Kemenkes dengan pengalaman seperti itu langsung melakukan uji patologi. Baik dengan PCR dan genome sequencing untuk melihat penyebabnya apa," ujar Budi.
Hasilnya, dari semua tes hingga akhir September terhadap bakteri dan virus yang diduga menjadi penyebab GGAPA, tidak ditemukan hubungan yang kuat.
"Jadi orang-orang yang sakit, dites leptospirosis, tes adenovirus, tes Covid-19. Kita tes segala macam bakteri dan virus, itu semuanya di bawah 7 persen. Jadi tidak ada korelasinya dengan penyakit ini," kata Budi.
Menkes menambahkan, pemeriksaan panel patogen dilakukan di seluruh rumah sakit pemerintah oleh Kemenkes. Hasil pemeriksaan, ternyata bakteri leptospira nol persen dari semua pasien yang sakit. Demikian juga dengan virus lainnya yang ditemukan bawah 10 persen. Jumlah virus yang terdeteksi tinggi adalah human parainfluenza.
"Itu virus-virus yang menyerang pernapasan. Nah ini kan menyerang ginjal. Jadi kita bilang enggak mungkin disebabkan oleh semua panel bakteri," ujarnya.
Peneliti, lanjut Menkes, juga mengecek kemungkinan GGAPA disebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh Covid-19. Hasilnya tidak ada korelasi dengan virus SARS-Cov-2. Dugaan selanjutnya adalah vaksin Covid-19. Tapi sampel pasien yang diuji semuanya berusia di bawah 5 tahun yang justru tidak mendapatkan vaksin.
Kemenkes akhirnya memutuskan pada akhir September, penyakit GGAPA tidak disebabkan oleh vaksin, virus SARS-Cov2 dan virus lainnya, termasuk bakteri.
"Karena kita tidak mengetahui penyebabnya apa, 28 September kita fokus ke perawatannya. Kita mengeluarkan surat edaran tata laksana penanganan gagal ginjal akut. Oleh teman-teman Ditjen Yankes dikirimkan ke semua rumah sakit," kata Menkes.
Uji Toksikologi
Saat Kemenkes memutuskan fokus pada perawatan ratusan pasien-pasien dengan kasus gagal ginjal akut pada anak, kabar itu datang dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pada 5 Oktober 2022, WHO merilis kasus yang sama terjadi di Gambia, Afrika Barat.
Mendapat informasi itu, Menkes Budi Gunadi Sadikin meminta penyelidikan kasus GGAPA diubah melalui uji toksikologi. Mulai 6-11 Oktober, Kemenkes melibatkan BPOM.
"Pada beberapa kesempatan yang sama kita melakukan uji darah terhadap semua pasien yang ada. Dan pasien itu terkonfirmasi sama yang dilaporkan WHO bahwa cairan senyawa kimia yang ada di darah mereka," kata Budi.
Tim khusus pun diturunkan untuk menemui semua pasien untuk memeriksa obat-obatan yang mereka konsumsi. Peneliti Kemenkes akhirnya mengonfirmasi temuan senyawa kimia terlarang dalam kandungan obat yang diambil dari rumah pasien. Hasil tes darah, 70 persen pasien terkonfirmasi mengandung senyawa berbahaya.
"Confirmed bahwa apa yang kita temui di pasien, kita temui di obat di rumah pasien, itu sama dengan yang terjadi di Gambia yang sudah dikonfirmasi WHO," ujarnya.
Pada 17 Oktober, Menkes mengumpulkan pakar-pakar dari IDAI, pakar-pakar epidemiologi, pakar-pakar farmakologi, BPOM, dan perwakilan dari WHO untuk membahas temuan itu.
"Ini (penyebabnya) tidak bilang 100 persen, tapi kemungkinan besar faktor risiko besar dari kematian anak-anak ini disebabkan oleh obat-obatan yang mengandung senyawa kimia tersebut," kata Budi.
Dengan jumlah pasien yang terus bertambah dan kritis memenuhi ruang MICU (medical intensive care unit) RSCM, pada 18 Oktober Menkes mengambil keputusan untuk melarang peredaran obat-obat sirop yang mengandung etilen glikol, dietilen glikol, dan etilen glikol butil ether.
Dari 325 pasien, tim Kemenkes mengumpulkan 232 obat-obatan. Kandungan obat itu kemudian dikirim ke BPOM untuk diuji, Labkesda DKI, hingga ke Puslabfor Polri.
"Hasilnya memang ada senyawa kimia etilen glikol dan dietilen glikol yang merupakan cemaran dari bahan pelarut yang biasa digunakan untuk obat-obatan ini," kata Budi.
Bagaimana Etilen Glikol Merusak Ginjal
Hasil penyelidikan Kementerian Kesehatan menemukan tiga zat yakni etilen glikol, dietilen glikol, dan etilen glikol butil ether sebagai penyebab terbesar kasus gangguan ginjal akut pada anak (GGAPA).
Etilen glikol dan dietilen glikol muncul sebagai cemaran dari pelarut produk obat sirop yakni propilen glikol yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan pelarutan dari obat-obatan.
Menkes Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, kandungan ketiga zat yang melebihi ambang batas aman yang telah ditentukan itu sangat berbahaya karena merusak ginjal pada anak-anak.
Zat yang masuk ke dalam tubuh anak-anak itu akan dimetabolisme melalui proses alkohol dehidrogenase menjadi asam oksalat. "Asam oksalat ini masuk ke ginjal menjadi kalsium oksalat, akan menjadi kristal yang tajam-tajam. Nah ini akan merusak ginjal anak-anak tersebut," jelas Budi.
Melalui tes darah, tim Kemenkes menemukan fakta hampir seluruh pasien balita yang sakit, terdapat kandungan etilen glikol dan dietilen glikol. Demikian juga dari obat-obatan yang diperiksa.
"Fakta keempat, kita juga cek bahwa senyawa kimia ini kalau masuk ke dalam si anak akan menyebabkan timbulnya kerusakan ginjal," ujarnya.
Untuk meyakinkan dugaan itu, dilakukan biopsi terhadap tiga pasien GGAPA di RSCM. "Sekali lagi terbukti, bahwa ada kristal kalsium oksalat di ginjal mereka. Sehingga dengan fakta-fakta seperti ini, analisis dari WHO (terbukti) bahwa ini penyebabnya obat," imbuh Budi.
Budi menjelaskan, risiko kematian akibat GGAPA berhasil diturunkan setelah tim dokter menggunakan obat fomepizole. Terapi untuk senyawa kimia ini ternyata reaktif dengan sangat baik. Ini membuktikan hipotesa penyebab GGAPA kembali terkonfirmasi.
"Ternyata obat ini (fomepizole) yang merupakan anti dari faktor risiko tadi, begitu diberikan langsung menurunkan level kematian," ujarnya.
Dari situlah Kemenkes meyakini dan menyimpulkan bahwa risiko paling besar penyebab para pasien anak-anak terkena GGAPA hingga meninggal adalah karena adanya tiga senyawa kimia tersebut.
"Yang menyebabkan kematian pada anak-anak tersebut adalah adanya kristal ini yang merusak ginjal mereka, karena itu tajam. Dan itu terbukti hasil alkohol dehidrogenase dari tiga senyawa kimia tadi," papar Menkes.
Kesimpulan Terburu-buru
Keputusan Kementerian Kesehatan melarang peredaran obat sirop terkait kasus gagal ginjal akut pada anak dinilai terburu-buru. Karena faktanya, tidak semua pasien anak yang meninggal sebelumnya mengonsumsi obat sirop yang mengandung etilen glikol.
Meski begitu, Guru Besar Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada Prof. Zullies Ikawati bisa memahami, keputusan Kemenkes diambil untuk mencegah korban lebih banyak lagi. Sedangkan BPOM lebih hati-hati dalam menyimpulkan.
"Antara kementerian kesehatan dan Badan POM kan sudah beda pendapat. Badan POM kan itu hati-hati. Maksudnya ini jangan disebutkan karena obat sirop, jangan dulu," ujarnya ketika dihubungi merdeka.com.
Zullies menambahkan, dampak pelarangan obat sirop cukup menghebohkan bagi industri farmasi. "Akhirnya kan Badan POM juga merilis sebagian sirop-sirop aman. Tapi kan karena sudah dari awal enggak boleh, orang kan jadi takut. Jadi parno (paranoid)," ujarnya.
Ahli kimia farmasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigjen Mufti Djusnir juga sependapat dengan pernyataan Prof Zullies. Dia berharap Kemenkes jangan terburu-buru menyimpulkan sampai ada keputusan pasti.
"Bikin lah tim khusus untuk menangani itu, tim terpadu," tukasnya kepada merdeka.com.
Mufti menyoroti, kasus GGAPA harus ditelusuri dari vendor-vendor penyedia bahan baku obat. Dia yakin, industri farmasi, apalagi apotek-apotek yang meracik obat mengikuti standar pembuatan obat yang baik.
"Nah kalau di industri sendiri, yang saya tahu dan saya pernah bekerja di industri lembaganya kepolisian, itu ada vendor. Jadi vendornya itu dia memberikan sertifikat analisis. Nah itu diuji kembali sama kita. Enggak bisa terima begitu saja," pungkas Mufti.
Menkes Budi sendiri mengakui keputusan melarang peredaran obat sirop telah menimbulkan dampak terhadap industri farmasi. Namun dia menegaskan, hal ini harus dilakukan karena berkaitan dengan nyawa.
"Jadi kita tutup dulu, terus kita kerja sama dengan BPOM, industri farmasi, Ikatan Apoteker Indonesia, dokter. Jangan sampai lagi ada kematian bayi yang terjadi di masyarakat kita. Ini adalah kelompok yang harus dilindungi kematiannya, satu pun jangan sampai terjadi," pungkas Budi.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Obat-obatan tersebut dikonsumsi cukup lama dan dilakukan secara terus menerus.
Baca SelengkapnyaObat dewasa sering kali memiliki dosis yang lebih tinggi daripada yang aman bagi anak-anak.
Baca SelengkapnyaAnak-anak penderita gagal ginjal akut karena cemaran obat sirup beracun sedang berjuang untuk hidup.
Baca SelengkapnyaKepala BPOM RI Taruna Ikrar menegaskan komitmennya untuk menindak tegas jaringan mafia skincare.
Baca SelengkapnyaSkincare bertiket biru merupakan istilah untuk produk perawatan kulit yang mengandung bahan obat keras dan dibuat sebagai produk racikan.
Baca SelengkapnyaPenarikan ini usai BPOM menemukan kandungan natrium dehidroasetat (sebagai asam dehidroasetat) yang tidak sesuai dengan komposisi pada roti tersebut.
Baca Selengkapnyanatrium dehidrosetat dalam dosis tinggi dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan.
Baca SelengkapnyaDPR juga mengingatkan kepada produsen pangan agar terus menjaga keamanan dan kualitas mutu produknya.
Baca SelengkapnyaObat-obat tersebut diproduksi di sebuah kontrakan, Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar. Dalam sebulan, ada 4.800 botol yang dijual.
Baca SelengkapnyaApakah penarikan dua obat sirop di atas berkaitan dengan cemaran Etilen Glikol/Dietilen Glikol (EG/DEG)?
Baca SelengkapnyaPlt Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Ema Setyawati mengungkapkan alasannya.
Baca SelengkapnyaHal ini untuk memberi kepastian bagi masyarakat cegah hoaks
Baca Selengkapnya