Aktivis 98: Saya Dipukuli, Disetrum dan Disuruh Mengulum Katak
Merdeka.com - Peristiwa 23 tahun silam, atau tepatnya 21 Mei 1998, menjadi sebuah momen yang tidak akan pernah dilupakan oleh Bangsa Indonesia. Sebab sebuah peristiwa besar itu merupakan awal keruntuhan Orde Baru dan kemudian melahirkan Orde Reformasi.
Tidak sedikit korban jiwa dalam proses menuju pelengseran Presiden Soeharto kala itu. Bahkan, puluhan aktivis yang getol dengan perlawanan saat itu hingga kini tidak jelas nasibnya, masih hidup atau sudah mati.
Tidak hanya di Jakarta yang saat itu menjadi pusat perhatian pergerakan massa. Di Surabaya, para pelaku sejarah Mei 98 juga sempat merasakan getahnya. Meski tidak sampai 'hilang', namun penyiksaan dan pengapnya penjara tidak urung juga sempat dirasakan.
-
Kapan Orde Baru dimulai? Dan sejak saat itulah dimulainya masa Orde Baru oleh kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
-
Kenapa Orde Baru dibentuk? Orde Baru sendiri terbentuk karena dipengaruhi beberapa peristiwa bersejarah di Indonesia antara lain: Terjadinya Peristiwa G30S PKI Keadaan Indonesia kala itu menjadi semrawut tidak karuan. Banyak terjadi pembunuhan, penculikan, dan lain sebagainya.
-
Apa yang terjadi pada 24 Januari 1989? Setelah sembilan tahun di Penjara Negara Bagian Florida, pada tanggal 24 Januari 1989, kisah Ted Bundy akhirnya berakhir di kursi listrik.
-
Dimana peristiwa bersejarah ini terjadi? Di Kota Padang, terjadi peristiwa bersejarah pada 27 November 1945 di sebuah sekolah bernama Sekolah Teknik Simpang Haru.
-
Siapa pemimpin Orde Baru? Orde Baru merujuk kepada masa pemerintahan Soeharto yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998.
-
Mengapa hari ini penting bagi Indonesia? Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional adalah momentum penting bagi masyarakat Indonesia untuk memperingati nilai solidaritas dan saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat.
"Saya pernah digunduli, ditelanjangi, dipukuli, disetrum, sampai disuruh ngemut (mengulum) kodok (katak)," ujar Trio Marpaung, mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), saat bercerita kepada merdeka.com baru-baru ini.
Ingatan ayah bapak empat anak ini pun lalu kembali terbang pada peristiwa yang dialaminya di masa lalu. Ia menyebut, peristiwa Mei 98 sebenarnya tak lepas dari gerakan mahasiswa yang sudah digagas sejak tahun 1996 atau disebut juga angkatan 96.
"Peristiwa Mei 98 itu sebenarnya tak bisa lepas dari pergerakan tahun sebelumnya. Ini kan bagian dari proses," ujar aktivis 96 ini.
Pria lulusan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) Fakultas Fisip Jurusan Ilmu Politik ini bercerita, sejak awal kuliah sudah direkrut kakak kelas untuk masuk organisasi SMID. Di organisasi ini, dirinya ditempa untuk membela buruh, petani, nelayan dan rakyat tertindas.
"Saya diminta untuk hidup dengan buruh maupun petani. Tujuannya supaya tahu penderitaan hidup mereka," kenang warga Kalijudan, Mulyorejo, Surabaya ini.
Suami dari Immaculata Syani ini mengaku, saat itu penindasan terhadap rakyat dianggap sudah banyak terjadi. Namun, masih belum banyak perlawanan dari mahasiswa. Untuk itu, ia dan kawan-kawannya pun tergerak untuk mengorganisir diri melawan kebijakan pemerintah.
Hasilnya, pada Maret tahun 1996, SMID yang menjadi organ sayap PRD (Persatuan Rakyat Demokratik-sebelum menjadi partai) berhasil mengorganisir demo buruh di Surabaya. Ribuan buruh turun ke jalan menuntut perbaikan kesejahteraan.
"SMID demo bersama buruh pada Maret 96. Itu pengorganisiran terbesar demo waktu itu, ribuan (jumlah buruh)," ungkapnya.
Gerakan perlawanan itu, rupanya mulai mengusik para penguasa. Rentetan panjang pengadangan berbagai gerakan mahasiswa pun dilakukan.
"Rentetan panjang yang dilakukan oleh teman gerakan kemudian dipukul pada 96. Pasca itu aktivis digebuk. Termasuk saya, ditangkap, diculik dan disiksa di Bakortanasda (Badan Koordinasi Stabilitas Keamanan Daerah) Jatim, yang digawangi oleh ABRI saat itu. Pemukulan ini berhasil, pasca peristiwa kudatuli aktivis sempat tiarap," katanya.
Sebelum tertangkap, ia mengaku sempat melarikan diri lebih dulu. Saat itu dirinya sudah mengetahui bakal ditangkap aparat. Sehingga tanpa memberitahu keluarga, dirinya bersembunyi di rumah taman kawasan Sidoarjo.
Namun pelariannya tidak berlangsung lama. Kehabisan bekal, dirinya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Kepulangannya itu, rupanya sudah tercium aparat. Tak ayal ia pun hanya mampu pasrah saat puluhan aparat sudah mengepung area rumahnya.
"Saya ditangkap karena anggota SMID. Saat itu rumah saya masih di Bendul Merisi," tukasnya.
Saat itulah, dirinya lalu digelandang ke markas Bakortasda di Jalan A Yani Surabaya. Sebelum diperiksa, di tempat itu dirinya ditelanjangi, dipukuli, digunduli, disetrum dan disiksa dengan berbagai perlakuan lainnya. Selain dirinya, waktu itu ada dua orang aktivis lainnya yang turut ditangkap.
"Waktu itu saya mikirnya sudah mati saja. Yang saya tahu ada satu cewek dan satu cowok, mas Zainal yang kondisinya sudah parah saat itu. Tapi total ada 31 aktivis yang turut ditangkap pula waktu itu. Setiap ditanya, kalau jawabannya tidak sesuai dengan keinginan mereka, ya dipukuli," kenangnya.
Selama empat hari ia mengalami penyiksaan. Usai dirasa cukup, ia pun diminta untuk mengisi biodata seluruh keluarganya. Sembari mengisi data, ia berpikir jika kematian sudah di depan matanya. Sebab, menilik sejarah seperti kasus Marsinah, pola semacam penangkapan itu pasti berujung hilangnya nyawa.
"Waktu itu sudah sempat mikir mati karena berdasarkan sejarah seperti Marsinah," pungkasnya.
Tepat pada hari kelima, dirinya dilepaskan dari Bakortanasda. Namun ujian belum berlalu. Melangkah keluar gerbang, dirinya sudah ditunggu oleh sejumlah polisi. Ia lantas kembali ditangkap.
"16 Agustus dikeluarkan dari Bakornasda, langsung ditangkap Polwiltabes (sekarang Polrestabes Surabaya). Keluar gedung Bakornasda, langsung ditangkap dimasukkan mobil Kijang. Pikiran saya mau dibunuh petugas berpakaian sipil. Ternyata dibawa ke Polwil disidik lagi. Katanya ditangkap dalam rangka Kudatuli, PRD, komunis, berusaha menggulingkan Soeharto," tandasnya.
Di tangan polisi, ia kembali menjalani proses penyidikan. Namun kasusnya tidak pernah sampai persidangan. Meski ditangkap, ia justru hanya menjadi saksi di persidangan beberapa aktivis buruh yang sudah ditangkap lebih dulu.
Usai menjadi saksi, ia dan beberapa temannya dilepas dan hanya menjadi tahanan kota. Selama 5 bulan, ia diwajibkan untuk wira wiri Bakornasda-Polwiltabes, melakukan wajib lapor.
Meski demikian, semangatnya untuk menggulingkan rezim Soeharto tak pernah pupus. Jelang lengsernya Soeharto, ia dan teman-temannya yang konsisten di jalur perlawanan kembali mengorganisir diri.
Di kampus, para mahasiswa kembali dikumpulkan untuk melakukan perlawanan. Seiring dengan kerasnya perlawanan di Jakarta, di Surabaya letupan-letupan perlawanan juga mulai terjadi.
Mahasiswa dari berbagai penjuru di Jatim mulai terpusat ke Surabaya dan Malang. Di Surabaya sendiri pergerakan mahasiswa dan massa lainnya mulai massif. "Di Surabaya memang tidak serusuh Jakarta. Tapi yang saya ingat waktu itu letupan-letupan pergerakan mahasiswa sudah terjadi," pungkasnya.
Di Surabaya sendiri diakui tidak terjadi penculikan mahasiswa. Namun dua mahasiswa asal Surabaya turut hilang dalam peristiwa Mei 98 di Jakarta. Kedua mahasiswa itu adalah Herman Hendrawan dan Bimo Petrus, Mahasiswa Unair.
"Mereka aktivis PRD, 2 bulan sebelum Soeharto jatuh mereka diculik saat di Jakarta. Diculik, sampai sekarang tidak jelas nasibnya," tandasnya.
Dalam ingatannya, masa pergerakan yang paling berkesan adalah saat dirinya ditangkap dan dibawa ke Bakortanasda. Saat mendapatkan penyiksaan itu, ia merasa mendapatkan sebuah pengalaman yang paling berharga.
"Markas Bakortanasda itu paling berkesan. Tempat itu membuat saya lebih mengerti bahwa melawan negara saat itu memang benar ada resiko 4 B : buru, bui, buang dan bunuh. Dan saat dilepas, saya seperti mendapat kesempatan hidup kedua," tutupnya.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sebanyak 2.000 tengkorak dan 1.000 nisa kuburan ditampilkan secara dramatis.
Baca SelengkapnyaIstilah "Tritura" merupakan singkatan dari "Tri Tuntutan Rakyat" (Tiga Tuntutan Rakyat).
Baca SelengkapnyaTritura sendiri merupakan momentum perpindahan dari masa pemerintahan Orde Lama (Soekarno) menuju Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Baca SelengkapnyaRibka mengajak kader PDI Perjuangan dan aktivis ikut mendesak Presiden Jokowi memasukkan peristiwa Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca SelengkapnyaDi Kota Padang, terjadi peristiwa bersejarah pada 27 November 1945 di sebuah sekolah bernama Sekolah Teknik Simpang Haru.
Baca SelengkapnyaSejumlah pers diberedel pada masa Orde Baru karena mengkritik pemerintah.
Baca SelengkapnyaMomen Soeharto saat akan tinggalkan Istana Merdeka usai diminta lengser dari jabatannya.
Baca SelengkapnyaPenampilan teatrikal Kudatuli 27 Juli ini digelar di depan Kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat.
Baca SelengkapnyaKala itu, permasalahan ekonomi muncul akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi perpolitikan saat itu.
Baca SelengkapnyaRibka menilai, jika tidak ada reformasi maka tidak akan ada anak tukang kayu menjadi presiden.
Baca SelengkapnyaHari ini, 13 November pada tahun 1998 silam, terjadi demonstrasi besar-besaran di kawasan Semanggi, Jakarta.
Baca Selengkapnya