Bertahan hidup dari puing bencana di Palu
Merdeka.com - Seorang petugas kepolisian memberikan imbauan lewat pengeras suara di kawasan pergudangan, Pantai Mamboro, Palu, Sulawesi Selatan. Dia meminta warga yang sibuk mengais sisa puing akibat bencana gempa dan tsunami agar menghentikan aksinya.
"Seluruh barang ini ada yang memiliki. Jika tetap mengambil artinya telah melakukan tindak pidana pencurian," tegas polisi melalui speakernya, Sabtu (13/10).
Sayup-sayup suara itu tersapu angin. Sejumlah warga tidak menggubris sambil terus mencari barang yang dibutuhkan. Semuanya kategori rongsokan.
-
Bagaimana Saung Garpu membantu anak pemulung? Kini para orang tua bersyukur anak-anaknya bisa belajar di tempat Nurida sehingga bisa mendapatkan akses pendidikan dengan lebih mudah.
-
Apa yang digunakan anak-anak di Desa Gabus Serang untuk seberangi sungai? Mereka harus sebrangi Sungai Cidurian menggunakan rakit bambu lantaran tak ada fasilitas jembatan.
-
Bagaimana anak-anak Desa Gabus Serang seberangi sungai? Rakit ini hanya bisa menampung enam sampai tujuh orang, dengan resiko tinggi. Pasalnya rakit bambu hanya dibuat ala kadarnya, sebagai alat penyeberangan utama. Untuk menggerakannya, seorang operator menarik tali baja yang membentang dari masing-masing ujung Sungai Cidurian.
-
Siapa yang menolong Putro saat sepedanya rusak? Aku dikancani Dodo nuntun pedah goleki tukang tambal ban.
-
Siapa yang terdampak udara buruk? Berdasarkan pernyataan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), polusi udara dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh.
-
Siapa yang bantu tim evakuasi? Dalam pencarian dan evakuasi korban, tim gabungan di Sumatera Barat juga turut dibantu kantor SAR Bengkulu, kantor SAR Jambi dan Kantor SAR Medan.
Meski cuaca panas terik, praktik bolak-balik mengambil kayu dan besi tetap dilakoni. Bahkan di antara mereka dibantu bocah untuk mencari dan menaikkan puing ke bak motor roda tiga.
Di kepala mereka, sulit terbayang melanjutkan hidup di kota rusak akibat bencana itu. Yang memungkinkan hanyalah mengumpulkan pundi rupiah dengan onggokan barang rongsokan.
Hal itu dialami Suahimi. Dengan perlengkapan gergaji besi, palu, dan linggis, tangannya lihai memangkas besi menjadi potongan kecil dengan panjang sekitar 30 sentimeter.
"Sangat sulit hidup di sini sekarang. Buat nambah-nambah hidup," tutur Suhaimi saat berbincang dengan Liputan6.com di lokasi, Sabtu (13/10).
Suhaimi membawa karung untuk mengangkut rongsokannya. Satu persatu disusun rapih hingga dapat memuat banyak besi. Meski ada polisi, dia tetap melanjutkan aktivitasnya.
Rumah wanita berusia 39 tahun di kawasan pantai tersebut habis disapu tsunami. Kini lewat puing besi, dia berharap dapat menyambung hidup.
"Di pengepul Rp 7 ribu sampai Rp 10 ribu per kilonya," kata Suhaimi.
Sama halnya dengan warga lain, Rudi. Dia dibantu tiga bocah mengangkut puing kayu dan barang elektronik yang rusak ke bak motor roda tiganya. Dengan semangat anak-anak itu menyisir pergudangan.
Pria usia 30 tahun itu biasa berprofesi sebagai nelayan. Rasa takut melaut akibat tsunami membuatnya bertahan sementara lewat mengumpulkan rongsokan.
"Besi bisa dilebur. Untungnya juga lumayan. Kipas rusak ini nanti coba bisa jadi uang," kata Rudi.
Reporter: Nanda Perdana PutraSumber: Liputan6.com
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ada banyak cara untuk menjadi orang baik seperti yang dilakukan pria ini.
Baca Selengkapnya"Bagi anak-anak, perhatian ini membawa keceriaan di tengah suasana pengungsian, dan bagi orang tua."
Baca SelengkapnyaAnak-anak di Kampung Pasir Gudang tidak bermain gadget saat mengisi waktu luang, melainkan mencari belut di sawah.
Baca SelengkapnyaDitinggal istri wafat, pria ini harus mengurus tiga balita seorang diri.
Baca SelengkapnyaDari ratusan korban terdampak banjir, tampak seorang lansia yang berusia nyaris seabad diselamatkan polisi.
Baca SelengkapnyaBocah Papua harus rela tinggal berdua dengan adiknya selama berbulan-bulan karena orang tua mereka bekerja mencari kayu gaharu di tengah hutan.
Baca SelengkapnyaSetiap hari anak-anak di kampung ini harus bertaruh nyawa untuk menuju sekolah menggunakan rakit, lantaran tak ada akses jembatan.
Baca Selengkapnya