Cara Anies Atasi Kepentingan Partai dan Masyarakat Jika Bertabrakan
Sehingga, mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun menyebut, ada empat patokan dalam mengambil suatu keputusan.
Menurutnya, untung dan rugi ini lah yang bisa membuat keputusan tersebut menjadi tidak konsisten.
Cara Anies Atasi Kepentingan Partai dan Masyarakat Jika Bertabrakan
Calon Presiden (Capres) nomor urut 1, Anies Rasyid Baswedan mengaku telah mempunyai patokan dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini saat dirinya ditanyakan soal jika kepentingan partai dan masyarakat bertabrakan, mana yang lebih dipilihnya.
"Kalau orang tidak punya patokan, maka ketika dia mengambil keputusan, dia akan mempertimbangkan hanya unsur untung rugi kenapa? Karena tidak punya patokan. Mana yang lebih menguntungkan, mana yang merugikan, yang menguntungkan diambil, yang merugikan tidak diambil," kata Anies dalam program Desak Anies di Maluku, Senin (15/1).
Menurutnya, untung dan rugi ini lah yang bisa membuat keputusan tersebut menjadi tidak konsisten dari waktu ke waktu.
"Tetapi kalau keputusan itu terlihat konsisten dari waktu ke waktu, pasti yang mengambil keputusan punya patokan," ujarnya.
Sehingga, mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun menyebut, ada empat patokan dalam mengambil suatu keputusan. Pertama yakni prinsip keadilan serta kesetaraan.
"Patokan kedua, kepentingan publik mana yang lebih besar. Yang ketiga adalah data, ilmu, fakta yang menjadi rujukan. Jangan sampai keputusan ini tidak berdasarkan pada ilmu pengetahuan, tidak berdasar pada fakta," sebutnya.
"Yang keempat, berdasarkan pada konvensi, aturan, Undang-Undang. Ini nomor empat, urutannya tidak saya balik ini," sambungnya.
Menurutnya, banyak di pemerintahan jika mengambil suatu keputusan itu dibalik dari empat patokan tersebut.
"Banyak di pemerintahan kalau ngambil keputusan itu dibalik, nomor satu apa kata aturan dulu. lah, banyak aturan kita yang tidak masuk akal, tidak sesuai kondisi lapangan. Betul tidak?," ungkapnya.
"Karena itulah kemudian dilakukan urutan yang berubah. Urutannya nomor satu keadilan. Saya beberapa kali mengambil keputusan yang secara peraturan, saya harus mencari celah karena umumnya peraturan enggak begitu," tambahnya.
Ia pun memberikan contoh seperti upah minimun di Jakarta. Menurutnya, aturan tersebut berubah karena adanya Omnibus Law.
"Aturannya yang lama di Jakarta kalau upah buruh tiap tahun naiknya 8 persen rata-rata. Ketika ada covid, aturan yang sama, ekonomi kita sedang turun, dia berubah menjadi 3 persen karena ada covid. Semua orang menerima karena ada covid," paparnya.
"Nah kemudian terjadi perubahan gara gara Omnibus dengan aturan yang baru, maka kenaikannya hanya 0,8 persen, yang kira-kira naik Rp30 ribu (per tahun). Rp30 ribu di Jakarta bisa dapat apa? enggak dapat apa-apa," tambahnya.
Anies pun mengaku, saat menjadi gubernur tidak menandatangani keputusan Omnibus Law dan memakai Undang-Undang kekhususan Jakarta.
"Saya jadi gubernur dapat aturan itu. terus bagaimana saya? Saya tandatangani pakai keputusan (Omnibus Law) itu? Tidak, saya gunakan Undang-Undang kekhususan Jakarta untuk Jakarta tetap menggunakan aturan yang lama, supaya ada rasa keadilan bagi UMP di Jakarta," ucapnya.
Ternyata, keputusan itu diungkapkannya mendapatkan protes dari pengusaha. Namun, ia tidak menyebut, siapa yang memprotesnya itu.
"Apa yang terjadi? Diprotes, yang protes siapa? Pengusaha semua protes ke saya. Kemudian pengusaha tentu saja telepon pimpinan partai karena kenal. (Pimpinan partai) pada ngontak semua ke saya dan kepada mereka saya jawab begini, 'bapak-ibu sekalian, kira-kira masuk akal sehat tidak rata-rata 8 persen terus sekarang jadi 0,8 persen'," ungkapnya.
"Yang kedua, kalau keputusan itu tidak adil, maka itu tidak akan langgeng. Keputusan yang tidak adil akan menimbulkan kemarahan. Ini namanya panggilan demonstrasi buruh se-Jakarta, langsung semua orang akan protes karena enggak masuk akal," tambahnya.
Meski begitu, dirinya mengaku, kerapa mengalami dilema. Akan tetapi, dirinya mempunyai patokan yang menjadikan dirinya siap untuk berdebat.
"Saya sering mengalami dilema dilema begitu. tapi ketika mengalami dilema itu, dengan adanya patokan, saya bisa berdebat. Menurut anda adil tidak 0,8 persen ini? Itu pengusaha yang ketemu saya juga bilang 'memang enggak adil pak, tapi aturannya begitu'," katanya.
"Saya bilang, aturannya tidak adil memang, tapi saya sebagai pemegang aturan di Jakarta saya buat aturan yang berkeadilan. Silakan di tempat lain kalau enggak mau melakukan itu," pungkasnya.