Cerita Pramono Pengusaha Susu, Rutin Bayar Pajak Rp10 Juta Mendadak Ditagih Rp2 Miliar: Tidak Masuk Akal
Pramono bingung apa yang terjadi, karena sejak 2015-2017 dirinya selalu rutin membayar pajak dengan besaran Rp10 juta.
Nama Pramono (67) pemilik UD Pramono pengepul susu sapi di Boyolali mendadak menjadi perbincangan. Gara-gara, usaha miliknya hampir tutup setelah rekeningnya di Bank Mandiri diblokir oleh KPP Pratama Boyolali gara-gara nunggak pajak.
Informasi dia terima, rekeningnya diblokot karena memilki tagihan pajak ratusan juta Rupiah yang belum dibayarkan. Karena tak punya uang senilai itu, dia berencana menutup tempat penampungan susu miliknya. Padahal selama ini, UD Pramono menjadi jujugan 1.300 petani-peternak di Boyolali dan Klaten.
UD milik Pramono menjadi menyuplai susu ke PR Indolakto dan Cimory. Itu sebabnya, usaha ini menjadi sandaran ribuan peternak yang tersebar di sejumlah Kecamatan di lereng Gunung Merapi. Pramono memberikan pinjaman modal kepada para petani dan peternak tanpa bunga.
"Ada 50 karyawan saya, gajinya di atas UMK. Kami juga menyediakan pakan untuk para peternak," ujar Pramono saat ditemui di rumahnya, Desa Sungosari, Kecamatan Mojosongo, Boyolali, Rabu (5/11).
Klarifikasi Kanwil Ditjen Pajak Jawa Tengah II
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II (Kanwil DJP Jateng II) buka suara soal polemik tunggakan pajak UD Pramono.
Seperti diberitakan sebelumnya, uang Rp670 juta milik Pramono (pemilik UD Pramono) di salah satu bank plat merah dibekukan karena menunggak pajak senilai hampir sama.
Bahkan sempat disebutkan bahwa pada awalnya Pramono dianggap berutang pajak sampai dengan Rp 2 miliar.
Kepala Kantor Wilayah DJP Jateng II, Etty Rachmiyanthi menilai apa yang disampaikan Pramono tidak masuk akal dan janggal. Menurutnya, dalam proses pemeriksaan terdapat mekanisme pembahasan hasil temuan pemeriksaan antara pemeriksa pajak dengan wajib pajak.
"Dapat kami jelaskan bahwa dalam proses pemeriksaan terdapat mekanisme pembahasan hasil temuan pemeriksaan antara pemeriksa pajak dengan wajib pajak. Apabila wajib pajak dapat memberikan bukti-bukti pendukung atas temuan tersebut maka dapat mengurangi jumlah pajak yang terutang," ujar Etty, Rabu (13/11).
Sementara terkait pernyataan Pramono soal beda nilai pajak yang harus dibayaran pada tahun 2019 dikenakan (pajak) Rp75 juta dan tahun 2020 menjadi Rp200 juta agar urusan semua selesai hingga, Etty tak memberikan penjelasan.
Menurutnya, dalam sistem perpajakan, terdapat kewajiban pemenuhan pembayaran pajak penghasilan tiap tahun pajak. Hal yang diinformasikan dari Wajib Pajak merupakan kewajiban yang berbeda tahun pajaknya.
"Dalam pelaksanaan tugas, DJP tidak melakukan praktik tawar-menawar dan senantiasa menjunjung tinggi kode etik yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan," tandasnya.
Dikatakan Etty, pada proses pembayaran atau pelunasan utang pajak, terdapat mekanisme angsuran sampai dengan satu tahun atau 12 bulan Sehingga wajib pajak dapat melakukan pelunasan secara bertahap.
"Hal yang disampaikan oleh wajib pajak adalah angsuran awal dalam hal wajib pajak memanfaatkan angsuran tunggakan pajak," ungkapnya.
Selalu Taat Pajak
Terkait permasalahan tagihan pajak yang menjeratnya, Pramono mengaku selalu taat membayar tepat waktu. Terbukti setiap tahun dirinya datang ke kantor pajak untuk membayar pajak usahanya.
Saat proses membayar pajak, dia meminta bantuan kantor pajak lantaran mengakui pendidikannya hanya tamatan SD dan tidak tahu administrasi atau hitung-hitungan pajak.
"Waktu itu membayarnya saya minta tolong kantor pajak karena pendidikan saya hanya lulus SD. Saya tidak tahu administrasi. Tahun 2015, 2016, 2017 itu saya masing-masing pajak Rp10 juta," jelas dia.
"Tahun 2018, karena persaingan usaha penjualan susu semakin ketat, saya meminta pajak diturunkan menjadi Rp 5 juta. Biasanya saya dihubungi kantor pajak untuk membayar pajaknya," bebernya.
Tiba-Tiba Tagihan Pajak Rp2 miliar
Namun, setelah 2018, tidak ada pemanggilan terkait pembayar pajak itu. Tahun 2021 ia mendapatkan surat. Ia pun mendatangi KPP Pratama Boyolali untuk menanyakan pembayaran pajak. Namun ternyata surat itu dikirim dari kantor pajak Solo.
Betapa terkejutnya Pramono setelah tahu tagihan pajaknya sebesar Rp2 miliar. Apalagi selama ini pendapatan usahanya hanya Rp110 juta per tahun.
"Setelah dihitung saya dikenakan pajak Rp2 miliar. Saya tidak sanggup, ini janggal, tidak masuk akal. Selama saya dagang kan kira-kira cuma Rp10 juta atau Rp5 juta pajaknya," ungkap Pramono.
Setelah itu Pramono kembali menerima panggilan dari kantor pajak Solo. Ada pemberitahuan jika jumlah tagihan pajak yang harus dibayarkan diturunkan menjadi sebesar 670 juta. Namun ia tetap merasa tidak sanggup membayarnya.
"Akhirnya saya dipanggil lagi, disuruh nawar. Saya pokoknya tidak mau. Saya pulang nanti sambil jalan dipikir mau atau tidak. Kalau tidak mau (bayar) mau disita gitu (asetnya)," sambung dia.
Setelah dari kantor pajak Solo tidak membuahkan hasil, akhirnya permasalahan pajaknya dipindah ke KPP Pratama Boyolali.
"2019 dikenakan (pajak) Rp75 juta. 2020 kan saya disuruh membayar Rp200 juta tapi urusan semua selesai. Saya tidak nawar langsung siap. Setelah itu beberapa bulan dipanggil lagi tanda tangan penyelesaian. Akhirnya ditanyakan lagi yang Rp 670 juta, saya nggak sanggup," tandasnya.
Pramono mengaku pernah membayar pajak usaha sekitar Rp24 juta pada 2022 dan mendapat penghargaan dari kantor pajak, karena dinilai taat membayar pajak.
Sebelum rekeningnya diblokir oleh KPP Pratama Boyolali, Pramono mangaku mendapat surat dari kantor pajak pada 10 September 2024 agar datang ke kantor pajak Boyolali untuk membicarakan tagihan pajak Rp 670 juta.
"Saya tidak sanggup diminta membayar Rp110 juta. Keuntungan saya mau diminta Rp110 juta itu. Saya tidak sanggup. Akhirnya, tanggal 4 Oktober rekening Mandiri saya diblokir," terangnya.
Setelah pemblokiran itu, dirinya mendatangi kantor pajak untuk menyerahkan buku rekening dan NPWP.
"Saya mau berhenti dagang susu, kepala saya mumet (pusing)," keluhnya.
Pasrah Usaha Ditutup
Pramono mengaku saat ini dalam keadaan sulit untuk mepertahankan usahanya. Namun ia mengaku siap, karena kondisi tersebut sudah menjadi resiko seorang pengusaha. Untuk menyambung usahanya agar tetap beroperasi ia terpaksa menjual sejumlah sapi perah miliknya.
"Resiko resiko itu sudah disiapkan. Tapi kalau resiko 1, 2, 3 mesti hancur kan ?. Tapi kalau 1, 2 masih jalan lah. Saya sudah jual sapi 6 ekor. Mungkin nanti jual lagi, biar bayarannya tidal mundur, biar usahanya tetap jalan," ujarnya.
Pramono mengaku masih memiliki tabungan lain untuk tetap menjalankan usahanya sebagai pengepul susu perah. Ia tidak ingin 1.300 peternak yang selama ini meyetor perahan susu ikut terdampak.
"Tapi kalau tabungan saya yang diblokir tidak dibuka, ya berhenti lah. Saya menghargai perjuangan Dinas Peternakan. Nggak tahu ini sampai kapan," ungkapnya.
Catatan Redaksi:
Berita ini sudah mengalami perubahan setelah adanya klarifikasi dan penjelasan dari Ditjen Pajak kantor Wilayah Jateng II pada 11 November 2024. Berita klarifikasi dari Ditjen Pajak kantor wilayah Jateng II dapat dilihat di sini.