Disatroni Jurnalis Demo Tolak RUU Penyiaran, Kantor DPRD Provinsi Jambi Kosong Karena Alasan Dinas
Disatroni Jurnalis Demo Tolak RUU Penyiaran, Kantor DPRD Provinsi Jambi Kosong Karena Alasan Dinas
Koalisi penyelamatan pilar demokrasi tolak revisi UU penyiaran dengan massa kurang lebih 100 orang.
Disatroni Jurnalis Demo Tolak RUU Penyiaran, Kantor DPRD Provinsi Jambi Kosong Karena Alasan Dinas
Jurnalis di Jambi merasa kecewa saat unjuk rasa di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD) Jambi. Sebab, tidak satu pun anggota dewan di kantor alasannya lagi dinas di luar.
Koalisi Penyelamatan pilar demokrasi tolak revisi UU penyiaran dengan massa kurang lebih 100 orang. Massa demonstrasi dari AJI Jambi, IJTI, PFI, Rambo House dan mahasiswa di Jambi.
Pantauan merdeka.com, jurnalis dan mahasiswa membentangkan spanduk dan karton dengan tulisan keluhan mereka tentang revisi UU penyiaran. Kemudian, jurnalis di Jambi melemparkan ID card jurnalis untuk diletakkan di bawah bahwa menandakan pembungkaman terhadap jurnalis.
Ketua AJI Jambi Suwandi mewanti-wanti KPI menjadi lembaga powerful yang dapat membatasi kebebasan berekspresi, membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi, hingga dapat melakukan kriminalisasi.
Apalagi, perekrutan komisioner KPI tingkat pusat dan daerah rawan disusupi partai politik dan kelompok ‘jahat’ yang mengabaikan hak publik.
“Sengketa pers yang akan ditangani KPI bertentangan dengan UU Pers dan dapat digunakan penguasa otoritarianisme untuk membungkam kritik. Artinya, semakin banyak jurnalis yang akan dipenjara karena berita,” katanya, pada Senin (27/5).
Menurut dia, RUU Penyiaran seharusnya dirancang dengan partisipasi publik.
Namun, Komisi I DPR malah merancang RUU Penyiaran dengan tidak berpijak pada asas kepentingan publik atau masyarakat umum.
“RUU Penyiaran tidak akan mendapat penolakan dari banyak pihak, apabila prosesnya dilakukan dengan benar yakni memberi ruang partisipasi publik. Tentu jika ingin mengatur karya jurnalistik harus melibatkan organisasi jurnalis dan dewan pers serta aktivis-aktivis yang konsen pada isu HAM, kebebasan ekspresi, perempuan, anak dan kelompok minoritas,”tegasnya.
Tidak hanya para jurnalis, masyarakat umum pun resah dengan draf RUU Penyiaran. Mereka khawatir banyak informasi penting yang tidak bisa dijangkau publik imbas larangan jurnalisme investigasi.
"Padahal, berbagai kasus dan kejahatan terbongkar di tengah masyarakat karena jurnalisme investigasi dan kebebasan pers,"tutupnya.
Hal serupa dikatakan oleh ketua IJTI Adrianus Susandra mengatakan simbol kemunduran kemerdekaan pers karena berusaha membungkam pers melalui RUU Penyiaran. Padahal, karya jurnalistik investigasi merupakan karya tertinggi bagi seorang jurnalis.
Tidak hanya itu, kata Adrianus, masih ada beberapa pasal kontroversial yang mengancam kebebasan pers dan menghalangi tugas jurnalistik.
"Kami memandang pasal yang multi-tafsir dan membingungkan ini menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pers dan mengancam kemerdekaan pers,”ujar dia.
Sementara itu, Ketua PFI Jambi Irma Tambunan mengatakan pada Pasal 50B Ayat 2 Huruf K yang berbunyi “larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik,” berpotensi membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers. Pasal ini juga terkesan rancu sehingga dapat menimbulkan multitafsir.
“Karena itu, kami mendesak agar pasal-pasal ‘nakal’ ini segera dihapuskan. Draf revisi ini juga menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor,”katanya, pada Senin (27/5) di depan Kantor DPRD Provinsi Jambi.
Sejumlah pasal dalam draf itu juga berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers.
Pasal 8 Ayat 1 disebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Menurut dia, Pasal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya yang berkaitan dengan fungsi Dewan Pers.
“Kami khawatir, Komisi I DPR merancang draf ini demi mengutamakan kepentingan pemodal, dengan mengabaikan kepentingan publik. Karena itu, kita harus menolaknya sebelum penyusunan draf dinyatakan tuntas,”
tutupnya.
merdeka.com