Mengurai Pasal Dalam Draf RUU Penyiaran yang Jadi Polemik
Draf RUU Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran menuai beragam polemik.
Mengurai Pasal Dalam Draf RUU Penyiaran yang Jadi Polemik
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran menuai beragam polemik. Beberapa Pasal dikabarkan tumpang tindih hingga membatasi kewenangan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa jurnalistik.
Dokumen draf tertanggal 27 Maret tersebut memuat 14 bab dengan 149 Pasal. Beberapa pasal yang diduga tumpang tindih berpotensi jadi pasal karet dan ancam kebebasan pers di Indonesia.
Seperti yang tertulis dalam Pasal 8a huruf q di draf revisi RUU Penyiaran, yang menyebut bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
Bunyi Pasal 8a huruf q: "menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran".
Sedangkan pada Pasal 15 nomor 2 huruf d dalam UU 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers)
sengketa jurnalistik harusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.
Bunyi Pasal 15 nomor 2 huruf d UU Pers tentang fungsi Dewan Pers:
"Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers".
Pasal kontroversial dalam draf RUU Penyiaran lainnya dengan Pasal 15 nomor 2 huruf d UU Pers adalah Pasal 51 huruf E yang mengatur tentang penyelesaian sengketa jurnalistik.
Dalam pasal tersebut tertulis bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik yang muncul akibat ketetetapan KPI akan diselesaikan lewat pengadilan.
Bunyi Pasal 51 huruf E:
"Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Hal ini diperkirakan seolah berpotensi Dewan Pers tidak lagi punya kewenangan untuk untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik.
Ini juga berpotensi akan menimbulkan adanya dualisme antara Dewan Pers dan KPI terkait penyelesaian sengketa Jurnalistik.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD juga turut layangkan kritikan pada revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang berpotensi melarang dan membatasi produk jurnalistik.
Dia menyebut seharusnya ada sinkronisasi antara UU Penyiaran dan UU Pers, dan UU Pidana agar tercipta kondisi politik dan hukum yang baik. Bukan hanya dibentuk berdasarkan kepentingan saja.
"Kembali, bagaimana political will kita, atau lebih tinggi lagi moral dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara, atau kalau lebih tinggi lagi kalau orang beriman, bagaimana kita beragama, menggunakan agama itu untuk kebaikan, bernegara dan berbangsa"”kata Mahfud, dalam keterangan resmi, Rabu (15/5).
Terpisah, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menepis tudingan bahwa RUU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengecilkan peran pers.
"Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran pers," kata Meutya. Dikutip dari Antara, Jumat (17/5).
Meutya pun menuturkan bahwa draf RUU Penyiaran saat ini masih berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR dan belum dilakukan pembahasan dengan Pemerintah.
"RUU Penyiaran saat ini belum ada, yang beredar saat ini adalah draf yang mungkin muncul dalam beberapa versi dan masih amat dinamis. Sebagai draf tentu penulisannya belum sempurna dan cenderung multi tafsir," ucapnya.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menilai RUU Penyiaran harus mengakomodasi masukan dari semua pihak, utamanya insan pers untuk mencegah timbulnya kontroversi.
"Pembahasan RUU ini perlu mengakomodasi masukan dari berbagai elemen, utamanya insan pers demi mencegah munculnya kontroversi yang tajam," ujar Budi Arie.
Budi Arie juga menegaskan komitmen pemerintah dalam mendukung dan menjamin kebebasan pers, termasuk dalam peliputan investigasi.
"Berbagai produk jurnalistik yang dihadirkan insan pers adalah bukti demokrasi Indonesia semakin maju dan matang," ucap dia.
Reporter magang: Antik Widaya Gita Asmara