RUU Penyiaran: Penayangan Eksklusif Jurnalistik Investigasi Dilarang
Sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran berpotensi menjadi pasal karet
Revisi UU penyiaran menuai polemik
RUU Penyiaran: Penayangan Eksklusif Jurnalistik Investigasi Dilarang
Badan Legislatif (Baleg) DPR RI tengah merevisi Undang-undang penyiaran yang sebelumnya sebagaimana telah disahkan UU no 32 tahun 2002. Sontak revisi yang secara langsung berdampak pada kegiatan jurnalis tersebut menuai banyak kritikan.
Sejumlah pasal yang sedang di bahas di meja perlemen, di antaranya dapat berpotensi menjadi pasal karet. Terlebih secara tidak langsung membatasi kegiatan jurnalis.
Seperti halnya dalam ketentuan pasal 50B yang mengatur tentang pedoman kelayakan isi siaran dan konten siaran.
Pada ayat 2 huruf (c) pasal 50B merinci perihal panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. Salah satunya larangan untuk tayangan investigasi.
“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." bunyi ayat 2 huruf (c).
Nantinya, apabila ditemukan pelanggaran sebagaimana yang dimaksud, pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang akan berwenang untuk menindak. Sehingga bukan lagi melalui Dewan Pers.
Pada ayat 3 kemudian merinci sejumlah sanksi administratif yang bakal dilakukan oleh KPI mulai dari teguran tertulis, pengurangan jam tayang.
Hingga paling berat adalah rekomendasi ke pemerintah untuk mencabut Izin Penyelenggara Penyiaran (IPP).
Lebih lanjut lagi, perubahan yang menuai kontroversial, yakni dugaan sengketa terhadap produk jurnalistik yang nantinya dapat dilangsungkan di meja pengadilan.
"Sengeketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku," tulis dalam pasal 51 point E.