Pelarangan Tayangan Jurnalistik Investigasi Tuai Kritik, Begini Penjelasan DPR
Banyak pihak menilai bahwa pelarangan tayangan jurnalistik investigasi di televisi justru membatasi kebebasan pers
Banyak pihak menilai bahwa pelarangan tayangan jurnalistik investigasi di televisi justru membatasi kebebasan pers
Pelarangan Tayangan Jurnalistik Investigasi Tuai Kritik, Begini Penjelasan DPR
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin menanggapi terkait poin dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru atau versi Maret 2024 Pasal 56 Ayat 2 tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
TB Hasanuddin menegaskan bahwa alasan dicetuskannya pasal tersebut adalah untuk mencegah adanya tayangan jurnalistik investigasi yang dapat menggnaggu penyidikan aparat penegak hukum yang sedang berlangsung, sehingga tayangan investigasi baiknya melalui pemeriksaan dan persetujuan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Alasannya karena kalau investigasi jurnalistik itu misalnya ada yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maka sebaiknya itu sedikit penyeimbang. Lalu, bagaimana materinya ya diatur dalam aturan KPI," tutur TB Hasanuddin saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (14/5).
Selain itu, Hasanuddin juga mengaku sadar akan tumpang tindih yang terjadi antara KPI dan Dewan Pers dalam hal tayangan jurnalistik investigasi.
Ia merasa bahwa hal ini harus diselesaikan dengan diskusi antara KPI dan Dewan Pers terkait koridor apa saja yang dapat memuat aturan tertentu.
"Begini, kita punya banyak pengalaman antara KPI, dengan Dewan Pers. Kalau KPI itu khusus untuk penyiaran, tapi kalau produk jurnalis yang umumnya, tulisan dan lain sebagainya itu ke Dewan Pers. Saya kira ya dikoordinasikan saja arah tugas KPI dengan tugas Dewan Pers," kata Hasanuddin.
Hasanuddin mengatakan bahwa Komisi I DPR saat ini masih dalam proses mendiskusikan lebih lanjut RUU Penyiaran terbaru, beberapa anggota Komisi I juga banyak yang menyatakan kontra terhadap poin-poin yang diusulkan dalam RUU tersebut.
Selanjutnya Komisi I akan berusaha menampung usulan dari berbagai pihak terkait, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang sempat melayangkan kritik terbuka terhadap poin RUU yang membahas pelarangan konten ekslusif jurnalistik investigasi.
Hasanuddin sendiri berpendapat bahwa masyarakat dapat difungsikan juga sebagai kontrol konten-konten jurnalistik yang tersebar di ranah publik, namun ia merasa tetap harus menimbang sisi positif dan negatif dari RUU tersebut secara seimbang.
"Saya sendiri setuju tidak usah ada pembatasan. Biarkanlah masyarakat yang mengontrol, tetapi tentu kami harus mendengar beberapa baik positif dan negatifnya, dari hasil investigasi," kata Hasanuddin.
Sebelumnya, pasal tersebut menerima sederet kritikan saat dirilis ke publik.
Banyak pihak menilai bahwa pelarangan tayangan jurnalistik investigasi di televisi justru membatasi kebebasan pers, seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nani Afrida, pendiri Yayasan Pantau dan Pengajar Jurnalisme Andreas Harsono dan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Ade Wahyudin dalam pernyataan terbukanya ke beberapa media.
(Reporter magang: Alma Dhyan Kinansih)