Duka Warga Pesisir Padang Pariaman, Rumahnya Hancur Dihantam Abrasi Bertahun-Tahun
Tingginya gelombang dan naiknya permukaan laut merusak rumah warga
Tingginya gelombang dan naiknya permukaan laut merusak rumah warga di daerah itu yang sudah terjadi beberapa tahun belakangan.
Duka Warga Pesisir Padang Pariaman, Rumahnya Hancur Dihantam Abrasi Bertahun-Tahun
Matahari beranjak ke arah barat, cuaca cerah sedikit berawan, dan ombak menghempas hingga ke rumah warga di Pasir Baru Nagari Pilubang, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar).
Kawasan tersebut, merupakan satu dari banyak daerah di pesisir pantai Sumbar yang terdampak abrasi akibat perubahan iklim. Tingginya gelombang dan naiknya permukaan laut merusak rumah warga di daerah itu yang sudah terjadi beberapa tahun belakangan.
Ini adalah ancaman nyata dari perubahan iklim yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Setidaknya dua rumah sudah rusak parah di Pasir Baru Nagari Pilubang dan puluhan rumah lainnya terancam rusak akibat abrasi.
"Sumur itu beberapa tahun yang lalu berada di dalam rumah, sekarang posisinya sudah berada di laut," kata Imsarlim (70) menceritakan rumah saudaranya yang terdampak abrasi, Jumat, (5/1/2024).
Imsarlim adalah salah seorang saksi mata dan melihat secara langsung bagaimana abrasi dari tahun ke tahun melanda perkampungan yang sudah ia tinggali sejak lahir itu.
Ia menyampaikan, rumah saudaranya tersebut merupakan rumah permanen yang dahulunya jauh dari pantai, namun karena abrasi yang terus terjadi menyebabkan air laut menghancurkan rumah tersebut hingga saat ini yang tersisa hanya pondasi.
"Rumah itu tidak bisa ditempati pada Mei 2023," ujar Imsarlim yang juga tokoh masyarakat di daerah itu.
Ia bercerita, pada 1990-an rumah masyarakat berjarak sekitar 80-100 meter dari bibir pantai dan banyak dipenuhi tumbuhan.
"Seingat saya abrasi parah mulai terjadi sejak 2002, 2004 dan 2007," tuturnya.
Ia mengatakan, abrasi terus berlanjut, dan 2019 abrasi menggikis jalan beton, 2 rumah permanen rusak berat, hingga pondok penjemur ikan kering sekitar 16 buah habis terbawa arus ombak.
Imsarlim mengatakan, ketika abrasi terjadi, air juga masuk ke dalam rumahnya sekitar 15 cm dan mengganggu perekonomian.
Apabila tidak cepat dilakukan pemasangan batu grip oleh pemerintah, menurutnya, ada sekitar 100 lebih rumah masyarakat yang terancam terkikis oleh abrasi.
Ia mengatakan, sejauh ini masyarakat telah berupaya kepada pemerintah untuk meminta penambahan batu grip, namun hal itu belum membuahkan hasil.
"Upaya pemerintah untuk mitigasi jangka panjang belum ada. Ketika abrasi terjadi pemerintah datang untuk melihat dan memberikan bantuan berupa karung kosong, yang mengisi pasirnya masyarakat," lanjut dia.
"Sebanyak 14 rumah terdampak dengan puluhan rumah terancam," tuturnya, Senin, (8/1/2024).
Ia mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk penambahan batu grip, namun hingga kini belum ada.
Panjangnya batu grip yang ada saat ini baru 50 meter, pihaknya sudah meminta kepada pemerintah untuk dilakukan penambahan batu grip dan perpanjangan yang sudah ada hingga 100 meter.
"Setiap ditanya, hingga kini jawaban pemerintah Kabupaten Padang Pariaman masih mengusahakan hal itu," tuturya.
Puluhan Rumah Terdampak dalam Kurun Waktu 5 Tahun Terakhir
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik (Kabid KL) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar Fajar Sukma mengatakan, secara keseluruhan 7 kabupaten dan kota di wilayah pesisir Sumbar rawan terjadi abrasi.
Ia mengatakan, daerah itu Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kota Padang, Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam, Pasaman Barat dan dan Mentawai.
"Paling sering terjadi di daerah Kota Padang, Pesisir Selatan dan Padang Pariaman," tuturnya Selasa, (9/1/2024).
Fajar mengatakan, khusus di wilayah Pasir Baru Nagari Pilubang, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman dalam lima tahun terakhir terdapat 15 rumah terdampak, 2 pendidikan serta 16 pondok pinggir pantai.
Ia merinci, abrasi yang terjadi di Pasir Baru pada 12 Juni 2019 berdampak pada 2 rumah, 1 pendidikan dan 14 pondok pingir pantai.
Kemudian pada 20 Mei 2020 berdampak pada 1 rumah. Selanjutnya 7 November 2021 berdampak pada 2 rumah. Pada 15 Juni 2022 berdampak pada 6 rumah dengan panjang abrasi kurang lebih 200 meter.
Ia melanjutkan, penanganan abrasi di wilayah pesisir pantai membutuhkan biaya yang besar, dan sejauh ini pemerintah tekendala dengan anggaran.
"Pemasangan batu grip disetiap wilayah pesisir pantai Sumbar sejauh ini terkendala dengan anggaran. Kalau untuk pemasangan batu grip itu kewenangannya di Kementerian PUPR," tuturnya.
Abrasi Ancam Tujuh Kabupaten dan Kota di Sumbar
Kepala Bidang Penataan Ruang Luat dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PRL-PSDKP) Sumatera Barat, Marwan mengatakan, tujuh kabupaten dan kota di wilayah pesisir Sumbar terancam gelombang pasang dan abrasi dengan potensi tingkat resikonya rendah, sedang dan tinggi.
Ia mengatakan, daerah yang memiliki tingkat resiko rendah mencapai luas 74.429,24 ha atau sekitar 5,41% dari total luas wilayah pesisir Sumatera Barat.
Sedangkan pada tingkat resiko tinggi memiliki luasan 41.288,59 ha atau sekitar 3,00% dari dari total luas wilayah pesisir Sumatera Barat.
Ia merinci tujuh kabupaten dan kota yang memiliki tingkat resiko gelombang pasang dan abarasi itu yakni, pertama Kepulauan Mentawai dengan luas tingkat resiko rendah mencapai 50.310,61 ha, sedang 10.413,34 ha, kemudian tinggi 30.598,12 ha.
Selanjutnya Kabupaten Agam tingkat resiko rendah mencapai 2.185,03 ha, sedang 971,49 ha dan tinggi 1.222,42 ha. Kemudian Pasaman Barat tingkat resiko rendah mencapai 5.805,70 ha, sedang 2.412,78 ha dan tinggi 1.755,30 ha.
Selanjutnya, untuk Kota Padang tingkat resiko rendah mencapai 1,54 ha, sedang 4.799,12 ha dan tinggi 334,16 ha. Kemudian Kota Pariman tingkat resiko rendah mencapai 376,31 ha dan sedang 1.167,84 ha.
"Itu data luas daerah terkena gelombang pasang dan abrasi menurut tingkat resikonya di wilayah pesisir Sumbar. Data itu diolah dari Peta Resiko Bencana Provinsi Sumatera Barat, UNDP, BPBD dan PT Waindo Specterra pada 2011," tuturnya Kamis, (11/01/2024).
"Abrasi di Sumbar semakin lama semakin parah namun sewaktu-waktu juga bisa terjadi akresi," sambungnya.
Pemicu Perubahan Iklim dan Mitigasi Abrasi
Kepala Research Center for Climate Change, Universitas Negeri Padang, Dr. Nofi Yendri Sudiar mengatakan, secara garis besar perubahan iklim disebabkan oleh dua faktor, yaitu alami dan antropogenik atau perilaku manusia.
Ia mengatakan, perubahan iklim secara alami adalah hal yang wajar dan hal tersebut telah terjadi sejak dahulu.
Permasalahannya saat ini adalah perubahan iklim yang terjadi begitu cepat karena perilaku manusia yang dimulai sejak era industri bermunculan diseluruh dunia sekitar 1950-an.
Abrasi tidak hanya semata-mata disebabkan karena perubahan iklim, tetapi juga disebabkan oleh alih fungsi lahan seperti adanya perubahan pingir pantai kawasan penyangga menjadi tambak udang.
"Dengan adanya hal itu pengikisan pantai menjadi cepat," tuturnya.
Ia mengatakan, penanganan abrasi jangka panjang bisa dilakukan dengan penanaman hutan mangrove sehingga bisa menahan laju pengikisan pantai.
"Selain dengan penanaman mangrove dan pinus, pencegahan abrasi juga bisa dilakukan dengan pemasangan batu grip. Namun mangrove lebih efektif karena dapat bertahan lama," sebutnya.