Kontroversi Gelar Doktor Bahlil, Alumni UI Duga Ada Praktik Jual Beli di SKSG UI
Dugaan itu semisal mudahnya seseorang meraih gelar doktor hanya dengan waktu studi dua tahun padahal yang bersangkutan memiliki banyak kegiatan.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Deolipa Yumara menduga telah terjadi praktik jual beli gelar Doktor di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI. Dugaan itu dilihat dari sejumlah indikasi. Misalnya dengan mudahnya seseorang meraih gelar doktor hanya dengan waktu studi dua tahun padahal yang bersangkutan memiliki banyak kegiatan.
"SKSG ini salah satu program multidisipliner Pascasarjana UI. UI ini sebenarnya punya beberapa program Pascasarjana, tapi kebanyakan ada di masing-masing fakultas. Tapi untuk yang multidisipliner itu dibikin sendiri produk ini sudah ada sejak tahun 2016 namanya SKSG, nah itu sudah ada itu. Cuma ini kita enggak tahu nih, ini sebenarnya kalau kita bicara di internal UI ini ada kesimpangsiuran atau ada kesenjangan antara program pascasarjana yang dari dalam fakultas dengan mereka. Karena mereka ini kesannya lebih eksklusif," kata Deolipa ditemui di UI, Jumat (15/11).
Menurut dia, sejak berdirinya SKSG UI ini peminatnya cukup tinggi. Lebih banyak pendaftar yang memilih mengambil program pascasarjana di SKSG UI.
“Artinya siapapun yang jadi praktisi, kemudian siapapun yang menjadi pejabat boleh kemudian masuk ke sana untuk mengejar gelar doktor. Jadi ini yang berjalan sekarang kemudian ada dampak ini ketika Pak Bahlil ini kemudian ketika proses dia punya acara untuk menjadi gelar doktor kemudian ditangguhkan oleh ui ya, oleh MWA ya namanya ya, nah ini jadi satu persoalan tersendiri,” ujar dia.
Namun beberapa hari lalu, Deolipa mengatakan, MWA UI mengirimkan surat ke Rektor UI meminta dilakukan moratorium di SKSG UI. Selain itu, MWA juga meminta agar gelar doktor Bahlil ditangguhkan.
“Nah ketika sudah ada penangguhan berarti kan sudah ada tanda-tanda bahwasanya ini enggak benar jalannya begitu, kami bisa melihatnya ini enggak benar. Jadi Bahlil dia ini kan kemudian ditangguhkan program kelulusan doktor nya oleh UI ya. Ini terkait dengan kegiatan pendidikan di SKSG. Cuman ini kita enggak tahu nih, ini sebenarnya kalau kita bicara di internal UI ini ada kesimpang siuran atau ada kesenjangan antara program pascasarjana yang dari dalam fakultas dengan mereka. Karena mereka ini kesannya lebih eksklusif,” tegas Deolipa.
Deolipa sudah berdiskusi dengan teman-teman di internal UI mengenai hal ini. Mereka mengatakan yang terjadi di SKSG UI saat ini sudah tidak benar. Para alumni pun meminta agar para pihak bertanggungjawab. Mulai dari Dekan FIA UI Prof. Chandra Wijaya selaku Promotor serta Teguh Dartanto dan Athor Subroto selaku Kopromotor dan Direktur SKSG UI.
“Jadi kita minta sekarang dekan FEB ini dan dekan FIA ini mundur dari jabatannya, karena ini sama halnya mempermalukan kredibilitas UI,” kata dia.
Dia menduga telah terjadi praktik jual gelar doktor di SKSG UI. Bahlil memang terdaftar sebagai mahasiswa program Doktoral di SKSG UI, namun masa studinya dianggap singkat hanya dalam dua tahun. Padahal banyak mahasiswa lain yang sangat susah payah untuk menempuh pendidikan Doktor dalam waktu lebih dari dua tahun.
“Praktik jual beli gelar doktor ini kitas masih duga ini, kan mereka tetap kuliah ya, tapi kan kuliahnya tidak tampak gitu kan, nah praktek jual beli gelar ini dibungkus mungkin dengan yang namanya proses akademisi gitu. Jadi ini ada ini pasti dugaan kami, makanya ini udah benar kampus UI para dewan di UI ini kemudian menghilangkan ini sementara kemudian meminta maaf kepada masyarakat karena sudah ada penyimpangan, ini sudah ada penyimpangan ini,” pungkasnya.
Gelar Bahlil Ditangguhkan
Sebelumnya, Universitas Indonesia menangguhkan kelulusan Program Doktor (S3) Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia. Keputusan ini diambil usai adanya evaluasi mendalam terhadap tata kelola penyelenggaraan Program Doktor (S3) di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG).
“Mengingat langkah-langkah yang telah diambil oleh UI, kelulusan BL (Bahlil Lahadalia) mahasiswa Program Doktor (S3) SKSG ditangguhkan, mengikuti Peraturan Rektor Nomor 26 Tahun 2022, selanjutnya akan mengikuti keputusan sidang etik,” kata Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI KH Yahya Cholil Staquf dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/11).
Keputusan ini diambil pada Rapat Koordinasi empat Organ UI, yang merupakan wujud tanggung jawab dan komitmen untuk terus meningkatkan tata kelola akademik yang lebih baik, transparan, dan berlandaskan keadilan.
“UI terus berupaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan untuk menjadi institusi pendidikan yang terpercaya berlandaskan 9 Nilai Universitas Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, Yahya menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat atas polemik gelar Doktor yang diberikan kepada Bahlil. UI mengakui, permasalahan ini, antara lain bersumber dari kekurangan UI dan tengah mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya baik dari segi akademik maupun etika.
“UI telah melakukan evaluasi mendalam terhadap tata kelola penyelenggaraan Program Doktor (S3) di SKSG sebagai komitmen untuk menjaga kualitas dan integritas akademik,” terangnya.
Tim Investigasi Pengawasan Pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari unsur Senat Akademik dan Dewan Guru Besar telah melakukan audit investigatif terhadap penyelenggaraan Program Doktor (S3) di SKSG yang mencakup pemenuhan persyaratan penerimaan mahasiswa, proses pembimbingan, publikasi, syarat kelulusan, dan pelaksanaan ujian.
“Berdasarkan hal tersebut, maka UI memutuskan untuk menunda sementara (moratorium) penerimaan mahasiswa baru di Program Doktor (S3) SKSG hingga audit yang komprehensif terhadap tata kelola dan proses akademik di program tersebut selesai dilaksanakan,” jelas Yahya.
Respons Bahlil Lahadalia
Bahlil mengaku belum mengetahui soal penangguhan gelar doktornya tersebut. Meski begitu, menurutnya gelar tersebut bukanlah ditangguhkan.
"Saya belum tahu isinya, ya. Tapi yang jelas bahwa rekomendasinya mungkin sudah dapat. Saya sudah dapat. Di situ yang saya pahami bukan ditangguhkan," kata Bahlil kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/11).