Komisi IX DPR Minta Undip dan RS Kariadi Cegah Perundungan Dokter PPDS
Menurut Irma, lulusan PPDS yang menjadi pelaku perundungan akan memunculkan pola pragmatis yang berdampak terhadap pasien.
Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani meminta Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang mencegah perundungan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Dia menegaskan, Undip dan RS Kariadi harus mampu melahirkan lulusan PPDS yang bukan menjadi perundung
"Undip dan Kariadi harus bisa melahirkan PPDS yang sesuai kapasitas," kata Irma, Jumat (13/9).
Menurut dia, lulusan PPDS yang menjadi pelaku perundungan akan memunculkan pola pragmatis yang berdampak terhadap pasien. Dia menekankan, penanganan kasus dugaan perundungan ini juga harus menjadi pelajaran bagi rumah sakit lainnya.
"RS Kariadi harus menjadi panutan dalam upaya penindakan perundungan," katanya.
Peristiwa dugaan perundungan terhadap mahasiswi PPDS Anastesi Undip Semarang, lanjut dia, menjadi titik awal untuk mengubah tata kelola, perekrutan, pengaturan jam kerja di program dokter spesialis itu di RS Kariadi.
"Akan diperbaiki semua. Ada jam belajar, ada jam praktik, tetapi juga harus ada jam istirahat, karena bisa bikin stres," katanya.
Sementara Direktur Layanan Operasional RS Kariadi Semarang Mahabara Yang Putra mengatakan, hingga saat ini PPDS Anastesi FK Undip Semarang di RS tersebut masih dihentikan sementara.
"Penghentian sementara PPDS Anastesi ini tidak berdampak terhadap operasional rumah sakit," katanya.
Meski dihentikan sementara di RS Kariadi, kata dia, pembelajaran di luar rumah sakit ini masih tetap berjalan. Saat ini, lanjut dia, dugaan perundungan di PPDS Anastesi Undip masih dalam penanganan oleh kepolisian.
"Oknum yang melakukan perundungan terhadap juniornya ini yang sedang dicari," katanya.
Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) Yan Wisnu Prajoko mengakui adanya perundungan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang. Perundungan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk.
“Kami memohon maaf kepada masyarakat, Kementerian Kesehatan, Kemendikbudristek dan kepada Komisi IX, Komisi X DPR RI, di mana masih ada kekurangan kami di dalam menjalankan proses pendidikan Dokter Spesialis,” kata Yan Wisnu Prajoko, Jumat (13/9).
Dia mengatakan, FK Undip membuka diri kepada pihak-pihak yang ingin mengawasi dan memberikan masukan agar proses pendidikan dokter spesialis lebih bermanfaat.
"Kami memohon arahan seluruh pihak dan komponen masyarakat untuk kami ke depan dapat menjalankan pendidikan dokter spesialis yang bermartabat, melindungi akademik kami, dan bermanfaat untuk bangsa dan negara,” ucapnya.
Yan Wisnu Prajoko kemudian memohon kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mencabut penangguhan Program Studi Anastesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang. Penghentian sementara Program Studi Anastesi Undip buntut kematian mahasiswi PPDS dr Aulia Risma Lestari.
“Kami juga memohon kepada Pemerintah untuk dapat terus melanjutkan pendidikan PPDS anestesi agar kami dapat memberikan sumbangsih kepada negara," ujar dia.
Kemenkes melalui Dirjen Pelayanan Kesehatan mengeluarkan surat Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Penghentian Sementara Program Studi Anastesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang. Surat ini dikeluarkan Dirjen Yankes Kemenkes dua hari setelah Aulia Risma ditemukan tewas.
Dokter Aulia Diduga Bunuh Diri karena Dibully Senior
Dokter Aulia Risma Lestari (ARL) yang merupakan mahasiswi PPDS Undip di RS Dr. Kariadi Semarang diduga bunuh diri karena dibully senior pada Agustus 2024. Kasus kematian ini masih ditangani Polda Jawa Tengah.
Kemenkes mengungkapkan temuan sementara dalam proses investigasi kematian dr Aulia. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, pihaknya menemukan adanya dugaan permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam program PPDS kepada dr Aulia.
"Permintaan uang ini berkisar antara Rp20-Rp40 juta per bulan," kata Nadia kepada merdeka.com, Minggu (1/9).
Berdasarkan keterangan saksi, permintaan ini berlangsung sejak dr Aulia masih di semester pertama pendidikan atau sekitar Juli hingga November 2022. Saat itu, lanjut Nadia, dr Aulia ditunjuk sebagai bendahara angkatan yang bertugas menerima pungutan dari teman seangkatannya.
Korban juga bertugas menyalurkan uang tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan non-akademik antara lain membiayai penulis lepas membuat naskah akademik senior, menggaji office boy, dan berbagai kebutuhan senior lainnya.
"Pungutan ini sangat memberatkan almarhumah dan keluarga. Faktor ini diduga menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan-pungutan tersebut dengan nilai sebesar itu," jelas Nadia.
Nadia menyebut, bukti dan kesaksian akan adanya permintaan uang di luar biaya pendidikan ini sudah diserahkan ke pihak kepolisian untuk dapat diproses lebih lanjut.
"Investigasi terkait dugaan bullying saat ini masih berproses oleh Kemenkes bersama pihak kepolisian," kata Nadia.