IDI Soroti Sikap Menkes Terkait Kematian Dokter Aulia Risma
Aulia Risma ditemukan tewas di kamar kosnya pada Agustus lalu.
Kasus kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anastesi Universitas Diponegoro (Undip) di RS Kariadi Semarang, dr Aulia Risma Lestari memasuki babak baru. Kini, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dilaporkan ke Bareskrim Polri atas tuduhan penyebaran berita bohong.
Aulia Risma ditemukan tewas di kamar kosnya pada Agustus lalu. Kementerian Kesehatan menduga, dia bunuh diri karena dibully senior. Hasil investigasi sementara Kemenkes, Aulia Risma sempat depresi karena diminta senior menyetorkan uang Rp20 hingga Rp40 juta setiap bulan.
Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sekaligus Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur-Tengah (PDITT), dr Iqbal Mochtar menilai, Budi Gunadi Sadikin terlalu buru-buru menyimpulkan adanya perundungan di balik kematian Aulia Risma.
Dia mengungkit surat Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Penghentian Sementara Program Studi Anastesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang. Surat ini dikeluarkan Dirjen Yankes Kemenkes dua hari setelah Aulia Risma ditemukan tewas.
“Bayangkan, hanya dalam waktu kurang dari 48 jam, Menkes langsung memvonis kematian dokter tersebut karena bunuh diri dan langsung menghentikan program pendidikan,” kata Iqbal Mochtar melalui keterangan tertulis, Jumat (13/9).
Iqbal Mochtar menyayangkan sikap Budi Gunadi Sadikin yang menyatakan maraknya perundungan di PPDS, pemalakan, hingga pelecehan seksual. Menurutnya, deretan masalah yang disampaikan mantan Wakil Menteri BUMN itu hanya berdasarkan anasir dan prejudice tanpa bukti dan investigasi yang sah.
“Tindakan Menkes yang tergesa-gesa dan super-reaktif tanpa menunggu hasil penyelidikan resmi ini, sangat jelas sangat berpotensi melanggar beberapa prinsip dan etika,” ucapnya.
Pelanggaran pertama, Prinsip Hukum Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence). Iqbal Mochtar heran bagaimana Budi Gunadi Sadikin langsung menyimpulkan ada perundungan di balik kematian Aulia Risma tanpa menunggu hasil penyelidikan kepolisian bahkan autopsi.
“Biasanya kasus bunuh diri, apalagi yang sifatnya tidak jelas, membutuhkan penyelidikan mendalam, termasuk kemungkinan melakukan autopsi. Dan itu adalah ranahnya kepolisian, bukan ranah Kementerian Kesehatan. Kemenkes itu ranahnya memperbaiki profil kesehatan masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Kedua, Prinsip Etika Pemerintahan yang Baik (Good Governance). Seorang menteri, kata Iqbal Mochtar, harus bertindak bijaksana dan berbasis fakta, bukan spekulasi. Membuat pernyataan yang tidak didasarkan hasil investigasi resmi melanggar prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kehati-hatian yang merupakan elemen penting dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Dalam etika pemerintahan yang baik, menurut Iqbal Mochtar, setiap pejabat perlu melakukan proper channel of communication. Bila ada isu, proper channel-nya bukan langsung mengumbar ke media sosial dan media massa.
“Mestinya dia melakukan koordinasi dengan pihak terkait, termasuk Dekan FK Undip, Rektor, Pemda dan Kepolisian sebelum bernarasi. Bukan langsung bicara di media sosial dan media massa tanpa bukti. Itu namanya penghakiman sepihak,” sambung dia.
Pelanggaran ketiga, privasi dan martabat keluarga korban. Iqbal Mochtar membayangkan perasaan keluarga Aulia Risma usai beredar pernyataan Kemenkes soal bunuh diri. Narasi negatif itu dinilai melukai perasaan keluarga korban.
Iqbal Mochtar menyinggung momen syok ayah Aulia Risma, Fakhruri. Tak berselang lama, Fakhruri meninggal dunia di RSCM Jakarta. Iqbal Mochtar menduga, Fakhruri mengalami stres karena vonis bunuh diri terhadap anaknya.
Keempat, penyebaran informasi yang belum terverifikasi. Iqbal Mochtar mengingatkan, menyebarkan informasi yang belum terverifikasi dapat dianggap sebagai bentuk penyebaran informasi yang salah atau hoaks. Penyebaran hoaks mestinya memiliki implikasi hukum.
“Mestinya yang menyebutkan informasi penyebab kematian adalah polisi, dan itupun setelah menjalani penyelidikan mendalam, adil dan transparan. Bahkan pun setelah polisi menyatakan ada yang menjadi tersangka, hal itu mesti dibuktikan lagi pada pengadilan. Hakim yang akan membuktikan benar tidaknya seseorang,” kata Iqbal Mochtar.
Lima, memicu kepanikan dan spekulasi publik. Menurut Iqbal Mochtar, tindakan Budi Gunadi Sadikin dalam kasus Aulia Risma memicu kepanikan, spekulasi, atau kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama di sektor kesehatan, tanpa landasan yang cukup. Sikap Budi Gunadi Sadikin dianggap dapat memperburuk situasi dan menambah tekanan bagi lingkungan kerja para dokter dan PPDS.
“Saat ini, dokter dan PPDS sudah dihakimi secara sepihak. Orang ramai-ramai mencela profesi dokter karena dianggap profesi bertangan kotor. Orang ramai-ramai menyalahkan PPDS karena dianggap sarang perundungan. Akibatnya, orang tidak mau lagi menyekolahkan anaknya pada PPDS Indonesia. Akibat lainnya, profesi dokter akan semakin dilecehkan,” ucapnya.
Iqbal Mochtar mengatakan, jangan heran jika ke depannya akan makin banyak dokter yang disakiti, dicederai atau bahkan dilukai. Salah satu penyebabnya adalah karena bad image.
Menkes Dorong Penyelidikan Kasus Aulia Risma
Sebelumnya, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan serius mendorong penyelidikan kasus dugaan perundungan dr Aulia Risma yang berujung bunuh diri.
"Bagaimana kasus 'bulliying' itu nanti berkaitan isu hukum, saya serius, saya benar-benar yang ini saya akan dorong ke ranah hukum biar ada hukuman maksimal bagi yang melakukannya biar ada efek jeranya," kata Budi Gunadi.
Tanpa ada proses hukum terhadap kasus semacam itu, menurut Budi, sistem dalam PPDS akan sulit diperbailki.
"Kalau tidak, ya pejabat petingginya saja enggak mau menerima gitu, ya bagaimana ini bisa diperbaiki sistemnya," kata dia.
Budi mengaku mengantongi banyak informasi setelah bertemu langsung dengan keluarga mendiang Aulia Risma Lestari.
"Bukan hanya 'diary'-nya, tapi 'chat' dengan bapaknya, 'chat' dengan ibunya, 'chat' dengan adiknya, 'chat' tantenya, semuanya sudah saya. Jadi, kalau saya pribadi, saya sudah tahu lah apa yang terjadi. Saya sudah sangat tahu apa yang terjadi," ucap Budi.
Menurut Budi, hasil investigasi internal dari Kemenkes terkait kasus itu telah diserahkan ke kepolisian. Tim investigasi Kemenkes telah mendapatkan sejumlah dokumen yang berhubungan dengan kasus itu mulai dari riwayat percakapan WhatsApp, catatan, hingga rekaman.
"Itu kan para PPDS itu dipanggil juga kan, kemudian diarahkan atau bahasanya diintimidasi kan, harus begini, harus begini, harus begini, dapat juga kita rekamannya. Itu sudah ada semua. sudah gamblang," ujar dia.