KPAI Ungkap Faktor Kunci Tekan Kasus Kekerasan pada Anak
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menyebutkan regulasi yang berkaitan dengan perlindungan anak sebetulnya sudah cukup komprehensif.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menyebutkan regulasi yang berkaitan dengan perlindungan anak sebetulnya sudah cukup komprehensif.
KPAI Ungkap Faktor Kunci Tekan Kasus Kekerasan pada Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, kunci untuk menekan kasus kekerasan terhadap anak yang masih marak terjadi di Indonesia adalah dengan pembenahan kesenjangan atau gap antara regulasi dengan penerapannya di lapangan.
Hal tersebut perlu dibenahi sehingga regulasi yang sudah komprehensif serta penerapan penanganan di lapangan dapat terintegrasi.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menyebutkan bahwa sejumlah regulasi yang berkaitan dengan perlindungan anak sebetulnya sudah cukup komprehensif. Hal tersebut bisa untuk menciptakan ekosistem yang kondusif menekan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak. Menurutnya, setidaknya dalam lima tahun terakhir, pemerintah menerbitkan sejumlah aturan, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak.
"Namun KPAI melihat ada gap, mulai upaya dalam regulasi dan aksesibilitasnya ini. Seperti lebih menguatkan sentra-sentra rehabilitasi. Mau tidak mau negara harus hadir," kata Ali Maryati dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (16/11).
Data KPAI menunjukkan bahwa pengaduan kasus perlindungan anak sepanjang Januari hingga September 2023 mencapai 1.800 kasus, terkait Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA).
Adapun sepanjang 2022, pihaknya mencatat sebanyak 2.133 kasus kekerasan terhadap anak, dengan kategori tertinggi berkaitan dengan kejahatan seksual, termasuk kekerasan fisik juga psikologis, serta kasus pornografi dan kejahatan siber.
"Bentuknya eskalatif, artinya tingkatannya dari yang ringan, sedang, hingga pada situasi yang kita tidak pernah terpikir. Angka tertinggi kekerasan seksual. Lalu fisik juga luar biasa tingginya. Memang ada penurunan, terutama pada 2019 sebelum Covid. Setelah Covid, era digital, kembali naik," bebernya.
Menurut Ai, beberapa penyebab anak menjadi korban kekerasan baik fisik dan atau psikis, salah satunya pengaruh negatif perkembangan teknologi dan informasi, permitivitas lingkungan sosial budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan, tingginya angka pengangguran, serta kondisi lingkungan yang tidak ramah anak.
"Dengan angka yang masih tinggi ini, perhatian kita semua, khususnya pemerintah, memang harus lebih ditingkatkan kembali. Termasuk ke daerah-daerah luar yang tidak memiliki akses terdekat ke pengaduan maupun rehabilitasi," tuturnya.
"Regulasi yang sudah ada, bahkan regulasi ini sudah komprehensif harus juga masuk dalam operasionalisasi yang aksesibilitasnya mudah, murah dan terjangkau," tambahnya.
KPAI sendiri sudah melakukan langkah kolaborasi perlindungan anak untuk menekan angka kekerasan. Terutama menekankan isu berkelanjutan pada level keluarga, komunitas, dan masyarakat. Pihaknya menganalisis rendahnya kualitas pengasuhan, hambatan dokumen kependudukan anak, hingga kurangnya pemahaman guru dan orang dewasa lain mengenai hak-hak anak.
Oleh karena itu, perlunya pengawasan dari masyarakat untuk mendeteksi pengasuhan tidak layak, maupun kekerasan terhadap anak. Diperlukan juga peningkatan kapasitas masyarakat dalam mendeteksi dini dan pemberian layanan perlindungan anak, dengan memaksimalkan kelompok yang sudah ada, serta pelibatan tokoh masyarakat dan keagamaan.