KPAI Soroti Kesehatan Mental Anak: 1 Konselor buat 150 Peserta Didik Enggak Manusiawi
KPAI Soroti Kesehatan Mental Anak: 1 Konselor buat 150 Peserta Didik Enggak Manusiawi
Kesehatan mental anak termasuk masalah serius
KPAI Soroti Kesehatan Mental Anak: 1 Konselor buat 150 Peserta Didik Enggak Manusiawi
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar Rapat Koordinasi Nasional Perlindungan Khusus Anak dengan tagline Menuju Indonesia Emas Bebas Kekerasan terhadap Anak di Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat, hari ini Rabu (29/11).
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan bahwa pihaknya menyoroti serius isu-isu kesehatan mental pada anak, serta menekankan perlunya peningkatan kapasitas bimbingan konseling (BK) sebagai tindak preventif.
"Yang pasti, KPAI menaruh perhatian serius. Terutama tahun 2024 soal kesehatan jiwa ya, kesehatan mental. Lalu, penyempurnaan atau peningkatan kapasitas BK di sekolah, karena kalau preventif itu ada di situ, kita taruh perhatian," jelas Ai kepada wartawan dalam agenda Rakornas KPAI Klaster Perlindungan Khusus Anak di Hotel Lumire, Jakarta Pusat, Rabu (29/11).
Lebih lanjut, Ai menyebut Peraturan Menteri (PerMen) tentang bimbingan konseling pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang menyebut 1 tenaga konselor untuk 150 peserta didik, tidaklah manusiawi.
"Ada PerMen-nya 1 BK (mengawasi) 150 anak, menurut saya nggak manusiawi," tegasnya.
Sebagai informasi, kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permendikbud RI) Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Adapun, hingga saat ini masih terdapat stigma negatif bahwa bimbingan konseling terkesan ‘horor’ atau menyeramkan.
"(Citra BK menyeramkan) Udah cap ya. Tapi 1 hal sih, walaupun begitu, setidaknya sekolah kan punya peta dengan BK itu, ‘Oh iya, anak kelas 10 yang unik-unik, itu ternyata ini’ kan datanya tuh udah ada di BK sebenarnya. Mungkin di satu sisi ada agak sisi horor tadi, stigma," ujarn Ai.
Kendati demikian, Ai menyampaikan bahwa meskipun terdapat stigma negatif terkait bimbingan konseling, peran BK tetap krusial dalam memahami peserta didik.
Lebih lanjut, Ai menggarisbawahi pada kurang optimalnya pemetaan yang memunculkan stigma tanpa penyelesaian yang memadai
"Di sisi lain, itulah peta. Peta kerawanan bahwa anak-anak yang istimewa lah, boleh lah dibilang juvenil, apa nakal dan lain. Petanya bahwa ada anak-anak yang situasinya khusus ada di BK. Nah, ini yang tidak terurai, yang terjadi hanya stigma, bukan pada penyelesaian," kata dia memungkasi.