Ketua DPR: Korban Kekerasan Seksual Tidak Perlu Takut Speak Up
Kasus kekerasan seksual di Indonesia hingga saat ini masih marak di lingkungan masyarakat maupun lingkungan pendidikan
Kasus kekerasan seksual di Indonesia hingga saat ini masih marak di lingkungan masyarakat maupun lingkungan pendidikan. Ketua DPR RI Puan Maharani mengimbau semua orang agar berani ‘speak up’, sebab Indonesia telah memiliki banyak regulasi hukum yang melindungi masyarakat dari tindak kekerasan seksual.
Melalui regulasi hukum tersebut, Ia menegaskan, akan dipastikan korban mendapat perlindungan secara komprehensif serta memastikan laporan kasus kekerasan seksual harus ditindaklanjuti.
"Maka korban kekerasan seksual tidak perlu takut untuk speak up. Apalagi saat ini sudah banyak lembaga yang siap memberi pendampingan bagi korban. Masyarakat juga ikut berperan dalam mengawal kasus-kasus kekerasan seksual," tegas Puan, beberapa waktu lalu.
Seperti pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang merupakan inisiatif DPR. Selain itu, di kaitannya dengan lingkungan kampus, Kemdikbud Ristek juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Untuk itu, seperti kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, Puan pun mendorong pihak kampus untuk tidak segan bertindak tegas terhadap kasus kekerasan seksual.
"UU TPKS juga menjamin perlindungan terhadap para korban. Karena rata-rata kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berkaitan dengan relasi kuasa. Ini yang harus kita putus dengan tindakan tegas," ungkap mantan Menko PMK itu.
Puan pun menyebut relasi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa, atasan kepada bawahan dalam konteks akademik yang hierarkis berpotensi penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karenanya, ia menegaskan pentingnya kesetaraan gender untuk menjadi prioritas dalam setiap kebijakan, termasuk dalam lingkungan pendidikan.
"Perempuan tidak boleh lagi menjadi korban dari sistem yang tidak melindungi mereka," sebut Puan.
Mahasiswa pun sering kali terjebak dan takut akan konsekuensi akademis atau sanksi sosial jika melaporkan kekerasan yang mereka alami. Serta diperburuk oleh stigma dan stereotip yang masih melekat di masyarakat, di mana perempuan yang berani mengungkap pelecehan seksual justru sering kali disalahkan atau diragukan kesaksiannya.
Sistem penanganan kasus kekerasan seksual, menurut Puan, harus diperbaiki agar lebih inklusif dengan melibatkan partisipasi mahasiswa, dosen, serta aktivis hak asasi perempuan. "Kebijakan ini harus menjamin akses korban terhadap keadilan, tanpa adanya ancaman atau stigma tambahan," ujarnya.
Sebelumnya, Puan pun telah menekankan pentingnya kerja sama seluruh stakeholder menjadi salah satu kunci penyelesaian isu sensitif ini. Ia mengajak semua pihak juga memperhatikan peningkatan pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual.
"Masyarakat yang aman dan adil harus diwujudkan dengan memastikan bahwa setiap warga negara, terutama mereka yang telah mengalami kekerasan seksual perlu merasakan keadilan dan dukungan yang tak terhingga dari negara. Khususnya melalui kebijakan-kebijakan pemerintah," paparnya.