Catatan Ketua DPR pada Kasus Kekerasan Seksual di Kampus Harus Jadi Peringatan
Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti masih banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masih diabaikan pihak kampus
Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti masih banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masih diabaikan pihak kampus. Peringatan Puan ini dinilai harus jadi catatan pihak kampus mengingat pengabaian kasus tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak.
"Saya setuju dengan Ketua DPR RI, Ibu Puan Maharani, bahwa kekerasan seksual di manapun tempatnya, termasuk di kampus, membutuhkan perhatian kita semua. Ini adalah masalah serius yang harus segera diatasi dan menjadi peringatan bagi perguruan tinggi," ujar Aktivis Perempuan dari Sarinah Institute, Luky Sandra Amalia, Selasa (17/9/2024).
Amalia mengkritisi penanganan kasus kerap kali lamban padahal Indonesia memiliki banyak regulasi hukum untuk menindak pelaku. Seperti UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang merupakan inisiatif DPR.
"Meskipun kita sudah punya UU TPKS sebagai payung hukum untuk kasus-kasus kekerasan seksual, ternyata masih ada banyak PR yang harus diselesaikan untuk membuat payung hukum tersebut bisa berjalan efektif," ungkap Amalia.
Menurutnya, catatan Puan dapat digarisbawahi terkait relasi kuasa pada kasus-kasus kekerasan seksual di kampus yang dinilai sangat relevan. "Apa yang disampaikan Ibu Ketua DPR menjadi dukungan bagi para korban kekerasan seksual, dalam hal ini mayoritas adalah mahasiswi yang kerap kali tidak berani berbicara atau takut mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya," tuturnya.
Amalia menambahkan, concern Puan Maharani bisa menciptakan zero tolerant terhadap kekerasan seksual. DPR bisa mendorong kementerian/lembaga sebagai mitra kerjanya untuk meningkatkan program atau perlindungan yang pro terhadap perempuan di kampus.
"Misalnya, DPR bisa menyampaikan kepada eksekutif sebagai mitra kerjanya untuk menambah CCTV di kampus. Di samping untuk meminimalisir kejadian kekerasan seksual, hal ini juga untuk memudahkan korban dalam mengumpulkan bukti untuk memperkuat laporannya kepada aparat hukum," terang Amalia.
Amalia yang juga merupakan peneliti BRIN ini juga berharap DPR mendorong pihak berwajib untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual secara profesional.
"DPR juga perlu mendorong pihak kampus untuk membentuk satgas yang independent yang menyediakan safe space bagi korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya tanpa takut diintervensi maupun justru dituduh sebagai victim blaming," tambahnya.
Amalia pun sepakat dengan imbauan Puan yang mengingatkan agar perguruan tinggi memainkan perannya yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan, serta penjaga moral dan etika setiap individu, terutama melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan.