Laode M Syarif Duga Ada Konflik Kepentingan dalam Anggaran Penanganan Covid-19
Merdeka.com - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif melihat adanya konflik kepentingan dalam penentuan anggaran penanganan Covid-19. Dalam sebuah diskusi virtual, dia mengungkapkan dugaan itu terlihat dari kenaikan anggaran penanganan Covid-19 dari Rp695,2 triliun menjadi Rp1.500 triliun.
Ditambah, kata dia, penetapan anggaran besar itu diambil tanpa persetujuan DPR. Dia melihat peruntukan alokasi anggaran pun belum terbuka dan kurang jelas karena disusun dalam kondisi darurat.
"Kalau kita lihat dari Rp600 triliun lebih, sekarang itu menjadi lebih dari Rp1.500 triliun dan itu hanya eksekutif yang bekerja. Jadi tanpa persetujuan DPR," kata Laode dalam diskusi virtual dengan tema 'Menyoal Konflik Kepentingan: Masalah Integeritas dan Etika Pejabat Publik', Minggu (15/8).
-
Bagaimana anggaran tambahan KKP akan digunakan? Rinciannya, Rp200 miliar untuk penambahan biaya operasional kapal pengawas selama 60 hari sehingga total hari layar menjadi 100 hari yang dikelola Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan (DJPSDKP).
-
Mengapa KKP mengajukan anggaran tambahan? Jika disetujui, anggaran KKP pada tahun depan mencapai Rp 7,62 triliun, meningkat dari anggaran sebelumnya sebesar Rp 6,9 triliun.
-
Kenapa DPR setuju tambah anggaran Kemensos? Dukungan wakil rakyat tidak lepas dari berbagai upaya nyata pengentasan kemiskinan dan masalah sosial lainnya melalui program unggulan dan respon cepat.
-
Apa yang diputuskan terkait kehadiran anggota DPR? “Karena memang setelah pemerintah mengumumkan masa pandemi berakhir, jadi di sekitar kantor DPR ini sekarang semua ya kehadiran itu adalah kehadiran fisik,“ ujar dia.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Dimana program KKP dengan anggaran tambahan akan dijalankan? Anggaran ini digunakan untuk operasionalisasi PIT dan PNBP pasca produksi di 100 lokasi, pengembangan Kalaju di 65 lokasi, serta bakti nelayan di 30 lokasi.
"Jadi impunitasnya tinggi. Ini dulu awalnya ini ketika waktu itu ketika ini awal-awal Rp650 triliun sekarang Rp 1.500-an triliun, datanya tidak komplit, peruntukannya kurang jelas dan seterusnya," sambungnya.
Kemudian, dalam Pasal 27 UU nomer 2 tahun 2020, biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendukung program-program Covid-19 tidak bisa dianggap sebagai state loss atau kerugian negara.
"Bahkan pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan itu tidak bisa dituntut secara perdata, secara pidana bahkan tidak bisa ditentang di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jadi impunitasnya tinggi, coba baca Pasal 27 UU nomer 2 tahun 2020 ya," ujarnya.
Dalam paparan Laode, disebutkan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) menilai tentang emergency respons terkait dengan penanganan Covid-19. Anggaran negara yang banyak dipindahkan untuk penanganan Covid-19 akan rawan disalahgunakan karena ditetapkan terburu-buru, dengan alasan keadaan darurat.
"Saya diundang oleh OECD untuk pada awal-awal Covid di Indonesia. Mereka menilai tentang emergency respons dari masing-masing pemerintah, bukan cuma Indonesia. Tapi Uni Eropa dan lain-lain, mereka melihat, mencium adanya ini emergency respons ini akan berakibat kurang baik, karena terburu-buru dan kalau terburu-buru biasanya juga banyak disalahgunakan," jelasnya.
Dia menyebut ada kepentingan berbeda dari para pejabat publik. Ada yang secara terang-terangan dan ada pula yang terselubung.
"Yang ada terselubung misalnya, vaksin berbayar. Sudah kita mengimpor vaksin dengan uang negara, dengan hasil pajak kita, terus ada tiba-tiba mau dibuka swab untuk berbayar. Siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari yang dibayar itu, apakah itu berbeda dengan vaksin yang dibeli oleh negara yang dengan uang sebelumnya, seperti itu," ucapnya.
"Jadi, kalau ini mungkin agak terselubung. Kalau yang politukus PAN itu terbuka, yang terselubung-terselubung ini biasanya agak sulit," tambahnya.
Tak hanya itu, Laode menduga adanya State Captured Corruption yang mana satu pemerintahan memfasilitasi perusakan atau penyelewengan uang negara dengan kebijakan atau regulasi.
"sehingga seakan-akan dibuat menjadi legal. Akhirnya enggak bisa ditangkap karena perbuatan melawan hukumnya tidak ada," ungkapnya.
"Ya salah satunya membiarkan kejahatan di depan mata, yang berikutnya mendapatkan keuntungan pribadi dari perusakan. Ini dalam konteks tadi UU Minerba ya. Jadi menurut saya, this is more than conflict of interest, bisa saja ini State Captured Corruption," tutupnya.
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dipilihnya Jateng sebagai lokasi kampanye pamungkas Ganjar-Mahfud karena wilayah itu menjadi lumbung suara PDIP.
Baca SelengkapnyaKombes Pol Yade Setiawan Sukses raih Doktor dan Pertahankan Disertasi Penanganan Covid 19.
Baca SelengkapnyaKarena tidak punya saksi tidak memenuhi permintaan uang tersebut.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Rapat untuk pagu anggaran indikatif Kemenhan dilaksanakan secara tertutup karena menyangkut pembahasan alutsista dan pertahanan.
Baca SelengkapnyaHal itu diprediksi dari rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pemilu 2024
Baca SelengkapnyaLegislator Partai Amanat Nasional (PAN) itu melaporkan dua orang yakni pria berinisial MMT dan wanita berinisial FA alias Syarifah.
Baca SelengkapnyaJumlah tersebut mengalami perubahan Rp1.150.000.000.000 dari anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Baca SelengkapnyaStaf Khusus Menkeu Yustinus Prastowo menjelaskan, sebagian anggaran Kementerian dan Lembaga diutamakan untuk penanganan pandemi covid-19
Baca SelengkapnyaTerkait mobilisasi orang yang banyak berpotensi terjadi pada liburan Natal dan Tahun Baru, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan pembatasan perjalanan.
Baca Selengkapnya