Mbah Satinem, penjual jajan pasar di Yogyakarta langganan Soeharto
Merdeka.com - Sebagai daerah wisata, Yogyakarta dikenal banyak memiliki ragam kuliner. Salah satu kuliner khas Yogyakarta dan banyak dicari oleh wisatawan adalah jajan pasar. Untuk mengicipi jajan pasar ini, para wisatawan harus menyiapkan diri untuk bangun pagi. Pasalnya jajanan pasar seperti lupis, cenil, gatot, tiwul dan sejenisnya ini lazim dijajakan pada pagi hari.
Salah seorang penjual jajan pasar di Yogyakarta yang terkenal adalah Mbah Satinem. Perempuan berusia 75 tahun ini biasa berjualan di pertigaan Jalan Bumijo yang berbatasan langsung dengan Jalan Diponegoro. Mbah Satinem biasanya berjualan dengan ditemani oleh putrinya, Mukinem (45).
Mbah Satinem biasa membuka lapak dagangannya di pinggir jalan sekitar pukul 06.00 WIB. Sebelum Mbah Satinem membuka dagangannya, para pembelinya sudah mengantre. Begitu semua dagangan sudah disiapkan para pembeli pun dilayani satu persatu. Dagangan Mbah Satinem ini tak perlu menunggu waktu lama langsung ludes dibeli.
-
Dimana dia berjualan? Saat ini ia rutin mangkal di Jalan Bulak Rantai, Kampung Tengah, Kecamatan Kramat jati, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
-
Di mana wanita itu berjalan? Dalam rekaman CCTV tersebut, terungkap pula momen menegangkan saat seorang wanita yang merupakan warga setempat nyaris terkena ledakan. Awalnya, wanita tersebut nampak berjalan di atas trotoar sembari menenteng tas kecil.
-
Apa yang dijual oleh Ibu Gobatil? Gobatil akhirnya memantapkan diri menjual menu ayam ingkung dan betutu.
-
Dimana Ibu Gobatil menjual ayam ingkung? Ia memanfaatkan teras rumahnya sebagai lokasi menjamu pengunjung yang datang.
-
Siapa wanita tersebut? Wanita tersebut, berpostur sekitar 155 sentimeter diperkirakan hidup bersama suaminya pada abad ke-9.
-
Kenapa Jelita jualan gorengan? Jelita harus berjualan gorengan untuk bantu orang tuanya.
"Tutup kalau dagangan sudah habis. Biasanya habis sekitar pukul 07.30 WIB. Tapi kadang ya jam 08.00 WIB baru tutup. Itu saja masih banyak pembeli yang kecele karena dagangan saya sudah habis," terang Mbah Satinem saat ditemui, Rabu (6/4) lalu.
Sudah sejak tahun 1963 Mbah Satinem berjualan jajan pasar. Jajan pasar hasil olahan tangan Mbah Satinem ini dibuat menggunakan resep turun menurun dari ibunya. Mbah Satinem mengetahui resep membuat jajan pasar ini karena semasa kecilnya kerap membantu untuk membuat dan menjual jajan pasar bersama ibunya.
"Awalnya tahun 1963 itu saya jualannya keliling jalan kaki. Berangkat dari rumah jam 04.00 WIB. Lalu jalan kaki dengan dagangan saya gendong. Jualannya di sekitar Kota Yogyakarta saja. Baru pulang keliling sore hari," kenang Mbah Satinem.
Setelah berjualan jajan pasar dengan berkeliling, Mbah Satinem pun memutuskan untuk berjualan dengan cara menetap. Mbah Satinem pun kemudian berjualan di lokasinya saat ini.
"Sekitar tahun 80-an saya pindah jualan di emper ruko ini. Dulu kalau jualan juga masih jalan kaki dari Trihanggo ke sini. Tapi sekarang sudah gak kuat jalan jauh. Jadinya diantar oleh anak saya kalau jualan," tutur Mbah Satinem.
Untuk membuat jajan pasar, Mbah Satinem biasanya memulai proses pembuatannya pada pukul 00.00 WIB. Dibantu oleh anaknya, Mbah Satinem membuat jajan pasar dengan cara tradisional. Semua bahan dimasaknya menggunakan kompor kayu. Bahan-bahan yang digunakan pun tak ada yang menggunakan bahan pengawet makanan.
Biasanya, proses pembuatan jajan pasar usai sekitar pukul 04.00 WIB. Kemudian Mbah Satinem pun mulai berangkat ke tempatnya berjualan jam 05.00 WIB dari rumahnya.
"Hari biasa itu masak sekitar 8 kilo, kalau hari Minggu sekitar 10 kilo, bisa nambah kalau ada pesanan. Kalau hari Minggu lebih ramai karena banyak pembeli luar kota yang sengaja datang buat beli. Kebanyakan pembeli itu suka lopis," kata Mbah Satinem.
Meskipun setiap hari buka, namun khusus selama Bulan Ramadan, Mbah Satinem meliburkan diri. Selama sebulan penuh Mbah Satinem tak berjualan.
"Saya kalau puasa libur penuh. Konsentrasi untuk ibadah. Itu sudah rutin. Biasanya saya menyisihkan uang saat jualan. Jadi pas puasa gak buka saya masih punya uang. Dan pas Lebaran juga masih bisa nyanggoni (memberi uang) cucu," tutur Mbah Satinem.
Berjualan sudah sejak puluhan tahun lalu, membuat jajan pasar bikinan Mbah Satinem menjadi langganan banyak orang. Salah satu pelanggan jajan pasar racikan Mbah Satinem adalah Presiden kedua Indonesia Soeharto.
"Dulu Pak Harto sering mesan jajan pasar bikinan saya. Biasanya mesan tiwul sama gatot. Yang datang mesan biasanya ajudannya. Pertama kali mesan ke saya saat Pak Harto pulang naik haji. Gatot sama tiwul bikinan saya dipesan untuk oleh-oleh para tamu yang datang," cerita Mbah Satinem.
Selain menjajakan dagangannya di pinggir jalan, Mbah Satinem pun kerap melayani pesanan dari hotel-hotel di Yogyakarta. Sejumlah hotel berbintang rutin memesan jajan pasar kepada Mbah Satinem.
"Kalau katanya yang mesan, biasanya buat menu pas sarapan. Mesannya tiap hari. Kalau pas libur panjang atau hari Minggu mesannya lebih banyak dari hari biasanya. Kalau hari biasa setiap hotel mesannya 20 bungkus jajan pasar," pungkas Mbah Satinem.
Harga jajan pasar yang dijajakan terhitung tak mahal. Untuk harga lopis, gatot, tiwul dan cenil, Mbah Satinem biasa menjualnya seharga Rp 5 ribu per porsinya. Sedangkan untuk paket komplet berisi enam jenis jajan pasar dan biasa digunakan untuk acara syukuran, Mbah Satinem memasang tarif Rp 150 ribu.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Seorang wanita paruh baya pilih berjualan di tengah hutan dan gunung selama 24 jam sehari untuk penuhi kebutuhan keluarganya.
Baca SelengkapnyaDi Desa Sidorejo, terdapat sebuah pasar yang letaknya terpencil bernama Pasar Pakelan. Dulunya rute yang melintas pasar itu merupakan rute Jenderal Soedirman
Baca SelengkapnyaWarung itu bentuknya cukup sederhana. Material bangunannya terbuat dari kayu. Konon usia warung itu telah mencapai 1 abad atau 100 tahun.
Baca SelengkapnyaWalaupun sepi pengunjung, para pedagang pasar memilih bertahan tetap berjualan
Baca SelengkapnyaGeri telah berjualan cendol durian di Jl. Blora Sudirman sejak bulan Maret 2023.
Baca SelengkapnyaAsinan ini sudah melegenda sejak 1975. Cocok untuk menu takjil di bulan Ramadan
Baca SelengkapnyaPasar Keluh letaknya begitu terpencil di pelosok desa Ponorogo. Suasana tempo dulu begitu terasa saat berkunjung ke pasar tersebut.
Baca SelengkapnyaMbah Marto tutup usia di umur 96 tahun pada hari ini karena sakit.
Baca Selengkapnya