Menguji Data Kemenkes soal Ribuan Calon Dokter Spesialis Alami Gejala Depresi
Adapun metode skrining yang digunakan, melalui kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.
Angka ini didapat dari hasil skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS).
Menguji Data Kemenkes soal Ribuan Calon Dokter Spesialis Alami Gejala Depresi
Sebanyak 2.716 calon dokter spesialis mengalami gejala depresi. Data tersebut dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Angka ini didapat dari hasil skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Penapisan dilakukan di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 lalu.
Total peserta skrining dari seluruh rumah sakit adalah 12.121 PPDS. Adapun metode skrining yang digunakan, melalui kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.
Hasilnya, sebanyak 22,4 persen mahasiswa program pendidikan dokter spesialis terdeteksi mengalami gejala depresi. Bahkan, sekitar 3 persen di antaranya mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan berbagai cara.
Adapun rincian tingkat depresi dari 22,4 persen PPDS yang bergejala yakni:
Sebanyak 0,6 persen di antaranya mengalami gejala depresi berat
Sebanyak 1,5 persen dengan depresi sedang-berat
Sebanyak 4 persen depresi sedang
Sebanyak 16,3 persen dengan gejala depresi ringan.
Angka 2.716 atau 22,4 persen ini datang dari calon dokter yang sedang menempuh berbagai pendidikan spesialisasi. Dengan rincian terbanyak ditemukan pada calon dokter spesialis yang sedang menjalani:
Pendidikan spesialis 1 anak: 381 (14 persen).
Pendidikan spesialis 1 penyakit dalam: 350 (12.9 persen).
Anestesiologi: 248 (9,1 persen).
Neurologi: 164 (6 persen).
Obgyn: 153 (5,6 persen).
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Tjandra Yoga Aditama ikut menyoroti temuan Kemenkes soal calon dokter spesialis yang rentan mengalami gejala depresi.
"Sehubungan data Kementerian Kesehatan tentang depresi (bahkan ada keinginan bunuh diri dll) pada Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di RS Vertikal Kemenkes yang banyak dapat komentar kalangan kesehatan dan pendidikan, maka setidaknya ada empat hal yang perlu jadi perhatian," kata Tjandra Yoga dalam keterangannya, Selasa (16/4).
Sebenarnya, kata Yoga, ada baiknya membuat data pembanding menggunakan metode yang sama dengan sasaran peserta pendidikan yang lain termasuk Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN) dan Universitas ternama dengan mutu pendidikan yang tinggi.
"Jika ada pembanding, maka akan diketahui. Apakah tingginya angka depresi memang hanya pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau memang dunia pendidikan pada umumnya," kata Tjandra.
Dia juga menyarankan metode penilaian gejala depresi juga dilakukan pada masyarakat umum. Berita tentang tekanan ekonomi dan sosial di masyarakat mungkin akan memberi gambaran depresi pula.
"Dan bukan tidak mungkin data pada peserta program pendidikan dokter spesialis adalah menggambarkan data pada populasi secara umum," jelasnya.
Kemudian, katanya, temuan itu diharapkan tidak dan jangan berhenti pada dengan angka deskriptif berkaitan kasus depresi. Sebab, sangat perlu dilakukan analisa kualitas untuk melihat faktor penyebabnya.
"Analisa kualitatif dan rinci ini amat penting agar masalah yang ada dapat terlihat secara gamblang, apa hal utama, apa penunjangnya, apa faktor lain terkait dan lain-lain. Dengan melakukan hal pertama, kedua dan ketiga ini maka baru kita akan dapat suatu data yang 'evidence based' untuk keputusan tindak lanjutnya," ujar Tjandra menjelaskan.
Andai kata kemudian memang kondisi itu sudah terjadi, dia menyarankan agar segera mendapatkan penanganan.
"Kalau depresi ternyata juga terjadi di berbagai Program Pendidikan lain, atau bahkan masyarakat umum (bila sudah ada analisa serupa seperti point pertama dan ke dua di atas) maka bukan tidak mungkin perlu program pengatasan depresi yang lebih luas lagi," pungkasnya.