Sepanjang 2020, Terjadi 786 Kasus Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Digital
Merdeka.com - Aktivis Perempuan, Tunggal Pawestri mengatakan, data kasus kekerasan berbasis gender di ranah digital/siber selama empat tahun terakhir. Mirisnya, jumlahnya selalu meningkat, bahkan selama dua tahun terakhir jumlahnya meningkat hampir delapan kali lipat.
"Berdasarkan data Komnas Perempuan, jumlah KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) terus meningkat. Tahun 2017 ada 17 kasus, 2018 naik menjadi 97 kasus, 2019 ada 281 kasus, dan tahun 2020 mencapai 786 kasus," katanya dalam di diskusi virtual yang diselenggarakan oleh ICJR mengenai UU ITE, Rabu (10/3).
Aktivis Hivos itu kemudian membeberkan laporan kasus KBGO yang diadukan secara pribadi ke dirinya ataupun yang dilaporkan ke akun twitternya. Dalam laporan tersebut, Tunggal mengatakan, kebanyakan pelaku KBGO menggunakan foto/video sebagai alat untuk mengancam korban.
-
Bagaimana video korban tersebar? Setelah handphone selesai diperbaiki, selang beberapa hari sejumlah rekaman video syur milik korban bersama seorang pria beredar di media sosial dan menjadi viral.
-
Siapa yang menyebarkan video hoaks? Video diunggah oleh akun @margiyo giyo
-
Siapa yang dituduh menyebarkan video ancaman tersebut? Para peneliti dari Pusat Analisis Ancaman Microsoft menyebut video itu berasal dari kelompok yang biasa menyebarkan disinformasi asal Rusia.
-
Bagaimana Komnas HAM mengungkap pelaku? 'Ada penggalian fakta tentang peran-peran Pollycarpus atau peran-peran orang lain yang ada di tempat kejadian perkara atau yang terlibat dalam perencanaan pembunuhan Munir atau yang menjadi alasan TPF ketika itu untuk melakukan prarekonstruksi, melacak percakapan nomor telepon dan lain-lain lah,' kata Usman di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (15/3).
-
Siapa yang menyebarkan video? NRA sebagai pengambil data dan penyebar.
-
Apa yang diklaim pelaku dalam video viralnya? Pelaku hanya mengaku-aku kerabat Mayjen TNI Rifky Nawawi,' kata dia.
Oleh karena itu, dia mendorong agar dalam revisi UU ITE dengan tegas melarang aksi ancaman yang dilakukan oleh para pelaku KBGO. Selain itu, tentunya harus ada sanksi hukum bagi para pelaku KBGO. Khususnya penyebaran gambar intim tanpa persetujuan, pelecehan online dan 'stalking'.
Selain itu, dia menyarankan, kriminalisasi KBGO juga harus meliputi semua elemen penyalahgunaan. Termasuk 're-sharing' konten.
"Jadi, mengancam untuk menyebarluaskan gambar/ video intim tanpa persetujuan harus dinyatakan perbuatan ilegal. Sehingga aparat penegak hukum dan pengacara bisa intervensi dan mencegah hal ini sebelum terjadi," ujarnya.
Menurutnya, aparat penegak hukum harus menggunakan kacamata berbasis gender dalam menganalisis semua bentuk KBGO. Dia mengatakan, hal itu sebenarnya sudah pernah diutarakan dan dijadikan rekomendasi oleh United Nation Special Rapporteur on Online Violence Against Women pada sesi Dewan HAM PBB 2018.
Harus diakui, kata dia, selama ini korban KBGO merasa takut untuk melaporkan apa yang dialaminya. Hal itu dikarenakan Pasal 27 ayat 1 dinilai hanya fokus membela kesusilaan, tidak memihak korban serta tidak tercantum dengan jelas batasan KBGO.
"Tidak terlalu jelas batasannya. Definisi kesusilaan tidak ada rujukan yang jelas, jika melihat KUHP, maka ranah digital tidak begitu jelas," ungkapnya.
Sebagai informasi, pasal 27 ayat 1 berbunyi: 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.'
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM KemenkumHAM, Sugeng Purnomo juga merasa bahwa dalam pasal 27 ayat 1 bisa merugikan korban. Dia juga mempersoalkan bunyi pasal tersebut yang dirasa tidak ada batasan yang jelas untuk mengkriminalisasikan kasus KBGO.
"Saya ingin mengutip ketentuan pasal 27 ayat 1, di pasal itu disebutkan siapapun yang mentransmisikan. Mentransmisikan berarti mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain," terangnya.
"Kalau berdasarkan pasal 27 ayat 1, misalnya suami istri yang LDR karena kerjaan (long distance relationship) lalu saling mengirim gambar/ video, mereka pasti kena pasal ini. Padahal sebenarnya mereka berdua juga korban kalau videonya tersebar luas," tambahnya.
Oleh sebab itu, KemenkumHAM saat ini masih terus menerima masukan dari berbagai ahli hukum pidana, kelompok aktivis, para praktisi, serta masyarakat sipil. Sejauh ini, kata Sugeng, sudah ada 34 narasumber yang memberikan usulan mengenai revisi UU ITE.
"Sampai hari ini kita sudah menyelesaikan 29 narasumber yang sudah bertemu dengan tim sampai kemarin. Hari ini menyelesaikan 5 narasumber lagi. Jadi totalnya sudah 34 narasumber. Masih ada narasumber lainnya yang sudah kita persiapkan," ungkapnya.
Dia mengatakan, ada 4 poin penting yang didapatkan dari hasil pertemuan 29 narasumber mengenai revisi UU ITE itu. Yang pertama yaitu perlu adanya meningkatkan sosialisasi dan edukasi terkait tata krama penggunaan ruang digital kepada generasi muda dan disarankan untuk masuk dalam kurikulum pendidikan.
Lalu yang kedua, UU ITE tetap diperlukan untuk menjaga penggunaan ruang digital tetap beretika, produktif, dan berkeadilan.
"Lalu poin ketiga, aparat penegak hukum hendaknya menjalankan tugas dan fungsinya dengan profesional dan adil dan apabila ada pelanggaran dalam tugas jurnalistik wartawan, maka tidak dikenakan delik-delik dalam UU ITE namun UU pers," terangnya.
Sebagai informasi, pasal-pasal yang banyak disorot dalam UU ITE untuk dilakukan formulasi ulang yaitu Pasal 27 ayat 1, pasal 27 ayat 3, pasal 27 ayat 4, pasal 28 ayat 2, pasal 29, dan pasal 36 juncto pasal 51 ayat 2.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sebab, termasuk enggan terjerat sebagai pelaku di UU ITE dan UU Pornografi.
Baca SelengkapnyaKondisi tersebut memunculkan ancaman baru di dunia digital berupa kekerasan digital berbasis gender.
Baca SelengkapnyaPaling tinggi yang dilaporkan adalah KDRT. Kemudian di posisi kedua kasus pelecehan seksual.
Baca SelengkapnyaPolisi saat ini tengah melakukan penyelidikan secara mendalam dengan menganalisis jejak digital dari video tersebut.
Baca SelengkapnyaIni metode baru dan akan dikoordinasikan dengan operator seluler.
Baca SelengkapnyaMencatat ada 8 orang meninggal dunia, terdiri atas lima anggota TNI/POLRI dan tiga warga sipil
Baca SelengkapnyaOrang tua diminta untuk mengawasi handphone anak jika memiliki tiga aplikasi sebagai media komunikasi mereka.
Baca SelengkapnyaKawiyan memastikan, KPAI terus melakukan pendampingan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan.
Baca SelengkapnyaSetidaknya tiga perempuan di Indonesia yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di setiap jamnya.
Baca SelengkapnyaLangkah-langkah antisipasi sudah disiapkan pemerintah guna menangkal video palsu.
Baca SelengkapnyaSatgas TPPO Polri Ringkus 714 Tersangka dalam waktu satu bulan.
Baca SelengkapnyaKetua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan, angka kekerasan seksual di masyarakat cukup tinggi berdasarkan hasil penelitian.
Baca Selengkapnya