Uang Korupsi Proyek Fiktif Diduga KPK untuk Mengondisikan Hasil Audit PT Amarta Karya
Dugaan itu diketahui saat KPK memeriksa Direktur Bidang Pengawasan Akuntabilitas Keuangan, Pembangunan dan Tata Kelola Pemerintah Desa pada BPKP Wasis Prabowo.
Dugaan itu diketahui saat tim penyidik memeriksa Direktur Bidang Pengawasan Akuntabilitas Keuangan, Pembangunan dan Tata Kelola Pemerintah Desa pada BPKP Wasis Prabowo.
Uang Korupsi Proyek Fiktif Diduga KPK untuk Mengondisikan Hasil Audit PT Amarta Karya
KPK menduga uang hasil korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT Amarta Karya Persero Tahun 2018 hingga 2020 digunakan untuk mengondisikan hasil audit perusahaan plat merah tersebut. Dugaan itu diketahui saat tim penyidik memeriksa Direktur Bidang Pengawasan Akuntabilitas Keuangan, Pembangunan dan Tata Kelola Pemerintah Desa pada BPKP Wasis Prabowo di gedung KPK pada Senin, 21 Agustus 2023. "Saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan aliran uang untuk pengondisian hasil audit di PT Amarta Karya Persero," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (22/8).
KPK menjerat mantan Direktur Utama PT Amarta Karya Persero Catur Prabowo dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT Amarta Karya Persero Tahun 2018 hingga 2020. Catur Prabowo juga dijerat dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Catur sudah ditahan pada Rabu, 17 Mei 2023.
Dalam kasus ini KPK menjerat Catur Prabowo dan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna. Trisna sudah lebih dahulu ditahan di Rutan KPK pada Markas Komando Puspomal, Jakarta Utara. "Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan TS (Trisna Sutisna untuk 20 hari pertama dimulai 11 Mei 2023 hingga 30 Mei 2023," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Kamis (11/5/2023).
Johanis menyebut kasus ini bermula pada 2017 saat Catur Prabowo memerintahkan Trisna Sutisna dan pejabat di bagian akuntansi PT Amarta Karya mempersiapkan sejumlah uang untuk kebutuhan pribadi Catur Prabowo. Sumber uang diambil dari pembayaran nlberbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya. Kemudian, Trisna Sutisna bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV. CV tersebut digunakan untuk menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan yang sebenarnya alias fiktif.Kemudian pada 2018, dibentuklah beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan Catur Prabowo dan Trisna Sutisna. Johanis menyebut untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, Catur Prabowo selalu memberikan disposisi 'lanjutkan' dibarengi dengan persetujuan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani oleh Trisna Sutisna.
Buku rekening bank, kartu ATM dan bongol cek dari badan usaha CV fiktif dipegang staf bagian akuntansi PT Amarta Karya yang menjadi orang kepercayaan dari tersangka agar memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan Catur Prabowo. Johanis menyebut diduga ada sekitar 60 proyek pengadaan PT Amarta Karya yang disubkontraktorkan secara fiktif oleh Catur Prabowo dan Trisna Sutisna. Di antaranya yakni pekerjaan konstruksi pembangunan rumah susun Pulo Jahe, Jakarta Timur, pengadaan jasa konstruksi pembangunan gedung olahraga Univesitas Negeri Jakarta, dan pembangunan laboratorium Bio Safety level 3 Universitas Padjajajran.
Akibat perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sekira Rp46 miliar. Atas perbuatannya, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.