Bahlil Sebut Ketum Golkar Terdahulu Selalu Dekat dengan Presiden: Kalau Saya Kok Salah?
Bahlil tidak ingin disalahkan terkait adanya anggapan bahwa dirinya bisa menjadi Ketum Golkar
Bahlil Lahadalia resmi menjadi Ketua Umum Partai Golkar periode 2024-2029. Saat penyampaian visi misi dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dan Musyawarah Nasional (Munas) XI Partai Golkar, dia sempat menyinggung keberhasilan para ketum terdahulu yang dinilainya ada andil kedekatan dengan presiden pada masa itu.
Dia mengulas, pada 2004 lalu Partai Golkar menjadi pemenang pasca reformasi di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung. Sosok itu disebutnya berhasil membalikkan kondisi partai dari keterpurukan pasca reformasi menjadi partai pemenang.
“Apa yang terjadi? Saat Munas di Bali, fight dengan JK (Jusuf Kalla). Pertarungan terjadi, Pak Jk menang. Pak JK menang pun karena ada kedekatan dengan pemerintah. Beliau adalah wakil presiden, SBY adalah presidennya,” ungkap Bahlil di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Rabu (21/8).
Setelahnya, ada pula pertarungan kursi antara Aburizal Bakrie alias Ical dengan Surya Paloh. Jusuf Kalla alias JK yang telah selesai masa kepemimpinannya sebagai wakil presiden melabuhkan dukungan ke Surya Paloh, sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendukung Ical.
“Pak Ical didukung oleh Pak SBY dan kemudian Pak Ical juga menang. Setelah Pak Ical selesai, muncul Pak Setya Novanto lewat Munaslub. Itu posisinya Pak Setnov sebagai Ketua DPR dekat dengan Jokowi. Alhamdulillah juga menang. Begitu juga selesai, masuk ke zaman Pak Airlangga. Pak Airlangga juga menang dekat dengan presiden, sebagai Menteri Perindustrian,” kata Bahlil.
Golkar dilahirkan karena instrumen politik pemerintah
Untuk itu, dia pun tidak ingin disalahkan terkait adanya anggapan bahwa dirinya bisa menjadi Ketum Golkar karena saat ini dekat dengan pemerintah. Menurutnya Partai Golkar dilahirkan karena instrumen politik pemerintah.
“Jadi memang mazhab saya mazhab kompetisi. Ketika proses Munas Golkar kali ini, saya dianggap pun mendapat dukungan dari pemerintah dan dianggap salah. Kenapa calon-calon terdahulu dinyatakan tidak salah, ok saya dinyatakan salah? Apa yang membuat seperti itu?,” ujarnya.
“Apakah karena memang saya adalah kader dari ufuk timur, yang bukan anak siapa-siapa di Jakarta ini. Apakah memang pengurus DPD 1 Golkar se-Indonesia nggak boleh mencalonkan diri jadi calon ketum Golkar? Saya pikir, lewat sebuah pemikiran besar Golkar dilahirkan sbagai instrumen politik pemerintah. Maka saya pikir Golkar harus kembali ke perjuangannya,” Bahlil menandaskan.