Kenapa Selalu Ada Oligarki di Kekuasaan? Ini Pemicu dan Dampaknya
KPU akan menggelar Pemilu dan Pilkada serentak pada tahun 2024. Pemilu presiden dan caleg digelar 14 Februari, sementara Pilkada dilaksanakan pada November.
Ada beberapa faktor yang memberikan celah untuk membangun oligarki dalam kekuasaan
Kenapa Selalu Ada Oligarki di Kekuasaan? Ini Pemicu dan Dampaknya
KPU akan menggelar Pemilu dan Pilkada serentak pada tahun 2024. Pemilu presiden dan caleg digelar 14 Februari, sementara Pilkada dilaksanakan pada November yang direncanakan maju menjadi September.
Pilkada akan diikuti 548 daerah. Rincian 38 provinsi, 415 kabupaten dan 98 kotamadya.
Praktisi Hukum dan Pemerhati Polsosbud, Agus Widjajanto mengatakan, Pemilu diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan demokrasi. Yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
“Untuk mencapai tujuan tersebut, penyelenggaraan Pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi,” ujar Agus saat dihubungi, Senin (23/10).
Kata Agus, demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme Pemilu langsung. Merupakan bentuk kedaulatan rakyat dalam memilih penyelenggara negara dan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu UUD 1945.
Agus meminjam istilah Plato, negara haruslah berdasarkan hukum dan keadilan. Peraturan dibuat rakyat dan gagasan yang timbul, saat zaman Yunani kuno, Plato melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh pemimpin otoriter.
Sedangkan Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya.
"Negara hukum dan demokrasi sangat erat hubungannya, negara tanpa peraturan hukum yang adil mustahil mencapai demokrasi. Supremasi hukum & kedaulatan hukum itu sendiri pada hakekatnya berasal dari kedaulatan rakyat yang diberikan kepada wakilnya dalam hal ini penguasa dan DPR," urai Agus.
Agus mengatakan, hukum harus bertumpu pada kontitusi dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Karena itu, muncul istilah demokrasi konstitusional.
"Yang jadi pertanyaan kita selanjutnya, mengapa dalam negara demokrasi di dalam negara berkembang kerap muncul kekuasaan yang ditopang oleh oligarki dalam sistem demokrasi?" kata Agus.
Munculnya Oligarki
Pria asal Kudus Jawa Tengah itu lantas mengutip catatan Prof Suteki dalam buku Hukum dan masyarakat, mengenai beberapa faktor yang mendorong munculnya oligarki.
Pertama, keberadaan figur utama dalam elite partai yang menjadi penentu dalam banyak keputusan yang merupakan representasi dari ideologis dan historis dari pembentukan partai itu sendiri.
Kedua, adanya ketergantungan finansial pada sumber sumber keuangan Partai yang kerap dimiliki oleh elite partai. Dimana Colin Crouch (2004) menggunakan istilah 'Firma politik'.
Ketiga, karena pelembagaan partai yang belum sempurna. Dimana kondisi sistem yang dibangun partai masih merujuk pada elit partai. Selanjutnya AD/ART partai yang masih menjunjung tinggi elite partai.
Terakhir, faktor eksternal yang turut mempengaruhi partai, yang mana masih memberikan celah untuk membangun oligarki dalam dirinya. Baik pada kaderisasi maupun pengelolaan keuangan masih yang dijalankan secara sentralistik .
Agus kemudian mengutip Jeffrey A.Winters, dalam bukunya bertajuk oligarchy yang menempatkan oligarki dalam dua dimensi.
Pertama oligarki yang dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas hingga mampu menguasai simpul simpul kekuasaan. Kedua oligarki yang beroperasi pada kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.
Suara Rakyat Tak Lagi Dianggap
"Jika menilik pendapat Jeffri A Winters, seharusnya suara rakyat tidak hanya dibutuhkan dan diakui hanya untuk 5 tahunan saat pemilu. Setelah itu suara rakyat yang pada esensinya adalah Suara Tuhan, tidak lagi dianggap,” tutur Agus.
“Ini harus dihindari, para elite partai dan para stake holder pengambil kebijakan harus benar-benar mendengar aspirasi rakyat," ucap Agus.
Agus mengkhawatirkan dampak sebagaimana pernah ditegaskan Jeffry A Winters, yakni timbulnya rasa apatis disebagian besar kalangan masyarakat terhadap proses demokrasi dan politik itu sendiri.
Jika itu terjadi, maka tidak ada lagi negara demokrasi dan dengannya pula esensi negara hukum menjadi tidak jelas.
"Sistem yang ditimbulkan oleh pengaruh kekuasaan oligarki bisa menimbulkan dampak serius, kolapsnya negara hukum, serta prinsip-prinsip demokrasi akan mati,” kata Agus.
“Apa yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila juga hanya tinggal slogan tertulis, dimana ruhnya demokrasi dan negara hukum sesuai kontitusi telah tiada lagi," imbuh Agus.
Sebab itu, Agus Widjajanto berpesan agar semua pihak yang mengikuti kontestasi dalam Pemilu 2024 untuk senantiasa menjunjung tinggi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei) bagi Kedaulatan dan keadilan bersama.