OPINI: Bukan Parpol, Pemenang Pilpres 2024 Ditentukan Mesin Politik Jokowi & Mesin Politik NU
Dalam kolom ini, penulis menyampaikan analisis tentang peran besar mesin politik nonformal dan nonparpol untuk menang dalam Pemilu Pilpres 2024
OPINI: Bukan oleh Parpol, Pemenang Pilpres 2024 Ditentukan Mesin Politik Jokowi & Mesin Politik NU
Pemilu 2024OPINI: Bukan oleh Parpol, Pemenang Pilpres 2024 Ditentukan Mesin Politik Jokowi & Mesin Politik NU
Politisi senior PDI Perjuangan, Bambang Pacul, menyebut bahwa peserta pemilu itu menurut undang-undang adalah partai politik, bukan lembaga swadaya masyarakat, bukan pula relawan atau ormas.
Ya, Mas Pacul benar. Tapi, proses pemenangan pasangan calon presiden dan wakilnya dalam kurun sepuluh tahun terakhir, kalau mau jujur, tidak semata ditentukan lembaga formal seperti partai politik. Parpol hanya sebatas kemasan resmi yuridis dan politis, sedangkan mesin politik sesungguhnya lebih dijalankan organisasi yang berbasis pada loyalitas, entah itu loyal kepada tokoh, kepada prinsip, atau kepada tokoh yang berprinsip. Kerja-kerja parpol secara informal banyak disebut ditentukan kekuatan uang yang kemudian direpresentasikan oleh seberapa cekatan para buzzer, baik yang melakukan positive campaign bagi junjungannya, maupun black campaign untuk lawan; bekerja di belakang layar.
-
Mengapa Jokowi ingin Pemilu 2024 Jurdil dan Luber? Jokowi ingin Pemilu Serentak 2024 ini berlangsung jujur, adil, langsung, umum, dan rahasia (jurdil dan luber) sehingga membawa kegembiraan bagi masyarakat.
-
Bagaimana cara menentukan pemenang Pemilu 2024? Perlu diketahui, tahapan Pemilu sejatinya berlangsung satu tahun hingga Indonesia secara resmi mendapatkan pemimpin yang sah sesuai jumlah suara terbanyak.
-
Apa harapan Jokowi untuk Pemilu 2024? 'Ya ini adalah pesta demokrasi kita berharap ini betul-betul jadi pesta rakyat, dan juga berlangsung dengan jurdil, luber dan diiktui oleh seluruh rakyat Indonesia dengan kegembiraaan karena ini adalah pesta rakyat. Pesta demokrasi,' jelasnya.
-
Bagaimana Pantarlih Pilkada 2024 dipilih? Pengumuman Pendaftaran Calon Pantarlih/PPDP: Tahap ini berlangsung dari tanggal 5 Juni hingga 9 Juni 2024. Selama periode ini, informasi mengenai pendaftaran calon Pantarlih akan diumumkan kepada publik.Penerimaan Pendaftaran Calon Pantarlih/PPDP: Pendaftaran calon Pantarlih dibuka mulai dari tanggal 5 Juni hingga 12 Juni 2024. Calon yang berminat dapat mengajukan pendaftarannya selama periode ini. Penelitian Administrasi Calon Pantarlih/PPDP: Penelitian administrasi untuk calon Pantarlih dilakukan dari tanggal 6 Juni hingga 13 Juni 2024. Pada tahap ini, berkas dan kelengkapan administrasi para calon akan diperiksa untuk memastikan bahwa semua persyaratan telah terpenuhi.Pengumuman Hasil Seleksi Calon Pantarlih/PPDP: Hasil seleksi calon Pantarlih akan diumumkan pada tanggal 14 Juni hingga 16 Juni 2024. Calon yang lolos seleksi administrasi akan melanjutkan ke tahap berikutnya.Pemetaan TPS: Pemetaan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dijadwalkan berlangsung dari tanggal 17 Juni hingga 22 Juni 2024. Pada tahap ini, Pantarlih akan menentukan lokasi TPS untuk memastikan kemudahan akses bagi para pemilih. Penetapan Nama Hasil Seleksi Pantarlih/PPDP: Nama-nama hasil seleksi Pantarlih akan ditetapkan pada tanggal 23 Juni 2024. Daftar final anggota Pantarlih yang telah lolos seleksi akan dipublikasikan.Pelantikan Pantarlih/PPDP: Pelantikan anggota Pantarlih akan dilakukan pada tanggal 24 Juni 2024. Setelah dilantik, Pantarlih resmi mulai menjalankan tugasnya hingga 25 Juli 2024.
-
Siapa saja yang dipilih dalam Pemilu 2024? Pemilu 2024 adalah pemilihan umum serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta kepala daerah di seluruh Indonesia.
-
Pilkada 2024 memilih apa? Pada Pilkada 2024, masyarakat akan memilih gubernur dan wakil gubernur untuk tingkat provinsi, wali kota dan wakil wali kota untuk tingkat kota, serta bupati dan wakil bupati untuk tingkat kabupaten.
Uang bukan segalanya. Penulis melihat sebuah thread di media sosial yang kemudian dikutip media online dan media cetak pada 2015 yang mengulas “Sepuluh Taman Kota di Jakarta yang Merupakan Warisan Berharga Jokowi Saat Masih Menjabat Gubernur”.
Dari ulasan, pilihan paparan foto, dan cara persepsi positif soal Jokowi itu digelontorkan, amat terasa bahwa itu digarap para profesional berbasis loyalitas ketimbang sekadar karena bayaran. Sedikit lebay memang, tapi pesan yang disampaikan mengena ke sasaran. Pekerjaan halus dan kasar seperti ini di media sosial akan mempengaruhi mindset 93% orang Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan S1-S3. Mereka adalah potongan kue yang besar dalam Daftar Pemilih Tetap di setiap putaran pemilu di Indonesia sejak 1955. Berbeda dengan kerja-kerja parpol yang tidak banyak berubah sejak orde baru dan reformasi, di mana retorika serta slogan disuarakan lewat panggung dangdut di lapangan-lapangan terbuka, sejak 2010-2012 penetrasi kerja politik organisasi non-parpol justru lebih jitu mencium target via media sosial, terutama twitter, facebook, tiktok, dan instagram.
Viralitas yang tercipta pada akhirnya akan menjadi pintu masuk bagi materi kampanye mengapung ke permukaan perbincangan di dunia nyata di tengah masyarakat untuk kemudian diserap koran, televisi, media online, dan sejumlah program podcast populer di YouTube.
Kombinasi Abadi Nasionalis-Agamis
Masuknya pesan secara subliminal ke alam bawah sadar para penghuni Daftar Pemilih Tetap lebih banyak ditentukan oleh seberapa halus (dan kasarnya) kerja mesin-mesin politik non-parpol tersebut. Mereka yang bekerja sepenuh hati berbasis loyalitas, kesamaan frekuensi ideologis, dan keyakinan intelektualitas, akan bekerja lebih rapi ketimbang para influencer atau buzzer bayaran (seprofesional apapun mereka, pasti hasil kerjanya akan bebeda). Pada Pilpres 2024, dari tiga calon presiden yang mengemuka saat ini, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, prinsip kerja tim pemenangan akan tergantung kepada dua faktor utama yaitu masuk ke golongan nasionalis dan ke golongan kaum agamis.
Sementara itu ada satu faktor tambahan yang belakangan kurang dominan, yaitu seputar latar belakang capres-cawapres yang berasal dari golongan militer atau sipil. Figur yang pernah berbaju militer dianggap memiliki nilai plus di sisi leadership dan dukungan infrastruktur purnawirawan yang masih disegani mantan anak buah.
Pada sisi lain, faktor trauma dari 32 tahun era kepemimpinan Soeharto juga bisa jadi alasan kenapa belakangan publik lebih suka tokoh sipil yang mewakili kaum menengah (intelek tapi bukan priyayi, tidak berdarah biru, dan tidak super kaya). Nah, pantulan cermin resep kesuksesan paduan golongan nasionalis dan golongan kelompok agama ini jelas mengerucut kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan kepada organisasi massa islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. PDI Perjuangan adalah parpol yang selama sepuluh tahun terakhir sangat terbantu kerja politik para relawan pendukung Presiden Joko Widodo, terutama Projo. Sedangkan komando basis massa NU tidak juga melulu tergantung pada sikap dua parpol islam non-muhammadiyah yang mengisi kursi DPR pada periode yang sama, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Kerja dua mesin politik non-parpol inilah yang akan berperan besar menentukan siapa pemenang Pilpres 2024. Para anggota Projo dan organisasi relawan Jokowi lainnya konon menyumbang lebih dari 70% keunggulan suara Jokowi di sepuluh tahun terakhir.
Hasil Konferda Projo Condong ke Prabowo
Jangan salah, Projo dan ratusan pengurus dewan pimpinan cabang-nya bahkan siap untuk bertransformasi menjadi parpol bila sewaktu-waktu diperlukan jelang Pemilu 2029. Sementara itu, warna vokal NU adalah suara 59,2% pemeluk agama Islam di Indonesia yang sangat loyal menyumbang vote pada tokoh-tokoh Nahdliyyin yang maju di kontentasi Pilpres, baik sebagai capres maupun cawapres. Sudah menjadi rahasia umum bahwa preferensi Projo lewat hasil-hasil konferda di beberapa provinsi secara tidak langsung mencerminkan sikap Jokowi. Ya, mayoritas anggota Projo lebih menyukai Prabowo ketimbang Ganjar, karena sebagian besar hasil konferda mengajukan nama Prabowo dan Airlangga Hartarto sebagai paslon capres-cawapres di Pemilu 2024.
Tidak mengherankan bila pada akhirnya hingga kolom ini ditulis nama Prabowo unggul di atas Ganjar dan Anies di beberapa survei berskala nasional.
Pada sisi lain, suara NU saat ini terbagi kepada beberapa figur yang favorit menjadi capres seperti Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, Khofifah Indar Parawansa, Sandiaga Uno, Yenny Wahid, Erick Thohir, dan Nasaruddin Umar. Katakanlah bila bakal capres yang mengemuka saat ini memilih nama-nama tokoh NU ini sebagai pasangannya, seberapa pecah suara kaum Nahdliyyin dan ke mana mayoritas suara mereka akan mengalir? Lagi-lagi semua akan ditentukan kerja mesin politik NU yang sebagian besar kaum mudanya sangat kuat literasi digital dalam 15 tahun ke belakang. Jadi, sekali lagi, efek beralihnya budget pemenangan pemilu dari ranah offline ke area perang siber ---yang sudah digagas sejumlah kaum muda pengisi parpol--- akan kian terasa memanas setelah pendaftaran capres dan cawapres resmi dilakukan pada 19 Oktober – 25 November 2023.
Tapi, uang bukan segalanya dan di luar kemasan formal organisasi partai politik beserta ormas-ormas perpanjangan tangannya, kinerja para relawan sebagai mesin politik Jokowi dan mesin politik Nahdlatul Ulama terbukti lebih efektif bekerja dalam dua pemilu terakhir ketimbang political engine yang lain. Kondisinya tidak akan banyak jauh berubah tahun depan.
Apakah Prabowo diuntungkan? Jelas! Apakah Prabowo akan jadi pemenang? Tergantung dari siapa yang akan menjadi cawapresnya. Dan jangan salah juga, ada faktor ewuh pakewuh di antara para tokoh NU yang bisa jadi membuat salah satu tokoh enggan berkontestasi bila melihat seniornya sudah maju lebih dulu di koalisi yang lain. Harapan penulis, semoga Pemilu 2024 berjalan lancar dan siapapun pemenangnya semoga bisa membawa Indonesia melangkah mulus ke Indonesia Emas 2045. *Pesan penutup: