Sidang Sengketa Pileg 2024, Hakim MK Cecar KPU Soal Sisa Suara Rekapitulasi
Hakim MK bertanya terkait metode konversi dan ke mana sisa suara dialihkan ke KPU.
Hakim MK bertanya terkait metode konversi dan ke mana sisa suara dialihkan ke KPU.
Sidang Sengketa Pileg 2024, Hakim MK Cecar KPU Soal Sisa Suara Rekapitulasi
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mencecar Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dengan sisa suara di pemilihan legislatif (Pileg) 2024.
Suhartoyo bertanya terkait metode konversi dan ke mana sisa suara dialihkan ke KPU.
Hal itu disampaikan Suhartoyo usai mendengar jawaban Termohon (KPU), Pihak Terkait, dan Bawaslu dalam sidang sengketa Pileg 2024 perkara nomor 229-01-02-12/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 diajukan Partai Gerindra di Panel 1, gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (8/5).
"Pak Hasyim, bapak tidur ya? Pak kalau ada sisa suara itu sebenarnya mekanisme atau konversinya seperti apa sih Pak? Yang mungkin sudah melebihi jatah kursi kemudian tidak tercover untuk kursi berikutnya itu sisa suaranya di kemanakan?" kata Suhartoyo.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari menjelaskan, sejak pemilihan umum (Pemilu) 2019, KPU sudah tidak menggunakan metode kuota sebagai mekanisme pengonversian suara. Oleh sebab itu, Hasyim mengatakan, tidak ada lagi istilah sisa suara.
Hal itu, menurut Hasyim, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, di mana mekanisme konversi suara menjadi kursi menggunakan metode divisor, bukan kuota. Metode ini, telah digunakan sejak Pemilu 2019 dan 2024.
"Kalau di Pemilu (2014) sebelumnya menggunakan metode kuota, sehingga kemudian apabila dihitung pada tahap pertama, misalkan satu parpol perolehan suaranya dibagi dengan istilahnya bilangan pembagi pemilihan sebagai kuota itu kemudian masih ada sisa suara dihitung ditahap kedua," ujar Hasyim.
"Nah sekarang tidak ada lagi istilah sisa suara karena faktor pembaginya dengan angka yang pasti," imbuh Hasyim.
Hasyim mengatakan, dengan metode divisor faktor pembaginya menggunakan angka fix yaitu angka ganjil 1,3,5,7,9, dan seterusnya. Parpol dengan hasil bagi tertinggi mendapat kesempatan pertama untuk perolehan kursi.
"Misalkan di tahap pertama parpol itu perolehan suaranya masing-masing dibagi angka 1, kemudian siapa yang dibagi angka 1 pasti kan hasilnya sama dengan suara itu. Yang paling tinggi dapat kesempatan pertama untuk perolehan kursi," kata Hasyim.
"Kemudian dibagi dengan angka 3, maka hasil pembagian dengan angka 3 yang paling besar dia akan memperoleh kursi berikutnya. Sampai dengan kursi terbagi habis," ujar Hasyim.
Menurut Hasyim, apabila masih terdapat suara berikutnya, namun tetap tidak bisa meng-cover satu kursi, maka suara tersebut menjadi tidak bermakna.
"Itu dia, tidak bermakna itu apa kemudian tidak bisa dikategorikan sisa suara?," tanya Suhartoyo lagi.
Hasyim menegaskan kembali bahwa metode divisor tidak ada istilah sisa suara. Sehingga, apabila tidak mencapai satu kursi, suara berikutnya tidak bisa dianggap sebagai sisa suara dan tidak dapat dikonversi dalam bentuk apapun.