Sosok Merari Siregar, Sastrawan Asal Tapanuli yang Hidup dalam Ketatnya Adat dan Kawin Paksa
Sastrawan satu ini menciptkan novel "Azab dan Sengsara" menceritakan ketatnya sistem adat di daerahnya yang ditulis dengan corak penulisan baru.
Sastrawan satu ini menciptkan novel "Azab dan Sengsara" menceritakan ketatnya sistem adat di daerahnya yang ditulis dengan corak penulisan baru.
Sosok Merari Siregar, Sastrawan Asal Tapanuli yang Hidup Dalam Ketatnya Adat dan Kawin Paksa
Sastrawan banyak melahirkan karya-karya yang berangkat dari keresahan dan bagian dari perlawanan terhadap suatu sistem atau kebijakan. Sama seperti sastrawan asal Tapanuli, Sumatera Utara yaitu Merari Siregar.
Ia lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatera Utara pada tanggal 13 Juli 1896. Sejak kecil ia sudah dihadapkan dengan ketatnya peraturan adat yang ada di daerahnya serta sistem kawin paksa. (Foto: indoSastra.com)
-
Dimana Tari Makan Sirih berasal? Mengutip situs disbud.kepriprov.go.id, pada tahun 1957 di Pekanbaru terjadi musyawarah pembakuan tari persembahan yang menampilkan tarian serta lagu-lagu yang bernuansa adat Melayu.
-
Siapa yang disebut Sikerei di Suku Mentawai? Masyarakat Suku Mentawai biasa menyebutnya dengan nama Sikerei. Mereka memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari orang Mentawai. Tidak adanya mereka, mungkin akan banyak anggota keluarga yang jatuh sakit tanpa ada penanganan.
-
Dimana Tari Piriang Suluah berasal? Begitu juga dengan para petani di Padang Panjang, Sumatra Barat. Mereka memiliki kesenian tradisional yang terinspirasi dari aktivitas para petani yaitu Tari Piring Suluah.
-
Apa itu Tari Makan Sirih? Salah satu tarian klasik ini biasa ditampilkan ketika menyambut atau mempersembahkan tamu terhormat yang datang ke Pekanbaru.
-
Apa yang dilakukan Sikerei dalam masyarakat Mentawai? Mereka memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari orang Mentawai. Tidak adanya mereka, mungkin akan banyak anggota keluarga yang jatuh sakit tanpa ada penanganan.
-
Apa itu Tari Piriang Suluah? Tari Piriang Suluah ini bukanlah tarian biasa. Kesenian ini menggambarkan kehidupan para petani dan juga gerakannya terinsipirasi dari aktivitas ketika bercocok tanam.
Berangkat dari keresahan tersebut, Merari pun melahirkan karya novel dengan corak penulisan yang lebih segar dan baru. Meski masih di era hikayat, namun ia berhasil menjadi salah satu sastrawan yang inovatif dan lebih menarik.
Riwayat Pendidikan
Dilansir dari situs ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Merari Siregar mengenyam pendidikan di Kweekschool atau sekolah guru di era Hindia Belanda. Kemudian melanjutkan di sekolah guru Oos en West di Gunung Sahari, Jakarta.
Pada tahun 1923, ia lulus dan mendapatkan ijazah dari Handelscrorrespondent Bond A yang ada di Jakarta.
Memulai Karier Seorang Guru
Setelah menuntaskan pendidikan, Merari langsung melanjutkan kariernya yang dimulai dari seorang guru bantu di Medan. Kemudian ia pindah ke Jakarta di Rumah Sakit CBZ atau sekarang dikenal dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Selanjutnya, ia pindah ke Kalianget, Madura, bekerja di Kantor Opium end Zouregie.
Terbitkan Novel
Sejak kecil Merari Siregar hidup di tengah-tengah ketatnya aturan adat dan juga maraknya kawin paksa terutama di tempat kelahirannya, Sipirok. Hal tersebut memantik dirinya untuk berpikir jika praktik tersebut sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Berangkat dari keresahan itu, maka lahirlah sebuah novel bertajuk "Azab dan Sengsara" yang bertemakan kesengsaraan seorang gadis akibat kawin paksa. Ini menjadi bagian ungkapan rasa Merari dengan adat dan budaya yang kurang baik di tengah-tengah bangsanya.
Merari Siregar juga seorang penyadur yang baik. Cerita sadurannya sangat hidup sehingga pembaca tidak merasakan cerita itu sebagai saduran dari luar negeri.
Lebih dari itu, ia juga melahirkan karya-karya hebat lainnya di bidang sastra seperti, Si Jamin dan Si Johan, Tjerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi, hingga Tjinta dan Hawa Nafsu.
Akhir Hayat
Merari Siregar meninggal dunia di Kalianget, Madura pada tanggal 23 April 1940. Ia meninggalkan 3 orang anak dan warisan sastranya yang sampai sekarang masih terus dikenang.
Merari juga dinilai mirip seperi Marah Rusli yang memiliki tipikal penulisan novel dari buah pemikirannya dari pendidikan Barat. Mereka ini tidak mempunyai niatan baru dalam penulisan sastra Indonesia, hanya saja mereka cenderung menyikapi dan pandangan terhadap sebuah tradisi maupun budaya lokal.