Mengenal Siti Rukiah Kertapati, Sastrawan Sunda Perempuan yang Terlupakan
Sayangnya tak banyak yang mengenali sosok Siti Rukiah Kertapati.
Sayangnya tak banyak yang mengenali sosok Siti Rukiah Kertapati.
Mengenal Siti Rukiah Kertapati, Sastrawan Sunda Perempuan yang Terlupakan
Mungkin tak banyak yang mengenal sosok Siti Rukiah Kertapati, seorang penulis Indonesia. Di balik ketidak populerannya ini, rupanya ia memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam perkembangan dunia sastra di tanah Pasundan.
Sastrawan perempuan kelahiran 25 April 1927 ini pernah menerbitkan sejumlah buku. Karya-karyanya cukup berpengaruh seperti “Ilham” sampai “Keluhku” yang merupakan dua puisi pertama terbitan tahun 1946.
-
Apa jasa Raden Ajeng Kartini bagi Indonesia? Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat merupakan tokoh emansipasi perempuan di Indonesia. Namanya cukup populer, bahkan ada hari khusus yang diperingati tiap tahun untuk mengenang jasanya. Semasa hidupnya, ia banyak menulis soal pemikiran-pemikirannya terkait budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.
-
Siapa RA Kartini? Sosok RA Kartini digambarkan sebagai perempuan yang pemberani dan optimis dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang berisi kumpulan surat yang ditulisnya kepada sahabatnya di Belanda, Stella Zeehandelaar, pada awal abad ke-20.
-
Siapakah Kartini? Raden Ajeng Kartini, atau yang lebih dikenal dengan nama Kartini, lahir pada 21 April 1879 di Desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Dia merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal karena perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan pendidikan.
-
Dimana Siti Purwanti meninggal? Ibu Maxime Bouttier, yang juga dikenal sebagai Siti Purwanti, mengembuskan napas terakhirnya di kediaman Luna Maya pada hari Senin (15/01/2024).
-
Siapa putri Siti KDI? Mereka diberkahi dengan seorang putri cantik bernama Elif Kayla Perk.
-
Siapa yang diperingati di Hari Kartini? Semasa hidup, Kartini merupakan sosok pejuang wanita yang teguh memegang prinsipnya pada kebebasan wanita untuk mendapat haknya.
Tak sekedar menggoreskan pena, karena dirinya turut menentang kebijakan penjajahan. Ia melakukan perlawanannya melalui tulisan, termasuk bergabung ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang menentang penjajahan.
Sampai akhir hayatnya, ia telah membuat puluhan karya sastra termasuk fokus mengembangkan cerita anak yang di tahun 1950 sampai 1960-an masih jarang digeluti.
Berikut kisah Siti Rukiah Kertapati yang kabarnya banyak membuat karya tulis berdasarkan pengalaman sehari-hari.
Tokoh Penggerak Sastra di Purwakarta
Bisa dibilang, Siti Rukiah Kertapati adalah perempuan yang berbeda dari kebanyakan pada masa itu.
Foto: Sidik Kertapati, Suami Siti Rukiah Kertapati.
Di akhir kolonialisme, perempuan masih banyak yang tertindas dan hanya bisa mengerjakan pekerjaan domestik di rumah.
Dirinya, terus mengembangkan kemampuan menulisnya termasuk bergabung ke sejumlah media majalah seperti Pujangga Baru yang terbit di Purwakarta. Di sana, ia menulis tiga puisi yakni “Buntu Kejaran”,”Pohon Sunyi” dan “Pulasan Hidup”.
Mengutip disipusda.purwakartakab.go.id, Siti juga bergabung dengan Majalah Mimbar Indonesia dan Indonesia. Kemudian pada 1949, Siti mendirikan jurnal kebudayaan Indonesia Irama dan menerbitkan dua cerpen berjudul “Istri Prajurit” dan “Antara Dua Gambaran”.
Ikut Menjadi Relawan Perang
Sebelumnya, Siti sudah dikenalkan dengan budaya Sunda yang kuat dan dianut oleh keluarganya.
Saat bersekolah di Sekolah Rendah Gadis, Siti mulai tergerak bahwa seharusnya perempuan bisa lebih maju melalui pendidikan. Setelah lulus, Siti juga menjadi pengajar di sana.
Di masa perang kemerdekaan, hati Siti turut tergerak. Ia lantas bergabung sebagai relawan kesehatan PMI untuk membantu prajurit Indonesia dari Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) bentukan Angkatan Pemuda Indonesia.
Pada 1946, ia menemukan jodohnya yakni Sidik Kertapati yang merupakan anggota Gerakan Indonesia Merdeka (GERINDOM) dan Angkatan Pemuda Indonesia (API) sebagai golongan pemuda, pejuang kemerdekaan.
Bergerak Melawan Penindasan
Kenalan Siti yang banyak dari kalangan pejuang dan seniman kiri membuat kepekaannya akan isu sosial meningkat.
Ia kemudian banyak menyuarakan keresahannya melalui tulisan berupa puisi, cerpen hingga novel.
Di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) ia juga mengenal paham perlawanan, hingga tulisannya turut dimuat di Yayasan Pembaruan, yakni sebuah lembaga penerbitan buatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun karena gejolak politik di awal tahun 1960-an, ia bersama sang suami sempat mendapat tekanan dari kalangan yang berkuasa saat itu. Namun dirinya tak menyerah, dan terus menulis agar suara masyarakat bawah bisa didengar.
Bawa Pesan Khusus dalam Setiap Tulisannya
Merujuk jurnal oleh Peggy Nirwanjanti, Ratu Husmiati, Kurniawati Kurniawati dari Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta berjudul “Perempuan dalam Kesunyian: Mengenal Kehidupan dan Karyakarya Siti Rukiah Kertapati (1927-1996)” banyak karya dari Siti yang menyuarakan kondisi pasca kemerdekaan.
Salah satu kumpulan cerpen yang kental dengan kondisi pasca kemerdekaan adalah Perempuan dan Revolusi dalam Tandus. Di cerpen tersebut Siti menuliskannya dengan metode Gaya Kesederhanaan Baru yang dikenalkan oleh seorang sastrawan Indonesia, Abdullah Idrus.
Karya-karyanya ditulis dalam bahasa sehari-hari yang ringkas, sederhana dan tanpa hiasan kata-kata. Cerpen ini secara khusus menceritakan sosok Mak Esah yang ditinggal wafat keluarganya karena penjajahan. Di sana ia berharap pertolongan Tuhan, namun kenyataannya tidak sesuai harapan.
Mak Esah diceritakan sebagai seorang yang tidak percaya kemerdekaan, karena setelah lepas dari penjajahan asing akan berganti penjajahan gaya baru lewat pemimpin negara.
Fokus Membuat Sastra Anak
Setelah pergolakan politik tahun 1965, Siti lebih banyak fokus pada pembuatan karya sastra bertema anak.
Keputusan ini diambil sebagai upaya pendidikan dan berdasarkan pengalamannya dalam melahirkan serta membesarkan enam anaknya.
Siti menerbitkan beberapa buku cerita anak, antara lain: "Si Rawun dan Kawan-kawannya," "Teuku Hasan Johan Pahlawan," "Pak Supi Kakek Pengungsi," "Taman Sandjak si Kecil," "Dongeng-Dongeng Kutilang," "Jaka Tingkir," dan "Kisah Perjalanan si Apin."
Selain menulis cerita dan puisi anak-anak, Siti juga menuturkan kembali cerita-cerita rakyat untuk Balai Pustaka. Ia mengasuh majalah anak "Kutilang" dan ingin lebih menyuarakan pentingnya pendidikan kepada anak-anak.