Mengenal Sosok Achdiat Karta Mihardja, Sastrawan Sunda yang Menggabungkan Perspektif Budaya dan Filsafat di Karyanya
Novel Atheis mengungkap kehidupan masyarakat Sunda di masa transisi perang kemerdekaan yang memperlihatkan ketaatan pada ajaran Islam.
Novel Atheis mengungkap kehidupan masyarakat Sunda di masa transisi perang kemerdekaan yang memperlihatkan ketaatan pada ajaran Islam.
Mengenal Sosok Achdiat Karta Mihardja, Sastrawan Sunda yang Menggabungkan Perspektif Budaya dan Filsafat di Karyanya
Achdiat Karta Mihardja merupakan nama besar di bidang sastra Sunda. Ia lahir di Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada 6 Maret 1911. Sederet karyanya dianggap melampaui zaman di masanya.
Namanya mungkin tak seterkenal Ajip Rosidi atau Eka Kurniawan di masa sekarang. Namun Achdiat punya gaya penulisan yang berbeda, yakni menggabungkan perspektif budaya dan filsafat di setiap karyanya.
-
Siapa penulis novel terkenal? Siapa saja penulis novel terkenal? Daftar penulis novel Indonesia terbaik dan karyanya:Andrea Hirata. Haidar Musyafa. Raditya Dika. Eka Kurniawan. Budi Darma. Pramoedya Ananta Toer. Ahmad Fuadi.
-
Siapa pendiri Madrasah Adabiah? Madrasah Adabiah atau yang diartikan 'Sekolah yang Beradab' ini didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad. Kemudian madrasah ini berubah menjadi Hollandsch Inlandsche School (HIS) Adabiah pada tahun 1915. Mr. Assaat, merupakan salah satu alumni generasi awal Madrasah Adabiah.
-
Siapa tokoh intelektual tersohor dari Aceh? Salah satu tokoh tersebut bernama Abu Bakar Aceh, seorang tokoh intelektual tersohor asal Aceh yang telah melahirkan banyak karya di bidang keagamaan, filsafat, dan kebudayaan.
-
Siapa yang membuat kitab ini? Menurut para ahli kitab ini ditulis oleh setidaknya tiga biarawan berbeda.
-
Siapa penulis Syair Lampung Karam? Dikutip dari Indonesia.go.id, Syair Lampung Karam ditulis oleh seseorang bernama Muhammad Saleh.
-
Siapa yang dikenal sebagai penyair unik? Jokpin dikenal sebagai penyair yang unik karena puisi-puisinya yang menggelitik, namun tetap terdengar indah dan romantis.
Salah satu karya yang dianggap terbaik di masanya adalah Atheis yang mendapat ulasan positif. Karya novel tersebut dianggap sebagai pembaharuan di awal-awal masa kemerdekaan karena dikenal hingga ke luar Indonesia.
Berkat novel tersebut, kultur masyarakat Sunda yang saat itu belum dikenal luas berhasil terangkat di mata khalayak.
Akrab dengan Ilmu Filsafat dan Agama
Dalam perjalanan hidup Achdiat Karta Mihardja di laman esi.kemdikbud.go.id, ia sejak kecil sudah mengenyam bangku pendidikan yang lengkap.
Dimulai dari Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Bandung pada 1925, lalu Algemene Middelbare School (AMS) Bagian Kesusastraan Timur di Kota Surakarta pada 1932.
Kemudian dirinya kembali melanjutkan pendidikan agama di tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah milik K.H. Abdullah Mubarok (Ajengan Gedebag) hingga dilanjutkan kuliah filsafat Thomistik dengan pembimbingnya Pater Dr. Jacob S.J., dan juga mengikuti kuliah filsafat kepada Prof. Dr. R.F. Beerling di UI pada 1950-1951.
Dari sana, dapat terbayang keilmuan antara budaya timur dan barat menjadikan setiap tulisannya kaya akan gagasan, serta banyak menggambarkan kritik budaya.
Sempat Jadi Jurnalis
Achdiat sempat memulai kariernya sebagai jurnalis di harian Indie Boek, lalu menjadi redaktur di Bintang Timoer dan media koran lainnya.
Ia juga pernah bekerja sebagai penyalin di Balai Pustaka Pekabaran Radio Jakarta, redaktur kebudayaan mingguan Spektra, dan majalah Pudjangga Baroe, serta guru di Taman Siswa dan Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya.
Kemudian, kariernya mentereng sebagai Ketua PEN Club Indonesia, Wakil Ketua Organisasi Pengarang Indonesia, Pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), dan Anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia juga menjadi Wakil Indonesia dalam Kongres PEN Club Internasional di Swiss.
Ikut Mendirikan LEKRA Namun Keluar
Bayang-bayang kolonialisme Belanda yang masih terjadi sampai akhir 1940, membuatnya gerah.
(Foto: Ensiklopedia Sastra Kemdikbud)
Ia kemudian mengajak sejumlah sastrawan yang anti kolonialisme untuk membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).
Beberapa sastrawan yang diajaknya yakni A.S. Darta dan M.S. Azhar. Namun ia hanya bertahan tidak lama dan pada 1950 dirinya menyatakan keluar dari LEKRA.
Sebab ia mundur karena perbedaan ideologi, usai Lekra menyatakan diri sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) saat pertemuan internasional PEN Club di Swiss, 17 Agustus 1950.
Dari sana, ia memilih untuk fokus menjadi seorang penulis, sekaligus akademisi sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia mulai tahun 1956 hingga 1961, dan pindah mengajar di National University, Canberra, Australia.
Karyanya Melampaui Zaman
Achdiat menghasilkan beragam karya, termasuk novel "Atheis" (1949) dan "Debu Cinta Bertebaran" (1973).
(Foto: Wikipedia)
Cerpen-cerpennya terkumpul dalam karya berjudul "Keretakan dan Ketegangan" (1956), "Kesan dan Kenangan" (1960), "Belitan Nasib" (1975), dan "Pembunuh dan Anjing Hitam" (1975).
Ia juga menulis drama seperti "Bentrokan dalam Asrama" dan "Pak Dulah in Extremis". Esainya juga berfokus ke tema kebudayaan termasuk "Pengaruh Kebudajaan Feodal" (1948) dan "Polemik Kebudajaan" (1948).
Salah satu karya yang menarik adalah “Atheis” karena mendapat banyak ulasan positif salah satunya dari dosen senior Bahasa Indonesia di Canberra University College A.H. Johns karena dianggap sebagai novel yang bagus pada awal perkembangan sastra Indonesia modern.
Kemudian, ulasan positif juga datang dari kritikus sastra Indonesia ternama, A. Teeuw, yang menyebut jika novel Atheis dianggap menarik, dan memiliki terobosan soal ide, tema dan gaya penulisan yang melampaui zaman
Sedikit Kisah tentang Novel Atheis
Mengutip Wikipedia, novel ini mengungkap kehidupan masyarakat Sunda di masa transisi perang kemerdekaan yang memperlihatkan ketaatan pada ajaran agama (Islam).
(Foto: Kemdikbud)
Di sisi lain, masyarakat Sunda kala itu diwarnai praktik mistik, serta masuknya ideologi Barat Marxisme yang menciptakan ketegangan dan kegamangan terutama di kalangan kaum muda tatar Priangan.
Dari kisah tersebut, novel Atheis mendapat hadiah tahunan dari Pemerintah Indonesia di tahun 1969, dan novel kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh R.J. Maguire.
Atheis kemudian diangkat menjadi film oleh Syuman Djaja di tahun 1974, bersama karya Achdiat lainnya seperti Keretakan dan Ketegangan yang sebelumnya mendapat penghargaan sastra nasional dari BMKN 1957.
Achdiat Karta Mihardja diketahui meninggal dunia pada usia 99 tahun di Canberra pada 8 Juli 2010.
(Foto: Merdeka.com)