Syair Lampung Karam, Karya Sastra Melayu Klasik yang Menceritakan Dahsyatnya Letusan Krakatau
Hanya satu catatan terkait letusan Gunung Krakatau yang dibuat oleh orang pribumi. Tulisan itu berjudul “Syair Lampung Karam”.
Hanya satu catatan terkait letusan Gunung Krakatau yang dibuat oleh orang pribumi. Tulisan itu berjudul “Syair Lampung Karam”.
Syair Lampung Karam, Karya Sastra Melayu Klasik yang Menceritakan Dahsyatnya Letusan Krakatau
Letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 merupakan salah satu letusan gunung api terdahsyat yang tercatat dalam sejarah peradaban dunia. Namun hampir semua literatur tentang letusan Krakatau dibuat oleh orang Eropa. Hanya satu catatan terkait letusan Gunung Krakatau yang dibuat oleh orang Indonesia. Tulisan itu berjudul “Syair Lampung Karam”.
-
Kapan Gunung Krakatau meletus? Letusan dahsyat Gunung Krakatau terjadi pada 27 Agustus 1883.
-
Siapa yang meramalkan letusan Gunung Slamet? Ramalan Jayabaya, seorang raja kuno di Pulau Jawa, diduga pernah meramalkan kemungkinan meletusnya Gunung Slamet. Masyarakat sekitar Gunung Slamet mempercayai ramalan ini karena Jayabaya dianggap memiliki kecerdasan spiritual dan kebijaksanaan yang tinggi.
-
Mengapa Lamang Katan khas Melayu? Kuliner dengan ciri khas budaya Melayu ini juga menjadi bagian dari warisan budaya yang wajib untuk dilestarikan keberadaannya.
-
Dimana Lumpur Lapindo terjadi? Pusat maupun titik semburan lumpur panas Lapindo ini berada di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
-
Kenapa Lumpur Lapindo terjadi? Dikatakan bahwa rencana pengeboran dilakukan dengan target formasi Kujung, ternyata di lokasi tempat pengeboran tidak dilakukan formasi Kujung.
-
Apa Gunung Kelam? Gunung Kelam membentang dari arah barat ke timur dengan ketinggian 1.002 mdpl dan merupakan sebongkah batu raksasa atau monolit. Gunung Kelam terkenal dengan tanaman endemik yaitu Kantong Semar dari jenis spesies Nepenthes clipeata.
Dikutip dari Indonesia.go.id, Syair Lampung Karam ditulis oleh seseorang bernama Muhammad Saleh. Diduga Muhammad Saleh sendiri merupakan seorang penulis yang juga penyintas dalam bencana besar itu. Diperkirakan saat bencana itu terjadi, Muhammad Saleh sedang berada di Lampung.
Menurut Surya Suryadi, peneliti dari Universitas Leiden yang juga penemu naskah Syair Lampung Karam, literatur tersebut lebih mirip laporan jurnalistik dibandingkan karya sastra. Syair ini ditulis dalam Bahasa Melayu dialek Riau, dan dicetak dalam Huruf Jawi.
Melalui syair ini, Muhammad Saleh menggambarkan secara dramatis bencana dahsyat akibat letusan Krakatau.
Dalam syair itu, ditulis bahwa desa-desa seperti Talang, Kupang, Rajabasa, Tanjung Karang, Merak, Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, serta daerah-daerah lainnya hancur lebur akibat dihantam tsunami dan hujan abu.
Syair Lampung Karam terdiri dari empat edisi litografi dengan judul berbeda. Edisi pertama berjudul “Syair Negeri Lampung yang Dinaiki Oleh Air dan Hujan Abu” yang salah satu manuskripnya tersimpan di perpustakaan Rusia.
Edisi kedua berjudul “Inilah Syair Lampung Dinaiki Oleh Air Laut”, edisi ketiga berjudul “Syair Lampung dan Anyer dan Tanjungkarang Dinaiki Air Laut”, dan edisi keempat berjudul “Inilah Syair Lampung Karam Adanya”.
Melalui naskah tersebut, Muhammad Saleh menceritakan kondisi setelah bencana itu terjadi. Mulai dari debu setebal delapan jari dan kondisi korban meninggal dunia.
Dalam tulisan itu diceritakan bahwa para korban dikubur secara massal. Beberapa tempat yang menjadi kuburan massal antara lain Ketimbang (390 mayat), Kampung Badak (40 mayat), dan Pulau Sebuku (1.000 mayat).
Kisah di Syair Lampung Karam juga menceritakan para korban letusan Krakatau ke Batavia menumpang kapal yang datang dari Padang.
Beberapa catatan di naskah menyebutkan bahwa Syair Lampung Karam diselesaikan di sebuah kampung bernama Kampung Bangkahulu yang berada di Singapura. Syair Lampung Karam pertama kali diadaptasi ke dalam sebuah film pada tahun 1967 oleh perusahaan film asal Malaysia.