Fakta Menarik Prasasti Rukam, Berisi tentang Peristiwa Meletusnya Gunung Api di Era Mataram Kuno
Prasasti ini sering dikaitkan dengan penemuan situs kampung kuno di Liyangan
Prasasti ini sering dikaitkan dengan penemuan situs kampung kuno di Liyangan
Fakta Menarik Prasasti Rukam, Berisi tentang Peristiwa Meletusnya Gunung Api di Era Mataram Kuno
Prasasti Rukam merupakan sebuah prasasti di Indonesia yang mencatat peristiwa gunung meletus pada masa kerajaan.
Prasasti berangka tahun 829 saka atau 907 Masehi ini ditemukan pada tahun 1975 di Desa Petarongan, Kecamatan Parakan, Temanggung.
-
Apa isi prasasti tersebut? bahasa-bahasa Timur Tengah kuno di University College London, enam baris pertama dari teks paku-paku pada prasasti itu mengatakan, dalam bahasa Het, 'empat kota, termasuk ibu kota, Hattusa, berada dalam bencana,' sementara 64 baris sisanya adalah doa dalam bahasa Hurria yang memohon kemenangan.
-
Kenapa prasasti ini penting? 'Benda yang luar biasa ini bukan hanya sebuah artefak bersejarah yang sangat penting, tetapi juga menjadi penghubung nyata dengan keyakinan yang membantu membentuk peradaban Barat,' kata Richard Austin, Kepala Global Buku dan Naskah Sotheby's dalam sebuah pernyataan, dikutip dari News Artnet, Senin (18/11).
-
Dimana prasasti itu ditemukan? Arkeolog di Turki menemukan prasasti atau lempengan batu saat melakukan penggalian di kastil Silifke yang terletak di atas bukit di Provinsi Mersin.
-
Mengapa prasasti itu penting bagi sejarah? Apries, yang juga dikenal dengan nama Wahibre Hibre, merupakan penguasa dinasti ke-26 di Mesir pada periode 688 SM hingga 525 SM. Pada masa pemerintahannya, Mesir merdeka, dan ibu kota kerajaannya sering kali berada di Sais, Mesir utara. Menurut Mostafa Wajiri, sekretaris jenderal Dewan Tertinggi Purbakala Mesir, prasasti ini tampaknya berkaitan dengan aktivitas militer Apries di wilayah timur Mesir.
-
Di mana prasasti itu ditemukan? Prasasti seberat setengah ton yang berisi 13 baris tulisan itu ditemukan tim penggali di kawasan Mersin setelah proyek penggalian dilakukan selama 12 bulan.
Dikutip dari Budaya-Indonesia.org, prasasti ini terdiri atas dua lempeng tembaga yang berbentuk persegi panjang. Lempeng pertama berisi 28 baris dan lempeng kedua berisi 23 baris. Aksara dan Bahasa yang digunakan adalah Jawa Kuno.
Menurut Arkeolog dari BRIN Indonesia, Sugeng Riyanto, prasasti ini ditemukan bersama temuan-temuan arkeologis lain berupa alat-alat upacara dari perunggu, bokor, cepuk, gentong, gantungan lampu, mangkok-mangkok yang terbuat dari perunggu maupun keramik asing, dan beberapa benda kecil.
Saat ditemukan, prasasti tersebut masih dalam keadaan baik. Aksaranya juga masih terlihat jelas. Hanya saja pada lempeng pertama, tembaganya agak rusak sehingga dua huruf tidak terbaca.
Foto: Budaya-Indonesia.org
Dilansir dari Budaya-Indonesia.org, Prasasti Rukam berisi tentang penganugerahan sebuah desa yang dibebaskan pajaknya atas Wanua I Rukam oleh Sri Maharaja Rake Wakutura Dyah Balitung Sri Dharmmodya Mahasambhu.
Alasan pemberian sima merujuk pada kata-kata “ilang dening Guntur” yang berarti sebuah desa yang hilang atau hancur karena terkena letusan gunung.
Ada yang berpendapat bahwa desa yang hilang akibat meletusnya gunung berapi itu adalah Desa Rukam.
Bukti itu diperkuat dengan penemuan candi dan bekas perkampungan kuno di lereng Gunung Sindoro, Dusun Liyangan, Kelurahan Purbasari, Ngadireja, tahun 2008.
Pendapat lain mengatakan bahwa desa yang disebutkan dalam prasasti tersebut bukanlah Desa Rukam, melainkan sebuah desa yang belum diketahui namanya.
Pendapat yang kedua lebih bisa diterima karena membangun kembali pusat kerajaan di lokasi yang pernah diterjang bencana bisa dikatakan sebagai ketidakniscayaan.
Kaitan antara Prasasti Rukam dengan Situs Liyangan
Pada tahun 2008, sejumlah penambang pasir menemukan pemukiman Mataram Kuno yang terkubur material gunung api dengan kedalaman hingga 8 meter. Para peneliti menduga Liyangan adalah desa yang hilang akibat letusan gunung berapi seperti yang tertulis pada Prasasti Rukam.
Bukti itu diperkuat dengan hasil penanggalan karbon dari bambu yang menjadi arang di Liyangan yang menunjukkan angka 971 Masehi dengan standar penyimpangan 112 tahun. Sementara Prasasti Rukam yang berasal dari tahun 907 Masehi masih berada di antara angka 971 +/- 112.
Walau begitu, arkeolog Sugeng Riyanto mengaku masih perlu kajian mendetail tentang Prasasti Rukam untuk memastikan kaitannya dengan Situs Liyangan.