Aturan Rokok Kemasan Polos Banyak Dikritik, Menkes Budi Angkat Suara
Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan telah memicu perdebatan publik yang cukup hangat.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin akhirnya angkat suara dan memberi penjelasan terkait kritik yang meluas terhadap rencana pemerintah mengenai regulasi rokok dalam negeri.
Dalam rencana tersebut, terdapat tiga kebijakan utama yang diusulkan, yaitu penerapan rokok kemasan rokok tanpa merek, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari fasilitas pendidikan, dan pembatasan iklan rokok.
Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan telah memicu perdebatan publik yang cukup hangat.
Budi menjelaskan, pihaknya telah berupaya melibatkan berbagai pihak, termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dalam proses pembahasan ketentuan ini.
"Kita sebenarnya melibatkan Apindo untuk diskusi ini, dan sekarang sedang dalam proses finalisasi dengan mereka. Memang kita dengarkan kok, dan lagi proses," kata Budi kepada media, Jakarta, Selasa (8/10).
Di sisi lain, sebelumnya Pakar Kebijakan Publik, Gitadi Tegas Supramudyo, menyoroti pendekatan yang diambil dalam kebijakan ini cenderung fokus pada aspek kesehatan, tanpa mempertimbangkan perspektif lain yang relevan.
Menurutnya, perumusan kebijakan idealnya harus melibatkan pendekatan multidisiplin yang dapat mencakup berbagai aspek, termasuk sosial dan ekonomi.
Dampak Kebijakan
“Prediksi saya kebijakan (kemasan rokok polos tanpa merek) ini akan menimbulkan masalah atau polemik karena hanya menggunakan satu perspektif, yaitu kesehatan,” ucapnya dikutip dari laman Liputan6.com di Jakarta, Kamis (3/10).
Gitadi juga mengingatkan bahwa dampak dari kebijakan ini akan menjadi tanggung jawab berat bagi pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan datang. Ia berpendapat bahwa pemerintahan baru mungkin perlu melakukan pemetaan ulang terhadap masalah-masalah yang muncul akibat kebijakan ini.
Selain itu, kebijakan tersebut bisa berpotensi memicu penurunan signifikan dalam industri tembakau, yang dapat menyebabkan hilangnya pendapatan bagi pengusaha dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).