Kekayaan 7 Miliarder Malaysia Masih Kalah dengan Harta Prajogo Pangestu, Jumlahnya Mencengangkan
Malaysia, memiliki Robert Kuok sebagai orang terkaya dengan total kekayaan USD 11,4 miliar.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah miliarder terbanyak di Asia dan bahkan di seluruh dunia.
Saat ini, gelar orang terkaya di Indonesia dipegang oleh Prajogo Pangestu, seorang pebisnis yang bergerak di sektor industri petrokimia.
Menurut data yang dirilis oleh Forbes pada Rabu (30/10), kekayaan Prajogo mencapai USD 39 miliar, setara dengan Rp614 triliun. Dengan jumlah kekayaan sebesar ini, Prajogo tidak hanya memimpin daftar miliarder di Indonesia, tetapi juga menduduki posisi ke-26 sebagai orang terkaya di dunia.
Di sisi lain, negara tetangga Indonesia, Malaysia, memiliki Robert Kuok sebagai orang terkaya dengan total kekayaan USD 11,4 miliar.
Pengusaha yang kini berusia 99 tahun tersebut berada di peringkat ke-176 dalam daftar orang terkaya di dunia.
Kuok terkenal sebagai pemilik Kuok Group yang beroperasi di berbagai sektor, termasuk perhotelan, real estate, dan minyak kelapa sawit.
Selisih yang signifikan dalam jumlah kekayaan antara Prajogo dan Kuok menunjukkan bahwa kekayaan Prajogo lebih tinggi dibandingkan dengan total kekayaan tujuh orang kaya Malaysia secara bersamaan.
- Kekayaan Prajogo Pangestu: USD 39 miliar
Kekayaan 7 Miliarder Terkaya Malaysia
Berikut adalah daftar orang terkaya di Malaysia:
- Robert Kuok: USD 11,4 miliar
- Quek Leng Chan: USD 8,8 miliar
- Ananda Krishnan: USD 4,9 miliar
- Koon Poh Keong: USD 3,7 miliar
- Lee Yeow Chor: USD 3,1 miliar
- Lee Yeow Seng: USD 2,3 miliar
- Lim Kok Thay: USD 2,3 miliar
Sumber Kekayaan Prajogo Pangestu
Prajogo Pangestu dikenal sebagai pemilik beberapa perusahaan besar di Indonesia, termasuk Grup Barito Pacific yang terdiri dari PT Barito Pacific Tbk, PT Barito Renewables Energy, PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk, dan PT Chandra Asri Pacific Tbk.
Sebagian besar bisnis yang dijalankannya berfokus pada sektor petrokimia dan energi terbarukan.
Meskipun saat ini sukses, Prajogo tidak berasal dari latar belakang keluarga kaya. Keterbatasan ekonomi membuat orang tuanya tidak mampu menyekolahkan Prajogo hingga tingkat SMA, sehingga ia harus berjuang keras untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Prajogo menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan. Dalam pencariannya, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Kalimantan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia bekerja sebagai sopir angkot pada tahun 1960. Pekerjaan ini menjadi titik awal yang penting dalam perjalanan hidupnya.
Selama menjadi sopir, Prajogo bertemu dengan Bon Sun On, yang lebih dikenal sebagai Burhan Uray, seorang pengusaha kayu asal Malaysia. Pertemuan ini ternyata menjadi momen yang mengubah arah hidupnya.
Setelah pertemuan tersebut, Prajogo mulai bekerja sebagai karyawan di perusahaan Burhan Uray, yang merupakan pendiri PT Djajanti Group, pada tahun 1969. Dengan kerja keras selama tujuh tahun, ia akhirnya diangkat sebagai General Manager di Pabrik Plywood Nusantara yang terletak di Gresik, Jawa Timur.
Pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya di perusahaan tersebut membekalinya untuk memulai usaha sendiri. Langkah awal yang diambilnya adalah meminjam modal dari BRI untuk membeli perusahaan kayu bernama CV Pacific Lumber Coy.
Hadapi Masalah Keuangan
Perusahaan tersebut pada waktu itu tengah menghadapi masalah keuangan yang serius. CV Pacific Lumber Coy sepenuhnya dimiliki oleh Prajogo. Dengan pengalaman yang dimiliki serta insting bisnis yang baik, CV ini kemudian berganti nama menjadi PT Barito Pacific.
Pada masa itu, perusahaan berhasil mendapatkan hak konsesi seluas 6 juta hektare di seluruh Indonesia. Produk yang dihasilkan oleh perusahaan ini meliputi plywood, blockboard, particle board, dan produk kayu lainnya. Selain itu, produknya juga diekspor ke negara-negara seperti Eropa dan Amerika.
Barito Pacific mengalami perkembangan yang pesat. Di era pemerintahan Presiden Soeharto, Prajogo menjalin banyak kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh anak-anak dan kolega Soeharto.
Namun, memasuki tahun 2000, bisnis pengolahan kayu mulai mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari penutupan beberapa pabrik pengolahan kayu milik perusahaan yang terjadi antara tahun 2004 hingga 2007.
Prajogo kemudian memutuskan untuk mengalihkan fokus bisnis perusahaan ke sektor Petrokimia dan Energi sejak tahun 2007. Pada tahun yang sama, ia mengambil alih 70 persen saham di perusahaan petrokimia bernama PT Chandra Asri.
Pada tahun 2011, Chandra Asri melakukan merger dengan Tri Polyta Indonesia. Langkah ini menjadikan perusahaan yang dimiliki oleh Prajogo Pangestu sebagai perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia.
Dengan perubahan arah bisnis ini, Prajogo menunjukkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan kondisi pasar yang terus berubah dan mengambil peluang yang ada untuk mengembangkan usahanya lebih lanjut.