Mana Lebih Mahal Harga Gas Industri Indonesia, Malaysia, dan Vietnam?
Harga gas untuk industri di Indonesia dianggap lebih tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia.

Pemerintah masih melakukan kajian terhadap kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang ditetapkan sebesar USD 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri, dan terdapat rencana untuk mencabut subsidi HGBT.
Di sisi lain, ada yang mendesak agar subsidi tersebut dihapuskan, meskipun gas merupakan salah satu elemen biaya utama dalam sektor industri.
Menanggapi isu ini, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS), berpendapat bahwa sudah saatnya pemerintah melakukan audit terhadap penerapan harga gas alam di dalam negeri, baik untuk kebutuhan industri maupun masyarakat.
Ia menekankan bahwa harga gas di Indonesia saat ini terlalu tinggi jika dibandingkan dengan harga gas alam internasional yang hanya mencapai USD3,21 per MMBTU.
“Kita ini salah satu penghasil gas alam terbesar dunia, bahkan baru saja ditemukan sumber gas di Aceh yang jauh lebih besar 18 kali lipat dari yang dihasilkan di Arab Saudi. Seharusnya, harga gas alam di Indonesia sama dengan yang berlaku di Arab Saudi, yaitu USD0,5 per MMBTU,” ungkap BHS pada Sabtu (14/12).
Ia menjelaskan bahwa harga gas industri yang disubsidi hanya berlaku untuk tujuh sektor, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet, dengan tarif USD 6 per MMBTU.
Di sisi lain, produk industri yang tidak mendapatkan subsidi dikenakan biaya antara USD 11-12 per MMBTU, tergantung pada klasifikasi industri. Menurut BHS, harga ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan harga gas industri di Malaysia yang mencapai USD 4,5 per MMBTU, di Thailand USD 5,5 per MMBTU, dan di Vietnam sekitar USD 6,39 per MMBTU.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana industri dalam negeri dapat bersaing baik di pasar domestik maupun internasional jika harga gas alam untuk industri di Indonesia 2 hingga 3 kali lipat lebih mahal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, terutama di sektor pertanian di mana industri pupuk menghabiskan 70 persen dari total biayanya untuk gas alam.
Biaya Gas Bersubsidi

BHS mengungkapkan bahwa jika harga subsidi HGBT untuk pupuk dikembalikan ke harga normal, maka akan terjadi lonjakan harga pupuk yang signifikan, bahkan bisa mencapai dua kali lipat.
Hal ini tentu akan menyulitkan sektor pertanian di Indonesia, dan harga beras yang saat ini sudah tinggi akan meningkat jauh lebih drastis.
Dia meyakini bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan memperhatikan kondisi ini dan tidak akan mencabut subsidi HGBT.
Selain itu, dia juga berharap agar harga gas alam untuk industri ditetapkan menjadi USD6 per MMBTU untuk semua jenis industri.
"Lebih dari itu, kita harapkan, bisa menurunkan menjadi sama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya sehingga harga produk industri akan murah dan daya beli masyarakat kembali meningkat," katanya.
Iklim usaha di sektor industri

Kebijakan ini, menurutnya, akan berkontribusi pada perbaikan iklim usaha industri di Indonesia, sehingga perusahaan tidak akan mengalami kebangkrutan atau memilih untuk pindah ke negara lain, yang tentunya akan berdampak pada meningkatnya angka pengangguran.
Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan industri dari negara lain tertarik untuk berinvestasi di Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 8 persen sesuai dengan target yang diinginkan oleh Presiden Prabowo, serta penyerapan tenaga kerja dapat meningkat.
"Diharapkan pemerintah bisa mengkaji dan menghitung ulang terapan harga energi gas untuk industri dan rumah tangga masyarakat secara akurat dan jika perlu, lakuka audit terhadap PT Pertamina dan PGN," pungkasnya.